Senin, 18 Februari 2019

Menggerutu

Assalamu'alaikum!

Bangun dalam keadaan kesal itu emang merusak hari ya. Nggak cuma bikin mood rusak aja, tapi juga bikin rencana di awal hari jadi buyar semua.

Aku tipe orang yang kalau nggak suka sama sesuatu, ya kutinggal dan baru kembali kalau hal yang aku nggak suka itu selesai. Bahkan kalau ketemu orang yang aku nggak suka, sebisa mungkin aku hindari. Orang tersebut emang nggak bisa merusak moodku, tapi rasanya kalau melihat sesuatu yang nggak aku suka secara tidak sengaja itu... menyebalkan.

Juga, aku bukan orang yang bisa menepati janji. Terutama janji untuk pergi ke suatu tempat. Seringkali aku membatalkan janji, padahal aku yang mengajak. Selain sering membuat kecewa, aku jadi dianggap nggak serius saat mengajak. Makanya aku lebih sering mengajak pergi tiba-tiba, di hari itu juga. Misalnya aku berencana ingin ke suatu tempat besok pagi, lalu aku mengajak temanku untuk ikut. Tiba-tiba besoknya keinginan jalan-jalan itu musnah begitu aja, dan aku harus membatalkan janji dengan temanku tersebut. Makanya sekarang, aku lebih suka pergi sendirian atau tidak sama sekali. Aku tidak mau mengecewakan orang lain lagi.

Menunggu juga salah satu perusak moodku. Aku bukan orang yang tepat waktu, tapi aku tidak suka ditunggu dan menunggu. Ketika aku ditunggu, waktu terasa berpacu dua kali lebih cepat. Padahal aku bergerak dengan ritme biasa. Aku jadi terburu-buru. Jika menunggu, waktu terasa berjalan lebih lambat dua kali lipat. Makanya aku selalu membawa headset atau buku saat janjian bertemu. Untuk mencegah bosan saat menunggu.

Membatasi diri dengan kehidupan orang lain
Tapi sebenarnya yang bisa menghancurkan moodku adalah diriku sendiri. Aku yang membuat diriku merasa kesal atas sesuatu. Alasannya, karena aku merasa kecewa dengan diriku sendiri yang tidak bisa melihatnya dari sudut pandang lain. Aku kecewa saat diriku mengecewakan orang lain juga.

Intinya, yang bisa membuat suasana hatiku adalah diriku sendiri. Dan yang memecahkannya juga diriku sendiri. Tidak ada yang bisa selain aku. Maka dari itu, aku tidak mau terlalu banyak mengurus dan memperhatikan kehidupan orang lain. Bisa jadi dengan melihat mereka, aku jadi membandingkan diriku dengan mereka. Padahal aku harus ingat, setiap orang itu berbeda dan memiliki jalan masing-masing.
Continue reading Menggerutu

Sabtu, 16 Februari 2019

,

Untuk Cinta Pertamaku

Halo, apa kabar?

Apa kau masih mengingatku? Sebelas tahun lalu, aku menyatakan rasa sukaku padamu. Dengan sebuah sobekan kertas dengan sepucuk kalimat "aku suka kamu, kamu suka aku nggak?" yang dikirimkan oleh sahabatku.

Terima kasih atas jawaban yang menyenangkan dan tidak menertawaiku karena suka kepadamu. Terima kasih untuk tetap menjaga rahasia itu. Aku tidak sedang bergurai saat itu, aku benar-benar menyukaimu.

Teman-temanku bilang kau adalah bocah hitam bandel yang tidak hafal perkalian. Aku bisa menyukai bocah laki-laki lain yang lebih pintar matematika atau berkulit putih. Tapi di mataku yang berumur sembilan tahun itu, kamu sangatlah bersinar. Aku suka senyummu yang lebar. Aku juga suka cerita-cerita lucu yang kau lontarkan.

Kemudian, terima kasih telah memperlakukan aku yang berumur sebelas tahun dengan baik. Menjadi rekan sebangkumu adalah salah satu hal yang menyenangkan dan menjadi ingatan. Berbeda dengan bocah laki-laki lain di kelas yang seenaknya, kamu menerima syarat anehku dan mematuhinya dengan senang hati. Walaupun hanya sebentar, aku senang pernah menjadi rekan sebangkumu.

Sekali lagi, terima kasih untukmu. Semoga kamu dilimpahi kebahagiaan selalu.


Dariku, bocah perempuan kurus yang pernah menyukaimu.
Continue reading Untuk Cinta Pertamaku

Jumat, 15 Februari 2019

,

Kala Itu #1


Mendung masih menggelayuti pagi awal November. Hari ini aku libur bekerja, setelah sebulan penuh berkutat di depan laptop. Sejuknya udara membuatku malas untuk sekadar bangun dan mencuci muka. Selepas Shubuh tadi, aku hanya berkutat dengan Smartphone dan tidur-tiduran di kasurku saja. Hari yang tepat untuk bermalas-malasan.

Tring! Tiba-tiba sebuah notifikasi masuk ke Smartphone yang sejak tadi aku genggam. Dari gank-ku SMK dulu, Master Mind. Berisi 6 orang perempuan yang sering berpikir jika sedang berkumpul. Aku, Anisah, Sitta, Lulux, Nabila, dan Cao. Sebuah pesan panjang dari Anisa, yang berisi kerinduan kepada kami. Dan karena satu notifikasi itu, muncul beberapa notifikasi lain yang membuat Smartphone-ku menjadi berisik.

Perbincangan kami terus berlanjut di chat tersebut. Dari mulai membicarakan hal yang membuat kerinduan semakin memuncak, sampai membuat rindu itu terkikis oleh rasa kesal. Aku terkekeh, bagaimana bisa setelah 3 tahun tidak bertemu kami masih seperti remaja labil? Ah, rindu itu terasa semakin menggumpal saja.

Image result for cafe
Source

Kamis, akhir November. Café la Mind siang ini tetap ramai seperti biasanya. Aku duduk sendirian dibangku yang bersebelahan dengan kaca. Kami berencana untuk temu kangen siang ini, setelah melewati beberapa ‘sidang’ alot yang dipimpin oleh Lulux. Sempat terlintas di pikiranku, yang dulunya jika ingin bertemu tinggal kunjungi rumahnya saja, sekarang harus mengatur jadwal agar tidak bentrok. Ah, waktu.

Satu per satu mereka datang, di awali dengan Lulux dan Sitta. Lalu Cao yang datang langsung mengeluarkan handphonenya, Nabila, dan terakhir Anisah sambil tertawa-tawa, seperti biasa. Aku tersenyum menatap mereka, agak canggung. Lima belas menit kami lalui dengan kecanggungan luar biasa. Aku ,orang yang tidak bisa mencairkan suasana hanya menatap sekitar café sambil berpikir kata apa  yang tepat untuk memulai percakapan.

“Masa gini-gini aja?” ujar Lulux tiga menit kemudian sambil menahan kesal. Kami semua menengok ke arahnya. “Katanya mau ketemu tapi sibuk semua sama kegiatan masing-masing!” tambahnya lagi.

Kulihat Nabila meringis sedikit. Anisah dan Sitta saling tatap kebingungan. Aku menatap Lulux sambil tertawa pelan. “Ya emang mau gimana, Luxy?” jawabku. Cao masih asyiik dengan handphonenya.

“Ah, gatau ah! Kalian udah gak asik. Yaudahlah, aku juga gak deket sama kalian!” Lulux berkata dengan wajah merengut. Kami terbahak. Mengingat wajah orang yang dulu kalimat-kalimatnya sering kami ucapkan itu. Dan akhirnya setelah itu kami mulai bisa menyesuaikan diri. Yah, Lulux memang yang paling mampu mengubah suasana.

Pembicaraan kami tidak terfokus pada satu topik. Semua kami bicarakan. Tertawa hingga mengeluarkan air mata, menangis, sampai tertawa lagi, hingga kami menjadi pusat perhatian. Sampai tiba waktu Ashar, kami berempat menuju Masjid terdekat untuk menunaikan Shalat Ashar.

Related image
Source

“Eh, aku punya pertanyaan buat kalian!” Lulux berkata semangat setelah selesai merapikan mukena. “Jawab ya, buat bahan tulisan aku di novel nanti.” Tambahnya.

“Apaan?” ujar kami berbarengan.

“Kalau kalian diminta untuk memilih, kalian milih teman atau uang?” Lulux mencari posisi nyamannya, lalu berujar lagi “Jawab dari… Anisah dulu deh. Oh iya sama alasannya ya!”

Anisah hampir ingin protes, tetapi Lulux segera menjawabnya dengan menempelkan telunjuknya ke bibir Anisa menyuruhnya untuk diam.

“Huh, kenapa aku sih!” protes Anisa pelan. Ia berpikir beberapa menit, lalu melanjutkan perkataannya. “Kalo aku pasti lebih milih temen! Soalnya temen itu lebih berharga daripada uang, iya gak, Zil?” tanyanya padaku. Aku hanya tersenyum sebagai jawaban.

“Kalo kamu, Nabila?”

Nabila yang sedang sibuk membetulkan posisi pashminanya kaget, ia mengomel sebentar, lalu melanjutkan kegiatannya tadi. “Sebentar.” Ujarnya.

“Kalo aku, lebih milih Uang.” jawabnya bangga. “Karena kalo kita punya uang, nanti temen juga bakal dateng sendiri ke kita. Kan, Zil?” Tambahnya. Aku meringis. Kenapa semua pendapat harus ditanyakan lagi kepadaku?

“Kalo kamu gimana, Sitta?” Sambung Lulux lagi.

Sitta diam sebentar, memilih kalimat yang tepat. “Aku milih teman. Uang gampang dicari. Teman yang baik susah dicari.”

Lulux menganggukan kepalanya lalu menoleh ke arah Cao yang sibuk dengan handphone-nya. “Kamu, Cao?”

“Sini pilih teman yang punya banyak uang. Biar bisa dijajanin kalo lagi main.” jawabnya santai tanpa memalingkan wajah dari handphone-nya. Kami semua tertawa. “Aku juga mau kalo gitu mah!” pungkas Anisah

“Kalo menurut kamu gimana Manzila?”

“Aku gak bakal milih dua-duanya.” Jawabku.

“Ih! Gak bisa gitu, Manzila! Kan disuruh milih! Ya harus pilih!” ujar Anisah protes.

“Anisah diem dulu apa! Manzila belum selesai ngomong!” jawab Lulux gemas. Anisa tersenyum 3 jari sambil membentuk jarinya menyerupai huruf ‘v’.

“Aku gak pilih dua-duanya soalnya uang dan teman itu kebutuhan yang sama. Dan gak bisa dibandingkan atau dilepaskan salah satunya.” Ujarku. “dan kamu tahu sendiri, Lux. Kalo aku gak bisa pilih salah satu, jadi mendingan aku gak pilih dua-duanya biar adil. Hehe” ujarku dengan cengiran bodoh.

“Itu alasan kenapa aku milih kamu paling akhir, Manzila. Coba aku minta pendapat kamu duluan pasti mereka pada jawabnya samaan semua.” Kata Lulux menimpali jawabanku.
Anisah dan Nabila tampak ingin memprotes, tetapi keduluan oleh pertanyaanku. “Kalo menurut kamu, Luxy?” tanyaku.

“Aku bakal milih dua-duanya.” Ujar Lulux santai. “Stt! Diem dulu aku belum selesai ngomong!” tambahnya setelah melihat Anisah ingin protes lagi. Aku tertawa  sambil menggeleng-gelengkan kepala melihat kelakuan Anisah yang dari dulu tidak berubah itu.

“Dengan aku milih dua-duanya aku bisa punya teman, juga bisa punya uang. Aku bisa bantu teman aku kalo aku punya uang.” Lulux meminum airnya sebentar. “Maap, Haus. Hehe… sampai mana tadi kita? Oh iya, dan aku juga gak bilang untuk pilih salah satu kan? Aku Cuma bilang pilih aja. Pilihan gak selalu dua kok. Ada pilihan ketiga, empat, lima, dan seratus kalo kamu mau malah.” Tambahnya.

Aku tersenyum. Yah pribadi kami memang diciptakan bertentangan satu sama lain. Tapi kami mencoba membuatnya menjadi suatu bentuk yang unik dan utuh. Lulux dengan seluruh filosofinya, Nabila dengan segala kekonyolannya, Anisah dengan semua keceriaannya, Sitta dan segala sarkastiknya, juga Cao dengan pikiran-pikirannya.

Sore ini, di akhir November. Aku melihat kembali lima temanku berwujud anak SMK. Waktu terasa mundur dan aku menyaksikan kelima temanku memakai baju putih abu-abu. Berkumpul di kantin sekolah sambil memesan es teh dan indomie rebus. Tertawa karena sebuah cerita konyol yang kami karang sendiri.

Semoga kami selalu baik-baik saja.


Sabtu, 16 Oktober 2015
Continue reading Kala Itu #1

Kamis, 14 Februari 2019

Aku Rindu

Kenapa diam saja? Padahal aku sudah lelah memintamu bergerak. Air mataku pun bahkan sudah lelah terurai.

Aku menghampiri, kamu pergi. Dihubungi, kau tolak panggilanku. Rasanya hatiku lelah.

Aku rindu.

Saat kita saling mengerti. Saling menghubungi. Warnamu dan warnaku saat itu senada, dan kita tau apa yang berbeda dengan tetap menghormatinya.

Aku rindu.

Tatapanmu saat tertuju padaku. Saling tersenyum. Bercerita tanpa harus kehilangan kata. Mengenang, menatap, merencanakan. Mengalir begitu saja.

Sekarang. Aku benar-benar sangat rindu.

Kenapa kamu sangat jauh?
Kenapa tatapmu tak langi menyentuh?
Kenapa menunggumu cair terasa sendu?

Aku rindu.
Continue reading Aku Rindu

Rabu, 13 Februari 2019

Aku dan Keengganan Mengakui

Mereka bilang; jangan terlalu banyak menerima kesenangan, jangan terlalu banyak menanggapi kebahagiaan. Jika suatu saat nanti keberuntungan itu berganti dengan kemalangan sesaat, kamu akan meraung tak henti.

Kupikir, itu tidak akan terjadi kepadaku. Aku hanya selalu bersyukur atas apapun yang kudapatkan, merayakannya selama aku bisa. Apapun yang baik bagiku, akan kupegang erat dan kuusahakan tidak akan terlepas.

Ternyata menghapusnya semudah itu bagi Tuhan. Karena terlalu kuat menggenggam, tanpa sengaja aku membunuhnya. Aku lupa diri.

Padahal mereka berkali-kali mengingatkan, tapi aku selalu menganggap diriku berbeda. Aku pasti lebih baik dari siapa yang yang mereka contohkan. Nyatanya pikiran itu membuatku besar kepala. Aku lupa bahwa skenario terburuk selalu ada. Bahkan saat memiliki berbagai rencana cadangan.

Inilah akhirnya. Aku terduduk. Dengan rasa penyesalan, yang lagi-lagi selalu datang di belakang. Bertanya kenapa semua ini datang kepadaku? Kenapa kebahagiaan itu direnggut? Kenapa harus aku?

Tapi aku lupa menyiapkan jawaban saat mereka bertanya, "Apa saja yang sudah kulakukan untuk mempertahankan kebahagiaanku?"
Continue reading Aku dan Keengganan Mengakui

Senin, 11 Februari 2019

Hujan di awal Desember

Suatu hari di musim panas, kamu mendatangkan hujan untukku. Mengguyur kegersangan perasaan yang kala itu dilingkari prasangka buruk. Terkurung tanpa tau cara mengeluarkan diri.

Ibarat hujan pertama di awal Desember. Datangmu selalu ditunggu semua orang. Yang membuatku tanpa sadar menjadi bagian dari mereka yang menunggu. Mengharapkan dirimu kembali.

Saat asap kebencian memenuhi saluran pernapasanku. Harummu serasa oksigen menyegarkan. Aku yang saat itu sesak akhirnya bisa menghela napas panjang.

Tapi berkali-kali diselamatkan membuatku jadi serakah. Dan aku benci pemikiran itu;
Bisakah aku menjadi salah satu orang yang penting untukmu?
Continue reading Hujan di awal Desember

Senin, 04 Februari 2019

Pernyataan

Terima kasih untuk menemani di saat-saat terberat
Senyum darimu adalah penyemangat yang ingin selalu kuingat.
Bahkan selalu bersedia untuk meminjamkan bahu
Mendengar suaramu saja sudah membuatku merasa lebih baik, kau tau?

Terima kasih untuk tak pernah mengeluh jenuh
Sugesti baik darimu selalu jadi penuntunku
Sepucuk kalimat pendek darimu cukup membuat hariku terasa menyenangkan
Pernyataan bahwa kau bangga padaku rasanya membayar semua kekesalan

Terima kasih untuk tak pernah lelah menggenggam
Rangkulan darimu selalu membawa bahagia yang dalam
Dengan adamu di sekitar, cemasku luruh begitu saja
Gemetar yang dulu memelukku akhirnya pergi dengan sengaja

Terima kasih untuk selalu ada.
Continue reading Pernyataan