Mendung masih menggelayuti pagi awal November. Hari ini aku
libur bekerja, setelah sebulan penuh berkutat di depan laptop. Sejuknya udara
membuatku malas untuk sekadar bangun dan mencuci muka. Selepas Shubuh tadi, aku
hanya berkutat dengan Smartphone dan tidur-tiduran di kasurku saja. Hari yang tepat
untuk bermalas-malasan.
Tring! Tiba-tiba sebuah notifikasi masuk ke Smartphone yang
sejak tadi aku genggam. Dari gank-ku SMK dulu, Master Mind. Berisi 6 orang
perempuan yang sering berpikir jika sedang berkumpul. Aku, Anisah, Sitta,
Lulux, Nabila, dan Cao. Sebuah pesan panjang dari Anisa, yang berisi kerinduan kepada
kami. Dan karena satu notifikasi itu, muncul beberapa notifikasi lain yang
membuat Smartphone-ku menjadi berisik.
Perbincangan kami terus berlanjut di chat tersebut. Dari
mulai membicarakan hal yang membuat kerinduan semakin memuncak, sampai membuat
rindu itu terkikis oleh rasa kesal. Aku terkekeh, bagaimana bisa setelah 3
tahun tidak bertemu kami masih seperti remaja labil? Ah, rindu itu terasa semakin
menggumpal saja.
Source |
Kamis, akhir November. Café la Mind siang ini tetap ramai
seperti biasanya. Aku duduk sendirian dibangku yang bersebelahan dengan kaca.
Kami berencana untuk temu kangen siang ini, setelah melewati beberapa ‘sidang’
alot yang dipimpin oleh Lulux. Sempat terlintas di pikiranku, yang dulunya jika
ingin bertemu tinggal kunjungi rumahnya saja, sekarang harus mengatur jadwal
agar tidak bentrok. Ah, waktu.
Satu per satu mereka datang, di awali dengan Lulux dan Sitta. Lalu Cao yang datang langsung mengeluarkan handphonenya, Nabila,
dan terakhir Anisah sambil tertawa-tawa, seperti biasa. Aku tersenyum menatap mereka, agak
canggung. Lima belas menit kami lalui dengan kecanggungan luar biasa. Aku ,orang
yang tidak bisa mencairkan suasana hanya menatap sekitar café sambil berpikir
kata apa yang tepat untuk memulai
percakapan.
“Masa gini-gini aja?” ujar Lulux tiga menit kemudian sambil
menahan kesal. Kami semua menengok ke arahnya. “Katanya mau ketemu tapi sibuk
semua sama kegiatan masing-masing!” tambahnya lagi.
Kulihat Nabila meringis sedikit. Anisah dan Sitta saling
tatap kebingungan. Aku menatap Lulux sambil tertawa pelan. “Ya emang mau
gimana, Luxy?” jawabku. Cao masih asyiik dengan handphonenya.
“Ah, gatau ah! Kalian udah gak asik. Yaudahlah, aku juga gak
deket sama kalian!” Lulux berkata dengan wajah merengut. Kami terbahak.
Mengingat wajah orang yang dulu kalimat-kalimatnya sering kami ucapkan itu. Dan
akhirnya setelah itu kami mulai bisa menyesuaikan diri. Yah, Lulux memang yang
paling mampu mengubah suasana.
Pembicaraan kami tidak terfokus pada satu topik. Semua kami
bicarakan. Tertawa hingga mengeluarkan air mata, menangis, sampai tertawa lagi,
hingga kami menjadi pusat perhatian. Sampai tiba waktu Ashar, kami berempat
menuju Masjid terdekat untuk menunaikan Shalat Ashar.
![]() |
Source |
“Eh, aku punya pertanyaan buat kalian!” Lulux berkata
semangat setelah selesai merapikan mukena. “Jawab ya, buat bahan tulisan aku di
novel nanti.” Tambahnya.
“Apaan?” ujar kami berbarengan.
“Kalau kalian diminta untuk memilih, kalian milih teman atau
uang?” Lulux mencari posisi nyamannya, lalu berujar lagi “Jawab dari… Anisah
dulu deh. Oh iya sama alasannya ya!”
Anisah hampir ingin protes, tetapi Lulux segera menjawabnya
dengan menempelkan telunjuknya ke bibir Anisa menyuruhnya untuk diam.
“Huh, kenapa aku sih!” protes Anisa pelan. Ia berpikir
beberapa menit, lalu melanjutkan perkataannya. “Kalo aku pasti lebih milih
temen! Soalnya temen itu lebih berharga daripada uang, iya gak, Zil?” tanyanya
padaku. Aku hanya tersenyum sebagai jawaban.
“Kalo kamu, Nabila?”
Nabila yang sedang sibuk membetulkan posisi pashminanya
kaget, ia mengomel sebentar, lalu melanjutkan kegiatannya tadi. “Sebentar.”
Ujarnya.
“Kalo aku, lebih milih Uang.” jawabnya bangga. “Karena kalo
kita punya uang, nanti temen juga bakal dateng sendiri ke kita. Kan, Zil?”
Tambahnya. Aku meringis. Kenapa semua pendapat harus ditanyakan lagi kepadaku?
“Kalo kamu gimana, Sitta?” Sambung Lulux lagi.
Sitta diam sebentar, memilih kalimat yang tepat. “Aku milih
teman. Uang gampang dicari. Teman yang baik susah dicari.”
Lulux menganggukan kepalanya lalu menoleh ke arah Cao yang
sibuk dengan handphone-nya. “Kamu, Cao?”
“Sini pilih teman yang punya banyak uang. Biar bisa
dijajanin kalo lagi main.” jawabnya santai tanpa memalingkan wajah dari
handphone-nya. Kami semua tertawa. “Aku juga mau kalo gitu mah!” pungkas Anisah
“Kalo menurut kamu gimana Manzila?”
“Aku gak bakal milih dua-duanya.” Jawabku.
“Ih! Gak bisa gitu, Manzila! Kan disuruh milih! Ya harus
pilih!” ujar Anisah protes.
“Anisah diem dulu apa! Manzila belum selesai ngomong!” jawab
Lulux gemas. Anisa tersenyum 3 jari sambil membentuk jarinya menyerupai huruf
‘v’.
“Aku gak pilih dua-duanya soalnya uang dan teman itu
kebutuhan yang sama. Dan gak bisa dibandingkan atau dilepaskan salah satunya.”
Ujarku. “dan kamu tahu sendiri, Lux. Kalo aku gak bisa pilih salah satu, jadi
mendingan aku gak pilih dua-duanya biar adil. Hehe” ujarku dengan cengiran
bodoh.
“Itu alasan kenapa aku milih kamu paling akhir, Manzila.
Coba aku minta pendapat kamu duluan pasti mereka pada jawabnya samaan semua.” Kata
Lulux menimpali jawabanku.
Anisah dan Nabila tampak ingin memprotes, tetapi keduluan
oleh pertanyaanku. “Kalo menurut kamu, Luxy?” tanyaku.
“Aku bakal milih dua-duanya.” Ujar Lulux santai. “Stt! Diem
dulu aku belum selesai ngomong!” tambahnya setelah melihat Anisah ingin protes
lagi. Aku tertawa sambil
menggeleng-gelengkan kepala melihat kelakuan Anisah yang dari dulu tidak
berubah itu.
“Dengan aku milih dua-duanya aku bisa punya teman, juga bisa
punya uang. Aku bisa bantu teman aku kalo aku punya uang.” Lulux meminum airnya
sebentar. “Maap, Haus. Hehe… sampai mana tadi kita? Oh iya, dan aku juga gak
bilang untuk pilih salah satu kan? Aku Cuma bilang pilih aja. Pilihan gak
selalu dua kok. Ada pilihan ketiga, empat, lima, dan seratus kalo kamu mau
malah.” Tambahnya.
Aku tersenyum. Yah pribadi kami memang diciptakan
bertentangan satu sama lain. Tapi kami mencoba membuatnya menjadi suatu bentuk
yang unik dan utuh. Lulux dengan seluruh filosofinya, Nabila dengan segala
kekonyolannya, Anisah dengan semua keceriaannya, Sitta dan segala sarkastiknya,
juga Cao dengan pikiran-pikirannya.
Sore ini, di akhir November. Aku melihat kembali lima
temanku berwujud anak SMK. Waktu terasa mundur dan aku menyaksikan kelima
temanku memakai baju putih abu-abu. Berkumpul di kantin sekolah sambil memesan
es teh dan indomie rebus. Tertawa karena sebuah cerita konyol yang kami karang sendiri.
Semoga kami selalu baik-baik saja.
Sabtu, 16 Oktober 2015
4 Komentar
This my UwU for ya.. 💖💖💖
BalasHapusu,u💙💙💙
HapusKisah yang sangat bagus.. 🙂 tapi ada satu hal yang perlu dikoreksi kalau Lulux, sampai kapanpun, gak akan memilih jawaban itu. Tapi dia akan bilang.. aku akan pilih sesuatu yang lebih besar dari dua hal itu (uang dan teman) sesuatu yang absurd. Teman dan uang hanyalah ilusi. Hidup ini milik aku, jadi kenapa harus orang yang menentukan apa aja pilihan aku? Dan kalau di tanya aku akan lebih memilih kesempatan. Kesempatan untuk memperbaiki kesalahan 🙂 Halo Manzila! 🤗 Kapan kita ketemu???
BalasHapusKemarin kita telah ketemu, Luxy. Aku baru lihat komentar kamu, Terima kasih telah berkomentar💙
Hapus