Kamis, 10 Oktober 2019

Validasi Rasa

Untuk apa masih bertanya, jika apa yang kulakukan sudah bisa kau rasakan sendiri?
Untuk apa masih ragu, bukankah sudah terlalu jauh untuk mencari jalan kembali?

Apa yang ingin kamu dengar adalah apa yang aku lakukan.
Apa yang kamu ragukan adalah apa yang telah aku yakinkan selama ini.

Tatapku belum cukup untuk membuatmu berhenti mencari jawaban?
Pundakku belum cukup untuk membuatmu merasa nyaman?
Pelukku belum cukup untuk membuat hatimu merasa aman?

Tak ada kata yang bisa menggambarkannya. Apa aku harus membuat kata baru untuk meyakinkanmu?


Continue reading Validasi Rasa

Rabu, 18 September 2019

Kenapa yang Menimbulkan Kenapa

Takut, takut dan takut. Selalu kata itu yang kamu ulangi.
Nggak bisa, aku nggak tau gimana caranya.
Sambungmu lagi.

Kenapa semua hal baru harus kamu takuti?
Bagaimana caramu tau jika kamu nggak belajar?
Padahal aku ada di depan, berteriak paling kencang memberi dukungan.

Katamu kamu tidak suka sesuatu di luar kendalimu.
Tapi kamu berkata, suka sekali belajar.
Apa yang mau kamu pelajari, jika semua sesuai kendalimu?

Kenapa terlalu takut? Kenapa tidak berani melangkah?
Kenapa membohongi diri? Kenapa menutup diri?
Kenapa semua harus sesuai kendalimu?

Untuk sekali ini, cobalah.
Continue reading Kenapa yang Menimbulkan Kenapa

Senin, 09 September 2019

Unfinished Answer

Ada hal yang belum aku temukan jawabannya. Aku cari ke semua orang, setiap orang yang kutemui. Dari buku-buku yang kubaca. Menjadi pemerhati semesta yang bergerak, dengan harapan bisa menemukan jawaban. Berulang-ulang. Penuh ambisi.

Aku terlalu banyak memberi jawaban kepada orang lain hingga pertanyaan yang aku ajukan kepada diri sendiri, tidak aku temukan. Terlalu peduli pada orang lain, terlalu banyak mendengar, hingga terlalu sedikit dan sulit berbagi cerita. Padahal manusia butuh berbagi sisi.

Sering banget merasa ada yang hilang, ada yang kurang. Berkali-kali aku merasa takut dan ragu melangkah. Rasa takut tentang hal yang aku sendiri nggak tau seperti apa. Aku nggak paham diriku sendiri. Pula, ada hari-hari di mana rasanya aku lelah dengan hari. Capek. Aku mau nangis aja dan nggak mau ketemu siapapun. Tapi aku nggak bisa nangis. Aku nggak bisa diam di dalam kamar dan bikin orang khawatir.

Aku selalu bilang, aku nggak kenapa-kenapa. Aku nggak kenapa-kenapa. Aku cuma belum paham sama diri aku sendiri. Nggak marah sama orang, aku marah sama diri aku sendiri. Aku nggak ngerti apa yang kurang, apa yang aku cari. Aku nggak bisa menemukan jawaban.

Atau sebenarnya, aku nggak tau apa pertanyaan yang selama ini aku ingin tanya? Gimana bisa menemukan jawaban kalau aku sendiri nggak bisa menemukan pertanyaan yang tepat untuk dicari jawabannya?

Satu hal yang baru aku sadari baru-baru ini. Setelah kemarin bengong di pantai malam-malam. Mungkin ini salah satu pertanyaan yang selama ini aku ingin tanyakan, tapi aku nggak tau gimana caranya bertanya hal ini.
Ada hal yang belum aku selesaikan dari diriku sendiri, tapi aku cari pada orang lain. Ada hal yang aku takutkan dari diriku sendiri, tapi malah mendobraknya melalui orang lain. Ada hal yang belum aku terima, tapi berpura-pura rela melepas.
Aku takut akan ekspektasiku sendiri. Aku ragu pada diriku sendiri. Aku kecewa pada diriku sendiri. Aku lelah dengan diriku sendiri. Kenapa? Selama ini aku terlalu memaksa. Memaksa menjadi orang baik. Selalu berpikir dari sisi positif. Merasa semuanya aman.

Jadi capek sendiri, sesak sendiri, marah sendiri. Aku nggak bisa menolong diriku saat butuh. Patah hati waktu sadar diri, aku nggak sekuat itu. Tapi memang manusia nggak harus selalu terlihat kuat kan? Aku terlalu naif. Padahal aku tau warna memiliki macam, begitu juga hidup. Aku nggak harus selalu senyum waktu kecewa. Nggak harus ketawa waktu lagi butuh nangis. Nggak harus blank waktu butuh solusi. Rasa perlu dibagi.

Aku terlalu takut buat terlihat lemah, buat terlihat nggak baik-baik aja. Padahal rasanya kepalaku udah nggak kuat buat diangkat, tapi egoku malah teriak "ada orang lain yang masalahnya lebih berat daripada kamu!" Padahal kaki rasanya udah lemas buat melangkah maju, tapi begitu melihat sekitarku bergerak cepat, gengsiku berambisi untuk tidak istirahat. Aku yang kelelahan, bukannya berhenti malah menyeret kaki.

Selalu bilang, aku kangen seseorang yang bahkan entah siapa. Yang tubuhnya bisa dipeluk waktu kelelahan. Yang bahunya bisa menjadi sandaran sebentar. Yang telinganya rela mendengar keluhan. Tapi nggak bisa. Nggak boleh. Gimana aku mau bersandar saat aku tidak percaya pada apa yang aku ingin ceritakan? Gimana aku bisa memulai hubungan saat aku masih punya hal yang belum selesai dari diriku?

Padahal yang aku butuhkan cuma menerima. Membiarkan rasa berekspresi. Nangis ya nangis aja, nggak perlu sok kuat. Marah ya marah aja, nggak perlu sok nggak peduli. Nggak usah disangkal, nggak usah ditahan.

Tenang, aku juga berusaha menerima sekarang. Entah bagaimana caranya. Aku bakal tetap berusaha kok. Capek. Aku nggak mau lagi ketakutan. Aku nggak mau lagi memasang benteng pertahanan. Aku nggak mau lagi sok kuat mental.
Continue reading Unfinished Answer

Minggu, 01 September 2019

Yaudahlah

Katanya semakin dewasa manusia, semakin malas juga mengurusi hal-hal yang nggak sesuai dengan keinginan. Apalagi menyangkut orang blain. Makin me-yaudah-lah semua hal, makin malas berdebat. Kalian gitu nggak sih?

Sebagai orang yang dulu maunya semua hal sesuai keinginan, sesuai rencana, aku merasa kalimat itu bener banget. Pernah beberapa hal aku paksakan biar benar-benar terjadi, bahkan sampai bertengkar dan tidak berkabar. Aku kesal dan memilih nggak mau berhubungan.

Saat mengajak orang lain dan ternyata mereka tiba-tiba membatalkan janji, aku yang dulu mungkin akan kesal dengannya. Padahal aku tau bahwa setiap orang punya prioritas. Tapi tetap saja, rasanya marah. Aku benci berjanji dan tidak ditepati.

Akhirnya aku sadar sendiri, kalau dunia nggak selalu berpijar di dekatku aja. Nggak semua bakalan bisa sesuai dengan apa yang aku inginkan. Sebagai makhluk sosial yang butuh orang lain dan hidup bersama orang lain, nggak mungkin semua jalan sesuai dengan rencanaku. 

Aku juga nggak selalu tepat janji kok. Bisa jadi tiba-tiba ada kerjaan mendadak atau diajak ke rumah saudara. Kalau udah gitu, biasanya aku akan janji ganti hari, atau traktir dia makan sebagai gantinya. Walaupun kekesalan emang nggak bisa digantikan dengan apapun ya, tapi menunjukkan penyesalan karena membatalkan janji setidaknya bisa meredam rasa marah, menurutku.

Jadi sekarang kalau janji dibatalkan merasa, "yaudahlah, nggak semua orang sesantai kamu kali, Man. Sendiri aja lah." Selalu begitu. Sampai kadang rasanya agak segan mengajak orang lain untuk jalan-jalan. Kalau bisa sendiri, jalan ajalah. Kalo malas, mendingan baca buku di rumah atau nulis aja, itu pikiranku aja sih.

Dari dulu sebenarnya aku terbiasa sendirian ke manapun. Rasanya nyaman-nyaman aja. Entah sejak kapan, aku mulai butuh teman saat jalan-jalan, ke tempat baru, pameran, nonton bioskop. Beberapa bulan ini aja sih, rasanya aku begitu butuh teman untuk sekadar beli baju di mall. Kenapa ya? Apa ini yang dinamakan kesepian? Apa aku lagi bosan sendirian ya? Hahaha.

Tapi bener deh, sikap "yaudahlah" ini bisa meredam kekecewaan aku terhadap orang lain. Walaupun efek buruknya, aku jadi malas bergantung pada orang lain kalau pergi ke mana-mana. Tiba-tiba dichat teman,"kok nggak ngajak?!" Maaf ya teman-temeaku :'D
Continue reading Yaudahlah

Jumat, 30 Agustus 2019

Twitter

Assalamu'alaikum. Hai!

Semakin hari kayaknya semakin banyak orang-orang yang sign in ke sosial media ya. Seperti bertetangga, setiap hari ada saja hal-hal yang baru kita tau dari orang lain, atau yang pindah di sekitar sosial media kita. Entah rasamya sudah tidak ada rahasia lagi di antara manusia. Senang, mengabari di instastory. Sedih, beralih ke twitter. Marah, update di facebook. Sebenarnya kebebasan berekspresi ini diam-diam memanipulasi kita untuk terus membagikan update diri di muka orang banyak.

Image result for twitter

Salah satunya, aku. Sebagai orang yang lebih suka mengeluh di twitter, aku agak "bingung" saat orang-orang terdekatku kembali ke twitter. Bukan apa-apa, selama ini aku menulis keluh-kesahku ya di sosial media itu. Alasannya karena dulu tidak ada orang terdekat yang bisa mendeteksi keberadaanku di sana. Aku merasa bebas berekspresi; mengeluh, merayakan euforia atau membagikan kekesalan dengan satu paragraf. Rasanya, ruang gerakku kembali dibatasi saat melihat mereka kembali ke dimensi cuitan itu.

Memang sebenarnya twitter adalah tempat umum. Semua orang bisa mendaftar dan kembali. Tapi rasanya, seperti melihat orang-orang yang dulu sempat meninggalkan rumah dan kembali saat rumah telah banyak dikunjungi. Mungkin dulu aku bisa berkali-kali "berkicau" di twitter. Tapi sekarang rasanya segan. Ingin berbagi keresahan, tanpa diketahui orang yang dikenal. Kalian pernah nggak sih sepeti itu?

Kalau ditanya, kenapa tidak menulis di blog aja? Ya, karena yang aku butuh bagikan dan luapkan itu adalah satu paragraf pendek. Tidak seperti blogging yang paling tidak harus memiliki satu artikel, di twitter, aku hanya menulis paling kalimat-kalimat pendek yang menggambarkan perasaan secara spontan. Tanpa harus memikirkan judul atau paragraf selanjutnya.

Twitter adalah juara sosial media, versiku. Sejujurnya di sana, aku hanya ingin membagikan perasaan tanpa orang terdekat tau. Hanya butuh meluapkan emosi dalam sebuah tulisan tidak penting.
Continue reading Twitter

Selasa, 27 Agustus 2019

Bersangkal

Kenapa menetap saat sadar frekuensi yang kita bawa berbeda?
Memaksa bercerita dan bertanya-tanya.
Sebenarnya apa yang sedang kita saling pertahankan?
Kamu dengan rasa mengalahmu pada cerita-ceritaku, dan aku dengan rasa ingin tauku pada apa yang ingin kau ceritakan.

Kita tau bahwa jalan kita bersebrangan.
Tapi tak juga menyurutkan untuk melepaskan genggaman.
Sebenarnya apa yang sedang kita pertahankan?
Ego yang menahan atau tak ingin menyudahi duluan?

Kau dan aku tau.
Sebenarnya apa yang sedang kita pertahankan?
Jika orang-orang bisa bertahan dengan perbedaan, mengapa tidak dengan kita?
Jika orang-orang rela luka-luka, apa bisa kita saling mereda?
Katamu saat ditanya.

Sampai kapan bertahan dan menyangkal?
Sampai kapan kita rela saling menyesuaikan?


Continue reading Bersangkal

Jumat, 16 Agustus 2019

Agustus

Halo, Agustus.
Terima kasih sudah mau datang berkunjung dan menetap sebentar. Selama bersama Juli kemarin, rasanya terlalu lelah untuk bertahan. Harinya terlalu lama untuk dijalani. Entah aku yang tidak terlalu menikmati atau Juli senang berlama-lama di sini.

Agustus,
walaupun jumlahmu sama dengan Juli, aku harap kamu memberi kebaikan lebih banyak ya. Menebar kebahagiaan lebih luas. Memberi warna lebih terang dibanding Juli. Dan bolehkah kamu meminta langit untuk sedikit bersedih? Tidak bagus untuk cerah terlalu lama, sama tidak bagusnya dengan sedih terlalu lama.

Kamu pasti merasakan juga, 'kan Agustus? Tahun ini rasanya hari bisa berjalan cepat atau terlalu lambat. Atau aku saja yang kadang tidak terlalu menikmati atau terlalu menikmati. Terlalu banyak hal aneh yang lewat di Juli, Yah, hanya lewat sih. Tapi tetap saja. Rasanya sangat aneh, bahkan untuk diingat kembali.

Yasudah. Semoga kamu bisa memberi bahagia kepada orang-orang ya, Agustus. Jangan lupa, tolong ingatkan langit untuk bersedih sebentar. Jika langit bilang dia tidak tau harus menangis karena apa, minta saja dia untuk melihat orang-orang yang merindukan melodi hujan di jalan. Atau bilang padanya, aku rindu suara tetes air matanya!
Continue reading Agustus