Tampilkan postingan dengan label Kala Itu. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Kala Itu. Tampilkan semua postingan

Minggu, 28 April 2019

,

Kala Itu #2

"Mbak Manzila?" tanya seorang pengemudi ojek online berjaket hijau di depanku.

"Iya, pak." aku mengangguk.

"Maaf ya, mbak telat. Pancoran macet banget, lampu merahnya mati!" katanya seraya mengulurkan helm berwarna hijau.

Aku segera memakai helm tersebut dan naik di motornya, "Gapapa, pak. Tapi kalau bisa agak ngebut ya, soalnya mau reuni nih, pak!"

"Wih, reunian sama teman SMA ya, mbak? Saya udah lama nggak ketemu sama temen SMA saya..." ujarnya semangat sambil terus bercerita. Entah telingaku yang agak budeg atau suara si bapak yang kalah kencang dengan kecepatan motornya, aku sama sekali tidak mendengar apa yang dia ceritakan. Jadi hanya menjawab seadanya; haha-hehe dan iya-tidak saja,




Lima belas menit kemudian aku sampai di sebuah restoran makanan Korea. Setelah celingak-celinguk mencari keberadaan mereka, kulihat segerombolan wanita berkerudung di pojok ruangan, tepat di bawah AC. Aku berusaha mendekat sambil tetap memakai masker.

"Manzi! Gue kira lo beneran nggak dateng!!" teriak Sitta begitu jarakku kurang lebih dua meter dari sana. Aku melambaikan tangan.

"Ziiiilll, kangennn!! Kata kamu nggak bisa dateng?" sambung Anisah kemudian. Sambil mengisyaratkan untuk duduk di sebelahnya.

"Kamu kayak nggak tau Manzila aja, dia kan suka pick n bonny!" jawab Nabila. Aku hanya menjawabnya dengan tertawa. Lulux memandangku dengan sebal karena dibohongi, sedangkan Cao mengangkat wajahnya sebentar lalu kembali fokus dengan handphone di tangannya.

Setelah memanggil pramusaji dan memesan, aku menolehkan pandangan ke arah mereka. "Cerita apaan sih heboh banget? Cantik-cantik masih aja ketawanya kayak speaker masjid."

"Biarin apa, namanya juga ketemu temen, Zil." jawab Anisah dengan cepat. "Eh Luxy! Kemarin aku udah baca novel kolaborasi kamu sama Cao. Gambarnya bagus, ceritanya juga!" sambungnya lagi.

Luxy membenarkan cara duduknya, pertanda bahwa dia akan memulai ceritanya.

"Tapi sini masih kesel sama editornya, masa rambut sama tiara yang dipakai di cover harus diubah. Mana bajunya juga diminta lebih tertutup. Inikan novel fantasi bukan novel religi!" respon Cao sambil memotong daging di piringnya dengan sebal.

"Iya! Itu kan cerita tentang Succubus! Masa Succubus bajunya tertutup? Katanya biar nggak mengundang. Udah tau ceritanya tentang Succubus!" ujar Lulux dengan semangat kekesalan tinggi.

"Harusnya kamu kasih ke dia foto yang nggak pake baju, Luxy! Pasti dia langsung setuju deh!" timpal Nabila.

Sitta merespon ucapan Nabila dengan tabokan cukup keras sambil tertawa. "Gila lo ya! Yang seksi aja nggak diterima apalagi yang begitu. Pasti disimpen sama editornya!" kami tertawa.

Setelah hampir satu jam bertukar cerita tentang kabar masing-masing, tiba-tiba Anisah bertanya yang membuatku tersedak, kaget. "Zil, kamu udah punya pacar belum sih?" tanyanya sambil menatapku dengan serius.

"Kalo tanya sesuatu, tolong waktu selesai aku ngunyah makanan ya. Kaget ini." ujarku setelah meredakan batuk. Anisah hanya tertawa jahil sambil menunjukkan peace dengan dua jarinya.

"Eh iya, emang kamu udah punya pacar, Zil?" ulang Nabila. Aku mengangguk sekilas sebagai jawaban.

"Cerita dong!! Punya pacar diem-diem aja sih!" sambungnya.

"Emang dikekepin bae, takut ada saingan kali."

"Bukannya dikekepin, Sit. Masa gue harus bikin video berdua dia terus kirim ke grup sambil pamer 'hai temanku, inilah pacarku' gitu?." ujarku membela diri.

"YAA NGGAK NGOMONG BEGITU JUGA KALI!" sambung Sitta kemudian. "Cerita kek tentang cowok lo, atau ngepos foto. Ini mah boro-boro ngepos foto bareng, story aja nggak pernah!"

Aku meringis. "Itulah gunanya, biar kalian semua penasaran dan bertanya langsung pada saya."

"Oke, jadi Manzila. Coba ceritakan seperti apa laki-laki yang bisa memikat kamu? Aku perlu tau." sahut Lulux menengahi.

"Aduh, gimana ya maksudnya?" tanyaku sambil meringis (lagi).

"Ya, apaan kek, Zil! Ganteng, pinter, lucu, apa yang kayak Namjoon BTS?"

"Apa mirip sama si mantan dulu? Anak Futsal, punya lesung pipi?" celetuk Sitta.

"Kalian ngapain nanya gituan sama orangnya, minta aja nama instagremnya." cetus Cao dengan santainya.

Semua teman-temanku berteriak menyetujui, membuat keributan kecil yang berefek pandangan risih orang-orang. Setelah mendapatkan dan melihat-lihat akun instagrem cowok itu, mereka mengangguk-angguk sok paham.

"Oh, jadi selera kamu yang seperti itu, Manzila." Lulux memulai komentarnya. "Ya, aku paham lah. Apa yang membuat kamu suka sama dia."

"Kok kamu paham? Kan aku belum cerita?! Jangan-jangan kamu jadi suka juga sama dia?!" jawabku.

"Apa sih.. Kamu alay juga ternyata ya, Zil!" ujar Nabila sambil menatapku dengan pandangan jijik, lalu tertawa.

"Ceritain apa, Zil. Awal kenalnya gimana? Kenapa bisa jadi deket dan pacaran akhirnya?" tanya Anisah dengan penuh rasa penasaran.

Semua yang di meja mengangguk setuju, kecuali Cao yang sibuk dengan handphone-nya dan Lulux yang hanya menatapku datar tapi seakan minta segera bercerita.

"Gimana ya.." aku menggaruk kepala yang tidak gatal. Tatapan mata teman-temanku yang seakan memaksa untuk segera-cerita-atau-kami-akan-membuatmu-membayar-makanan-ini akhirnya membuka mulutku. Rasanya tidak terbiasa menceritakan kehidupan pribadi di depan orang banyak seperti ini. Aku canggung sendiri, padahal mereka mendengarkan dengan serius, sambil sesekali bertanya dan merespon dengan senyum.

"Lo beneran suka sama cowok ini, ya, Man?" respon Sitta setelah ceritaku selesai.

"Hah, kenapa emangnya?"

Mereka saling menatap beberapa detik kemudian tertawa. "Lo gak sadar emang dari tadi ceritain dia, muka lo sumringah banget!"

Aku menutup mukaku menahan malu. Mereka tertawa sambil meledekku yang menyembunyikan wajah di balik telapak tangan. Setelah agak mereda, tiba-tiba Anisah mengajukan pertanyaan yang sama denganku untuk Cao.

Cao yang tadinya masih tertawa langsung mengubah raut wajahnya menjadi datar. Gantian aku yang tertawa melihat ekspresinya yang seakan berkata kenapa-harus-bertanya-tentang-aku.

"Dia mah orangnya lurus aja. Di kantor ada cowok yang ngejar-ngejar dia, malah nggak mau deket-deket. Ngeri katanya." jawab Sitta.

"Lah, Cao! Kamu gimana sih! Harusnya kalau ada yang ngejar-ngejar, kamu harus kejar balik lah! Kamu nggak ingat apa yang aku ajarkan ke kamu?!" Luxy merespon dengan ekspresi sebal.

"Ya gimana sini nggak ngeri. Itu orang nyapa mulu tiap ketemu di mana pun dan kapan pun. Berasa kantor yang gede jadi sempit banget gara-gara ketemu manusia itu mulu!"

Kami tertawa kencang mendengar respon Cao. Bertemu mereka selalu membuat moodku jauh membaik. Sehat selalu kalian, ujarku dalam hati sambil menatap mereka semua.



***


Tolong ya, ini fiksi. Aku belum punya pacar kok. Trims.

Continue reading Kala Itu #2

Jumat, 15 Februari 2019

,

Kala Itu #1


Mendung masih menggelayuti pagi awal November. Hari ini aku libur bekerja, setelah sebulan penuh berkutat di depan laptop. Sejuknya udara membuatku malas untuk sekadar bangun dan mencuci muka. Selepas Shubuh tadi, aku hanya berkutat dengan Smartphone dan tidur-tiduran di kasurku saja. Hari yang tepat untuk bermalas-malasan.

Tring! Tiba-tiba sebuah notifikasi masuk ke Smartphone yang sejak tadi aku genggam. Dari gank-ku SMK dulu, Master Mind. Berisi 6 orang perempuan yang sering berpikir jika sedang berkumpul. Aku, Anisah, Sitta, Lulux, Nabila, dan Cao. Sebuah pesan panjang dari Anisa, yang berisi kerinduan kepada kami. Dan karena satu notifikasi itu, muncul beberapa notifikasi lain yang membuat Smartphone-ku menjadi berisik.

Perbincangan kami terus berlanjut di chat tersebut. Dari mulai membicarakan hal yang membuat kerinduan semakin memuncak, sampai membuat rindu itu terkikis oleh rasa kesal. Aku terkekeh, bagaimana bisa setelah 3 tahun tidak bertemu kami masih seperti remaja labil? Ah, rindu itu terasa semakin menggumpal saja.

Image result for cafe
Source

Kamis, akhir November. Café la Mind siang ini tetap ramai seperti biasanya. Aku duduk sendirian dibangku yang bersebelahan dengan kaca. Kami berencana untuk temu kangen siang ini, setelah melewati beberapa ‘sidang’ alot yang dipimpin oleh Lulux. Sempat terlintas di pikiranku, yang dulunya jika ingin bertemu tinggal kunjungi rumahnya saja, sekarang harus mengatur jadwal agar tidak bentrok. Ah, waktu.

Satu per satu mereka datang, di awali dengan Lulux dan Sitta. Lalu Cao yang datang langsung mengeluarkan handphonenya, Nabila, dan terakhir Anisah sambil tertawa-tawa, seperti biasa. Aku tersenyum menatap mereka, agak canggung. Lima belas menit kami lalui dengan kecanggungan luar biasa. Aku ,orang yang tidak bisa mencairkan suasana hanya menatap sekitar café sambil berpikir kata apa  yang tepat untuk memulai percakapan.

“Masa gini-gini aja?” ujar Lulux tiga menit kemudian sambil menahan kesal. Kami semua menengok ke arahnya. “Katanya mau ketemu tapi sibuk semua sama kegiatan masing-masing!” tambahnya lagi.

Kulihat Nabila meringis sedikit. Anisah dan Sitta saling tatap kebingungan. Aku menatap Lulux sambil tertawa pelan. “Ya emang mau gimana, Luxy?” jawabku. Cao masih asyiik dengan handphonenya.

“Ah, gatau ah! Kalian udah gak asik. Yaudahlah, aku juga gak deket sama kalian!” Lulux berkata dengan wajah merengut. Kami terbahak. Mengingat wajah orang yang dulu kalimat-kalimatnya sering kami ucapkan itu. Dan akhirnya setelah itu kami mulai bisa menyesuaikan diri. Yah, Lulux memang yang paling mampu mengubah suasana.

Pembicaraan kami tidak terfokus pada satu topik. Semua kami bicarakan. Tertawa hingga mengeluarkan air mata, menangis, sampai tertawa lagi, hingga kami menjadi pusat perhatian. Sampai tiba waktu Ashar, kami berempat menuju Masjid terdekat untuk menunaikan Shalat Ashar.

Related image
Source

“Eh, aku punya pertanyaan buat kalian!” Lulux berkata semangat setelah selesai merapikan mukena. “Jawab ya, buat bahan tulisan aku di novel nanti.” Tambahnya.

“Apaan?” ujar kami berbarengan.

“Kalau kalian diminta untuk memilih, kalian milih teman atau uang?” Lulux mencari posisi nyamannya, lalu berujar lagi “Jawab dari… Anisah dulu deh. Oh iya sama alasannya ya!”

Anisah hampir ingin protes, tetapi Lulux segera menjawabnya dengan menempelkan telunjuknya ke bibir Anisa menyuruhnya untuk diam.

“Huh, kenapa aku sih!” protes Anisa pelan. Ia berpikir beberapa menit, lalu melanjutkan perkataannya. “Kalo aku pasti lebih milih temen! Soalnya temen itu lebih berharga daripada uang, iya gak, Zil?” tanyanya padaku. Aku hanya tersenyum sebagai jawaban.

“Kalo kamu, Nabila?”

Nabila yang sedang sibuk membetulkan posisi pashminanya kaget, ia mengomel sebentar, lalu melanjutkan kegiatannya tadi. “Sebentar.” Ujarnya.

“Kalo aku, lebih milih Uang.” jawabnya bangga. “Karena kalo kita punya uang, nanti temen juga bakal dateng sendiri ke kita. Kan, Zil?” Tambahnya. Aku meringis. Kenapa semua pendapat harus ditanyakan lagi kepadaku?

“Kalo kamu gimana, Sitta?” Sambung Lulux lagi.

Sitta diam sebentar, memilih kalimat yang tepat. “Aku milih teman. Uang gampang dicari. Teman yang baik susah dicari.”

Lulux menganggukan kepalanya lalu menoleh ke arah Cao yang sibuk dengan handphone-nya. “Kamu, Cao?”

“Sini pilih teman yang punya banyak uang. Biar bisa dijajanin kalo lagi main.” jawabnya santai tanpa memalingkan wajah dari handphone-nya. Kami semua tertawa. “Aku juga mau kalo gitu mah!” pungkas Anisah

“Kalo menurut kamu gimana Manzila?”

“Aku gak bakal milih dua-duanya.” Jawabku.

“Ih! Gak bisa gitu, Manzila! Kan disuruh milih! Ya harus pilih!” ujar Anisah protes.

“Anisah diem dulu apa! Manzila belum selesai ngomong!” jawab Lulux gemas. Anisa tersenyum 3 jari sambil membentuk jarinya menyerupai huruf ‘v’.

“Aku gak pilih dua-duanya soalnya uang dan teman itu kebutuhan yang sama. Dan gak bisa dibandingkan atau dilepaskan salah satunya.” Ujarku. “dan kamu tahu sendiri, Lux. Kalo aku gak bisa pilih salah satu, jadi mendingan aku gak pilih dua-duanya biar adil. Hehe” ujarku dengan cengiran bodoh.

“Itu alasan kenapa aku milih kamu paling akhir, Manzila. Coba aku minta pendapat kamu duluan pasti mereka pada jawabnya samaan semua.” Kata Lulux menimpali jawabanku.
Anisah dan Nabila tampak ingin memprotes, tetapi keduluan oleh pertanyaanku. “Kalo menurut kamu, Luxy?” tanyaku.

“Aku bakal milih dua-duanya.” Ujar Lulux santai. “Stt! Diem dulu aku belum selesai ngomong!” tambahnya setelah melihat Anisah ingin protes lagi. Aku tertawa  sambil menggeleng-gelengkan kepala melihat kelakuan Anisah yang dari dulu tidak berubah itu.

“Dengan aku milih dua-duanya aku bisa punya teman, juga bisa punya uang. Aku bisa bantu teman aku kalo aku punya uang.” Lulux meminum airnya sebentar. “Maap, Haus. Hehe… sampai mana tadi kita? Oh iya, dan aku juga gak bilang untuk pilih salah satu kan? Aku Cuma bilang pilih aja. Pilihan gak selalu dua kok. Ada pilihan ketiga, empat, lima, dan seratus kalo kamu mau malah.” Tambahnya.

Aku tersenyum. Yah pribadi kami memang diciptakan bertentangan satu sama lain. Tapi kami mencoba membuatnya menjadi suatu bentuk yang unik dan utuh. Lulux dengan seluruh filosofinya, Nabila dengan segala kekonyolannya, Anisah dengan semua keceriaannya, Sitta dan segala sarkastiknya, juga Cao dengan pikiran-pikirannya.

Sore ini, di akhir November. Aku melihat kembali lima temanku berwujud anak SMK. Waktu terasa mundur dan aku menyaksikan kelima temanku memakai baju putih abu-abu. Berkumpul di kantin sekolah sambil memesan es teh dan indomie rebus. Tertawa karena sebuah cerita konyol yang kami karang sendiri.

Semoga kami selalu baik-baik saja.


Sabtu, 16 Oktober 2015
Continue reading Kala Itu #1