Senin, 30 Desember 2019

Am I Good Enough?

Monday Night. Through the melody of pourin' rain. I wondering myself.

Am I good enough?

I don't good enough to accept the kindness. What have I ever done to receive this much kindness, eh? Did I ever save a person in my previous life?

This year feels like I receive so much kindness and blessing. Sometimes I think that my dream nearly reach out. Just one step closer, and when I want to up to the stairs the dream feels far away. Like utopia. No. It's not about reset to the beginning, but I feel afraid step up again. I need something to hold on.

Am I good enough to handle every problem that I had? This year feels so exhausting. I'm tired and have been crying to through it. Even now, I don't know how I still look fine after all. Hahaha. When overthinking strikes your impulsive-ness. Whoa, I feel lost at times.

After all this overwhelming year, I just wanna laying down on the grass and looking the blue sky. Contemplation. Am I doing better than last year? Am I good enough to having someone new? Can I be better day by day?

Sigh. With this wonderful year, I just wanna thankies myself. Thank you for being myself, for not giving up, for choose to happy, for everything. Thank you for this year. Let's growing up better more than year ago. I promise that I'll never give up on everything.
Continue reading Am I Good Enough?

Sabtu, 28 Desember 2019

Trauma

“Aku gatau gimana caranya biar kamu bisa percaya dan berhenti nyalahin diri kamu sendiri, Kei.” ujar seseorang di depanku. “Aku mau jadi orang yang dengar cerita konyol kamu, bahkan obrolan yang kamu bilang nggak penting itu.” lanjutnya.

“Maaf.” Ujarku menundukkan kepala. Rasanya sebentar lagi gerimis akan muncul. 

“Nggak perlu minta maaf. Sekarang aku antar kamu pulang ya. Istirahat, jangan nangis lagi.” 

Aku menganggukkan kepala, lalu mengikuti langkahnya dan duduk di jok motor. Bahkan sampai saat ini aku tidak berani menatap matanya. Apa pantas aku menerimanya? Aku, yang buruk ini apa pantas menerima dia yang dikelilingi kebaikan. 

Telingaku berdenging, ingatan itu kembali dan bertubi-tubi membentur kepalaku, Jantungku berdegup cepat, hingga mengaburkan pandangan. Aku terhuyung dan mencari pegangan padanya.

“Kei, kamu kenapa?!” ujarnya panik sambil memegang tangan dan dahiku. “Astaghfirullah, kenapa kamu jadi menggigil gini? Kita ke rumah sakit sekarang!” ujarnya sambil memakaikan jaket dipundakku lalu menyalakan motornya. Lengan kanannya memegang stang motor, sedangkan lengan kirinya menahan tubuhku yang kedinginan. Sepanjang jalan dia berusaha mengajakku mengobrol, melakukan apapun untuk membuatku terjaga. Aku mendengar apa yang dia bicarakan, genggaman tangannya menemaniku menuju ICU dan ingin menjawabnya. Tapi entah kenapa lidahku terlalu kelu untuk sekadar membuka mulut. Samar-samar rasa kantuk menyerangku dan aku tertidur. 

*** 

Related image
Help

“Tolong! Siapapun tolong aku!” teriakku sepanjang Lorong apartemen kamar itu. 

Dor

Suara pistol berdentum dengan tong sampah besi. Kakiku terasa kebas karena sudah berlari sejam tanpa henti. Rasa lemas mulai merayapi telapak kakiku yang menuruni tangga tadi. Aku berhenti dan melihat sekeliling. Dengan nafas tak beraturan aku menyeret kaki yang mulai tidak bisa diajak kompromi untuk berjalan lagi. 

“Tolong!” teriakku sekali lagi. Kekuatanku rasanya sudah bersisa sangat sedikit. 

Dor

Sekali lagi suara pistol itu menggema di setiap sudut dinding jalan. Aku menyeret kakiku lebih kuat untuk segera bersembunyi. Di manapun. Aku bertekad untuk tetap hidup dan menjadi orang baik. Tuhan, tolong aku. Sekali ini saja, jika kau benar ada! Bisikku lirih. 

“Keinara… Kamu di mana..?” ujar seorang laki-laki bersuara bass. “Di manapun kamu berada, aku bisa menemukanmu..” ujarnya lagi. 

Aku menutup mulutku. Menghalau nafas yang berisik ini. Tuhan, jika kau ada, tunjukkan mukjizatmu! Rengekku lagi. 

“Keinara…” ucap suara itu lagi. Kali ini suaranya terdengar sangat dekat. “Kalau kamu tidak menyahut juga, aku akan membunuhmu jika bisa menemukanmu.” 

Bullshit! Jikapun aku keluar kau tetap akan membunuhku! Runtukku dalam hati. 

“Tentu saja setelah menelanjangimu dan menyelesaikan satu album foto penuh dirimu. Agar lengkap koleksi-koleksiku tentangmu.” Sambung laki-laki itu. Suaranya benar-benar terdengar dekat, apa jangan-jangan dia telah menemukan tempat persembunyianku? 

“Kau tau, ‘kan kalau aku mencintaimu? Sangat mencintaimu. Karena itu aku tidak akan membiarkanmu sedih lagi. Kau adalah barang berharga bagiku.” Dia terdiam sejenak. “Ah iya, mengapa aku tidak mengawetkanmu saja? Aku sangat suka mata cokelatmu itu. Nanti akan kujadikan pajangan di kamarku agar mata kita bisa selalu bertatapan. Ah, betapa romantisnya!” 

Dasar sialan! Jika aku tau kau begitu, aku tidak akan menerima cintamu! Jangankan menerima cintamu, bertemu pandang pun akan kulaporkan ke polisi! Sumpahku dalam hati. 

“Keinara…” ujarnya sambil tertawa kecil. 

Aku benci suara itu. Padahal awalnya suara laki-laki ini adalah salah satu yang aku bisa dengarkan berjam-jam. Bahkan demi mendengar tawanya aku rela memberikan barang-barang mahal. 

“Aku menemukanmu..” ujarnya sambil membuka tempat persembunyianku. Nafasku tertahan dan entah kenapa air mataku tidak bisa terbendung lagi. 

“Anak baik tidak boleh diam saat dipanggil. Apa kamu mau lidahmu itu kuhilangkan?" ujarnya sambil tertawa. "Tapi nanti suara indahmu jadi tidak bisa aku dengarkan lagi, ya..” lanjutnya dengan wajah sedih.

Aku menggelengkan kepala ketakutan. Tuhan, tolong aku! Tolong buat aku mati sekarang, hingga aku tidak bisa merasa hina karena dipegang oleh si brengsek ini. 

Laki-laki itu menarikku keluar dengan paksa. “Oh, jadi begini harummu ya? Seperti harum sepatuku yang sudah lama tidak dicuci.” 

Itu karena kau jorok dan bau kaki, sialan! Jangan samakan aku dengan kakimu yang bahkan kau saja tidak bisa dibandingkan dengan seincipun kotoranku! 

“Ada apa tatapan itu, sayang? Kamu harus tau kalau yang aku bicarakan sejak tadi itu ucapan cinta. CINTA!” ujarnya lalu tertawa kembali. “Kakimu tidak bisa kau gunakan, sayang? Mau kuputuskan saja agar tidak menyusahkanmu? Jadi aku bisa menggendongmu.” 

Aku memaksa kedua kakiku berdiri tegak. Tetap saja gemetar ini tidak bisa dihentikan. Reflek tubuhku tidak sebagus itu.

Tiba-tiba laki-laki itu melepaskan tangannya dariku. Membuat kakiku yang sejak tadi lemas tidak kuat menyangga badanku lagi. Aku terduduk di ujung jalan dengan penerangan seadanya. Dia tersenyum senang dan perlahan mendekat. 

“Sayang, apa kau sudah tidak sabar menemuiku hingga duduk di sini?” ujarnya dengan suara yang membuat tengkukku merinding. 

“Tolong bunuh aku saja sekarang.” Ujarku lirih. 

“Apa? Kau mau mati, sayang? Kalau kau mati, bagaimana denganku nanti?” jawabnya dengan suara lirih dan mata berkaca-kaca. “Ah ya, tapi kan aku bisa mengawetkanmu. Hahaha” 

“Kau laki-laki sialan paling brengsek yang pernah kutemui!” aku berteriak dengan tenaga terakhirku lalu memejamkan mata. Membayangkan hal terburuk yang akan terjadi. Tuhan, maafkan aku jika sampai akhir aku masih tidak percaya padamu. Jika neraka itu ada, tolong jangan masukkan aku ke sana. Dan jika Kau benar-benar ada, aku pasrahkan diriku sekarang. Selanjutnya, terserah Kau saja, bisikku dengan air mata bercucuran.

Dor! 

Rasa nyeri menjalari pahaku. Jadi begini rasanya mati. Tapi sepertinya aku masih bisa menahannya, Tuhan. Haha. Aku membuka mata ngeri membayangkan kematianku dan menyaksikan darah berceceran. Kulihat laki-laki itu tergeletak tepat di depanku dipenuhi noda merah. Kakiku diwarnai noda yang sama. Telingaku berdenging kencang, akibat suara pistol yang rasanya berada tepat di telinga kananku. Ah, pandanganku mulai berputar-putar. Sebelum kesadaranku hilang, aku mendengar seseorang berlari ke dan memanggilku. Inikah malaikat kematian? Lalu aku pingsan.

*** 

“Kei? Kamu udah sadar?” ujar suara bariton membangunkanku. 

Aku mengerjapkan mata, membiasakan cahaya masuk. Wajahnya yang pertama kali aku lihat. 

“Alhamdulillah kamu sadar juga. Orang tua kamu cemas banget karena seharian kamu pingsan. Aku juga khawatir banget.” Lanjutnya lagi sambil membantuku membenarkan posisi tidurku. 

Aku tersenyum lemah memandangnya. Dia terlihat sibuk memanggil dokter yang sedang lewat, lalu izin memanggil kedua orang tuaku. 

Terlihat wajah sumringah dari kedua orang tuaku. Walaupun senyum kelelahan tergurat dari wajahnya, aku bisa merasakan mereka lega. Sejak kejadian itu, rasanya aku benar-benar merepotkan mereka. 

“Kei, kamu udah merasa enakan? Dzanu semalam telepon ngelaporin kalo kamu menggigil dan nggak sadarkan diri. Kamu keingat kejadian itu ya?” ujar mama sambil mengelus kepalaku. Aku menarik nafas panjang dan lekas menggeleng. 

“Papa khawatir banget sama kamu. Sampai nggak mau pulang, nggak mau makan, biar bisa nemenin kamu di sini.” Cerita mama. 

Aku tertawa kecil. Papa terlihat malu dan cemberut kesal kepada mama. Dzanu menyodorkan gelas berisi air mineral, “minum dulu.” Ujarnya. Aku mengangguk menengguk air sambil mendengarkan celotehan mama dan papa. Rasanya sudah lama sekali aku tidak mendengar keriaan ini. 

Setelah kejadian mengerikan itu, aku diminta untuk berkonsultasi dengan psikolog oleh dokter. Trauma itu masih begitu nyata di alam bawah sadarku. Setiap dekat dengan laki-laki dan mendengar kata-kata yang mengingatkanku pada kejadian suram itu tubuhku beraksi keras. Dan bersama Adzanu kemarin adalah puncaknya. Entah kenapa aku sangat ketakutan setelah mendengarkan kalimat-kalimatnya. 

Delapan minggu penuh sesi bersama psikolog, dia selalu mengantar dan menjemputku di sela-sela tugasnya. Merelakan satu minggu jatah cutinya untuk menemaniku yang tiba-tiba ketakutan bertemu semua orang kecuali dirinya. Rasanya aku tidak mendengar keluhan apapun darinya. Bahkan saat bertemu pun dia selalu tersenyum dan bercerita mengenai harinya. Bertemu dokter pun sepertinya adalah sesi kesukaannya, dia terlihat sangat serius saat mendengarkan dokter bercerita tentang perkembanganku. 

“Kata dokter, perkembangan kamu bagus banget, Kei. Aku ikut senang dengarnya.” Ujarnya sambil tersenyum senang. 

“Terima kasih ya.” Jawabku lirih. 

“Untuk apa?” 

“Terima kasih untuk waktu yang kamu kasih selama ini, nemenin aku check up dan control. Terima kasih selalu bantu aku dengan senyum positif kamu. Terima kasih untuk nggak memandangku dengan pandangan kasihan..” aku diam. “terima kasih juga telah menolongku dari si brengsek itu. Kalo nggak ada kamu, mungkin saat ini aku ada di-“ 

“Sst. Jangan ngomong gitu. Itu karena takdir Tuhan. Aku bisa bantu kamu karena Tuhan mengijinkan kita ketemu. Untuk waktu yang aku luangkan, nggak akan bisa membayar lunas trauma kamu selama ini. Jadi janji sama aku, kalau kita, dan kamu bakal tetap berjuang untuk hari ini, besok, dan nanti. Kita bareng-bareng selesain ini. Ya?” ujarnya sambil menyodorkan jari kelingking. Pinky promise.

Aku tersenyum dan mengangguk. Lalu mengaitkan kelingking, berjanji. Kami tertawa. 

Hey, Tuhan. Terima kasih telah mengirimkan malaikat yang baik hati ini. Bukan sekadar menolongku bahkan membimbingku. Menuntunku mengenal-Mu. Entah apa yang Engkau pikirkan saat memberiku laki-laki ini. Boleh aku meminta lebih, Tuhan? Aku ingin memilikinya di jalan-Mu.  Boleh ya?

***
Continue reading Trauma

Kamis, 26 Desember 2019

Pemuja(an) Rahasia

Hey, hey. Apa kabar?
Akhirnya aku menemukanmu setelah mencari tanpa ada jawaban. Kamu masih ingat aku? Pasti tidak kan? Aku adalah sebatas pernah, yang bahkan hampir.

Tidak, kamu tidak perlu tau aku yang mana. Yang perlu kamu tau, aku adalah tinta hitam di antara kalimat yang kamu tuliskan. Ah, iya maaf. Aku baru ingat kalau kamu sangat jarang menulis, begitu pula menghubungiku. Ya, kurang lebih seperti itulah aku.

Masih penasaran?
Rasa penasaran itu membunuh lho, kau tau? Seperti aku yang dulu mengejarmu di suatu jalan. Lari dan berniat menghampiri, tapi malah menemukanmu tersenyum malu karena sapamu dijawab senyum oleh orang itu. Jangan penasaran, tidak bagus untuk kesehatan.

Kamu pasti tidak akan ingat, karena aku tidak pernah mencoba mengingatkan. Hanya ingin menyapa tanpa nama. Agak menyeramkan ya? Maafkan aku yang terlalu malu untuk menunjukkan muka di depanmu. Yang bahkan aku tidak tau apakah kamu mengenaliku.

Menyeramkan ya?
Makanya aku tidak akan memunculkan diri di depanmu. Cukup surat ini kuberikan sebagai tanda bahwa aku ada. Tidak perlu takut, aku akan pergi setelahnya. Tujuanku bukan untuk berjabat tangan, hanya ingin dikenang. Kau tau? Kenangan buruk akan selalu diingat sampai kapanpun juga, aku ingin dikenang lebih lama olehmu.

Sudah ya. Cukuplah aku rasa memberikan kata-kata. Kau mungkin tidak akan mengerti, dan aku tidak akan menjelaskannya kembali. Intinya, selamat berbahagia. Semoga nanti kita tidak akan bertemu kembali.
Continue reading Pemuja(an) Rahasia

Selasa, 24 Desember 2019

Aren't we?

Don't let me feel like I'm fighting by my own
We are partner, aren't we?
I need you too, like you needed me

Don't let me think that I'm too good for you
Then I can leave you whenever I want
We must learning things together, aren't we?
I want to be taught too, like we still do

Don't let me say that I'm the most
You know we are all only human, aren't we?
I like being advice by you

Please,
don't make me feel that I'm bleeding the most
that you're the lucky one
and any mean word that I don't wanna hear
and any evil thought that I don't wanna say

Related image


We're still trying to be better, aren't we?
Continue reading Aren't we?

Jumat, 20 Desember 2019

Untuk Tuan Cahaya

aku melihatmu, di simpang jalan yang akan aku tuju
dikelilingi cahaya
menyilaukan mata

menyapa rasanya tidak selalu bisa aku lakukan,
seingin apapun aku melirihkan panggilan

kamu serupa,
keinginan yang orang-orang dambakan
mimpi yang orang-orang percaya

keberadaanmu penuh sorak sorai
perayaan kehadiran

aku yang memijak tanah bisa apa?
melangkah saja dipandu sisa terangmu
dibiasi penuh oleh ketakutan

berlindung di antara terangnya cahayamu
agar aku tak selalu beradu pandang

karena setiap kau mengulurkan tangan dan memandang,
tanganku masih saja gemetar ketakutan
Continue reading Untuk Tuan Cahaya

Jumat, 13 Desember 2019

You're too Good For Me, Let's Break Up!

Kemarin waktu scrolling twitter, aku nemu sebuah cuitan orang yang intinya;

Kenapa cewek lebih suka sama bad boy dibanding cowok baik-baik? Kenapa ngajak putus dengan alasan kamu terlalu baik buatku?


Kalo dipikir-pikir, iya juga ya. Rata-rata orang cenderung lebih atraktif sama orang-orang yang terkesan "bad" entah cewek maupun cowok. Bukan cuma buat ngebenerin aja, tapi kesan yang mereka tunjukkan tuh apa adanya dan kelihatan lebih menarik. Dibanding good person yang bikin ngerasa minder duluan sebelum pedekate. rasanya nggak cukup baik buat dekat sama orang sebaik dia. Eh iya nggak sih? Kalo menurut kalian gimana?

Why we break up?

Ngomong-ngomong, aku baru tau kalo ada yang minta putus dengan alasan terlalu baik. Beneran. Dulu banget, alasan aku putus karena diselingkuhin dan nggak berhasil diyakinin, tolong jangan minta aku buat cerita. Nggak mau soalnya, hahaha. Cerita dari temen-temen juga nggak ada yang diputusin atau mutusin karena terlalu baik sih, aku baru tau dari cerita di internet aja. Hahaha.

Alasan terlalu baik itu bikin aku mikir lagi, bukannya kalo pasanganmu orang yang baik jadi bisa bimbing ke arah yang lebih baik juga? Atau bisa saling belajar buat jadi baik. Isn't that good to be better together? Growing up and having bad-good memories together.

Bukannya jadi goals juga kalo misalnya jadi baik bareng-bareng? Kan enak tuh waktu cerita ke anak-cucu nanti, "dek, berpasangan itu nggak selalu tentang baik-baik aja. Kamu juga harus berproses jadi lebih baik lagi. Dulu, mama sama papa..." dan selanjutnya-selanjutnya deh yaa. Bisa dibayangkan sendiri.

Punya pasangan kan juga tentang berproses ya? Semua proses nggak ada yang mudah, nggak ada langsung berhasil, pasti ada capeknya dulu. Ada marah dan berantemnya dulu, dan semua-semuanya. Bukannya emang minta didekatkan dan dijodohkan dengan orang yang baik ya? Setelah dikasih kok malah menolak dengan alasan terlalu baik?

Asli, alasan kayak gitu masih nggak masuk di akalku. Kenapa sih mau pisah karena terlalu baik? Karena sifat terlalu baiknya merugikan kita sebagai pasangan, misal suka pinjamin orang uang gitu? Apa karena minder waktu lagi ngeliatin dia treat kita? Hmm, nggak ngerti, beneraaan.

Ya tapi sebenernya terserah sih mau beralasan apapun juga. Toh, aku nggak terlibat juga dalam hubungan itu, 'kan. Eh, tapi seriusan, ada nggak sih yang pernah diputusin atau mutusin pacar dengan alasan terlalu baik buat aku? Aku masih nggak percaya! :(
Continue reading You're too Good For Me, Let's Break Up!

Sabtu, 07 Desember 2019

I Don't Wander Anymore

"Match your step with me, so I don't wander anymore." said one o' my friend when I asking for instagram caption. That's a part of Heartbeat by BTS lyric. I've said to her, I gonna use that caption for next post, but I haven't used it yet.

Now, someone make me feel like those lyric. I don't wander anymore. Maybe it's sounds cringe but that's what I feel. This one person who doesn't make me wander anymore. Because meeting him is like I found my destination.

Someone who made me think "Aw, you're so cute. I can't stand this", "I love your thought." or "How sweet you are. Thank u." Really. Maybe I don't reaction too much when he do those things, but I am grateful at all the times. How can I taking this uwu moment? 

Maybe I wrote this in a state "Bucin Season" but I'll let it be. I just wanna share to feeling loved. Seriously, I never feel dramatic like this, but I love when he helped me out. Feeding me, rub my head, anything about him I loved.

Aaaaa, I can't stand those cute little things. Feeling afraid and melted seldom. How exaggerate me.

Really. thank u for your existence. For anything u do for me. For making me don't wander anymore. Wuf u! 
Continue reading I Don't Wander Anymore

Rabu, 20 November 2019

Euforia Langit

Jadi akhir-akhir ini, aku merasa langitku dominan cerah. Sesekali memang ada mendung dan hujan mampir, tapi dia cuma berkunjung sebentar. Lalu ijin pergi, tapi membuat langitku lebih bersih. Aneh rasanya.

Setelah langitku selalu melewati hari penuh gumpalan awan abu-abu, beberapa petir yang mengagetkan, dan butiran air langit yang jatuh. Aku baru tau kalau dia bisa berwana merah muda waktu kutengokkan kepala. Cerah dan cantik. Menyenangkan juga menatap langit yang ternyata begitu mengagumkan di atas sana.

Sementara langitku yang dulu selalu hujan, aku terus saja menatap tanah tanpa berani menengok ke atas. Memperhatikan dia yang mungkin selalu berusaha memberi tau, tapi malah aku hindari. Karena perasaan dingin yang hujan kirimkan itu, aku ketakutan untuk mendongakkan kepala. Apalagi petir yang tiba-tiba, rasanya ingin bersembunyi.

Coba lihat sekarang, langitku biru cerah. Seperti warna kesukaanku. Awannya menggumpal putih bersih, kadang aku bisa menemukan kelinci di antara mereka. Tidak terik tapi tidak juga mendung, rasanya sejuk untuk sekadar berjalan-jalan.

Bahkan aku bisa melihat perubahan warnanya saat sang cahaya tenggelam. Biru, ungu, merah muda, jingga. Banyak sekali warna transisinya, aku baru tau. Ke mana saja selama ini aku memandang ya? Terlalu banyak menunduk dan melihat tanah yang kupijak, mungkin? Sampai lupa apa yang langitku ingin sampaikan di atas sana.

Baiklah, aku akan mulai untuk lebih memandang langit. Menengok tanah pun masih harus terus dilakukan. Juga melihat lurus pepohonan.

Ada lebih dari puluhan yang bisa dicari cerahnya. Ya?
:)


Continue reading Euforia Langit

Selasa, 19 November 2019

Berisik

Halo.

Pusing ya dengan apa yang ada di kepala? Rasanya ramai, tapi sendirian. Banyak pertanyaan, tapi sedikit yang bisa didapat jawabannya. Boleh istirahat sebentar kok, sandarin kepala sambil pejamkan mata. Tidur juga boleh kalau rasanya udah capek.

Berisik banget ya pikirannya? Mau diurai satu-satu nggak? Ceritain. Jangan cuma diam dan memandang orang-orang dengan tatapan penuh harap buat dimengerti. Kepala mereka sendiri udah ribut, jangan kasih tanda yang nggak jelas begitu.

Tangan kamu gemetar lho itu. Takut banget ya? Emang sih susah banget ya buat bagi kepercayaan buat orang lain, apalagi untuk hal kayak gini. Kamu terlalu sensitif sih, sejak kapan deh? Rasanya dulu kamu nggak peduli sama orang lain.

Aku tau, soalnya jantung kamu debarannya kencang lho itu. Apa sih yang kamu khawatirkan? Dasar aneh. Bukannya hidup hanya sekali, ya jalani aja. Nggak perlu banyak pikiran begitu, coba hilangkan pelan-pelan deh,

Iya-iya. Bercanda. Maaf.

Kalau takut, ayo belajar buat lebih berani. Kalo khawatir, nanti kita belajar buat lebih tenang juga. Gimana? Jangan sembunyi terus. Di depan sana ada yang lebih menakutkan dan mengkhawarkan dari ini. Kamu tau kan?

Sini-sini kalo capek. Istirahat dulu ya? Nggak usah berusaha buat cari obrolan, duduk sini.
Continue reading Berisik

Sabtu, 16 November 2019

Obrolan Satu Pagi

Assalamu'alaikum! Haiiiii! Akhirnya aku nulis lagi. Iya, setelah minggu-minggu stuck ide karena mood selalu bagus dan terlalu terang, aku jadi nggak bisa mengurai kegalauanku seperti dulu. Hahaha. Hal itu juga yang bikin aku mikir, kenapa yang senang dan bahagia juga nggak dibagikan? Biar ikutan jadi bagian cerita yang harus dipigura. Diabadikan dalam sebuah tulisan. Lets talk about it.

Obrolan satu pagi ini aku buat karena entah kenapa akhir-akhir ini aku selalu tidur larut malam. Pekerjaan dan obrolan satu pagi dengan orang-orang terdekat emang selalu bikin aku terjaga. Rasanya kalo ngobrol di jam satu ke atas, pembicaraan yang mengalir terasa lebih jujur dan dalam. Kalau aku bilang, Manzila mode malam itu bawel banget. Apa aja diceritain, kayak orang mabuk. Padahal mah karena emang lagi banyak pikiran aja, kebetulan ada teman yang mau dengar jadi nggak sengaja kebuka satu persatu lembaran bukunya. :))

Di jam ini, rasanya waktu lagi baik hati untuk kosongin pikiran. Apalagi kalo ada teman yang mau diajak ngobrol. Udah, kelar. Rasanya seluruh emosi yang aku tutupin ke semua orang bisa ketauan di jam ini; ketakutan, overthinking, harapan, mimpi, marah, sedih. Semuanya. Obrolan satu pagi ini bener-bener ya. Hanya aja. nggak dengan semua orang aku bisa ngobrol pukul satu pagi. Aku lebih sering malas balas chat kalo udah di atas jam dua belas. Hahaha.

Pertama kali ngobrol sama Mama, sekitar tengah malam, beberapa tahun lalu. Waktu semua orang udah pada tidur, aku malah ngajak Mama cerita. Merasa bersalah karena ambil jam tidurnya, tapi berkat obrolan itu juga aku jadi lebih terbuka untuk berbagi cerita. Awalnya tentang kegiatan harian aja, terus akhirnya kelepasan  ngomongin apa yang selama ini aku mau ceritain. Sejak itu juga aku bisa ngobrol banyak sama Mama. Lega banget rasanya. Sekarang jadi terbiasa cerita banyak hal :)

Terus pertama kali bisa terbuka sama salah satu orang terdekatku sekarang, karena obrolan random satu pagi. Nggak nyangka. Hahaha. Malu karena akhirnya dia tau aku yang sebenernya gimana, tapi rasanya seneng bisa saling bagi cerita. Akhirnya jadi kebiasaan, obrolan satu pagi selalu jadi favorit!

Kali ini juga, untuk pertama kalinya aku berani. Nggak lagi ragu, nggak lagi abu-abu. Boleh aku kasih kepercayaanku yang masih ada? Tapi masalahnya kalau aku udah percaya, aku jadi ketergantungan. Boleh nggak aku minta waktu untuk mau direpotin nanti?

Tuh, kan. Obrolan satu pagi ini emang bahaya. Udah, ah. Tulisannya aku selesaikan di sini. :)


Cheers!
Continue reading Obrolan Satu Pagi

Kamis, 24 Oktober 2019

(p)ikat


Kepada seseorang yang datang dan melebur dalam keseharian
Yang malamnya adalah kekhawatiran
serta subuhnya penuh dengan harapan
Semoga tetap tegak, di mana pun kaki itu memijak

Kepada seseorang yang telah menjadi hal yang ingin ditemui
Berangkatnya adalah senyum-senyum penuh doa
dan kembalinya selalu menjadi kegiatan yang dirindui
Semoga tetap tangguh, selelah apapun mengeluh

Terakhir,

Kepada seseorang yang akhirnya memenuhi pikiran
Yang telah menjadi pertanyaan butuh jawaban
serupa liburan yang diinginkan
Semoga bahagia selalu, dan jangan pernah ragu
Continue reading (p)ikat

Minggu, 13 Oktober 2019

Hey!

Jangan lakukan, jika apa yang akan kamu kerjakan penuh keraguan.
Karena ragu bukanlah sebuat hal yang bisa dibanggakan. Bukan hal yang bisa diteruskan.
Cari jawabannya sebelum menetapkan hati. Yakinkan diri sendiri bahwa hal itu adalah yang kamu sukai, yang akan kamu selesaikan hingga akhir.

Memangnya apa yang kamu harapkan saat menyelesaikan suatu hal dalam keadaan abu? Selesai dengan memuaskan? Atau tanpa banyak hambatan?

Hahaha. Tidak mungkin.

Bahkan yang yakin saja masih harus melewati sekian terjal, bagaimana mungkin kamu bisa melewatinya dengan santai?

Yakin saja. Kamu bisa melewatinya.
Terus belajar ya.


Hey,
Mau kuberi tahu satu mantraku?
Cukup katakan, "Aku akan baik-baik saja, sedikit lagi sebelum menyerah."


Continue reading Hey!

Kamis, 10 Oktober 2019

Validasi Rasa

Untuk apa masih bertanya, jika apa yang kulakukan sudah bisa kau rasakan sendiri?
Untuk apa masih ragu, bukankah sudah terlalu jauh untuk mencari jalan kembali?

Apa yang ingin kamu dengar adalah apa yang aku lakukan.
Apa yang kamu ragukan adalah apa yang telah aku yakinkan selama ini.

Tatapku belum cukup untuk membuatmu berhenti mencari jawaban?
Pundakku belum cukup untuk membuatmu merasa nyaman?
Pelukku belum cukup untuk membuat hatimu merasa aman?

Tak ada kata yang bisa menggambarkannya. Apa aku harus membuat kata baru untuk meyakinkanmu?


Continue reading Validasi Rasa

Rabu, 18 September 2019

Kenapa yang Menimbulkan Kenapa

Takut, takut dan takut. Selalu kata itu yang kamu ulangi.
Nggak bisa, aku nggak tau gimana caranya.
Sambungmu lagi.

Kenapa semua hal baru harus kamu takuti?
Bagaimana caramu tau jika kamu nggak belajar?
Padahal aku ada di depan, berteriak paling kencang memberi dukungan.

Katamu kamu tidak suka sesuatu di luar kendalimu.
Tapi kamu berkata, suka sekali belajar.
Apa yang mau kamu pelajari, jika semua sesuai kendalimu?

Kenapa terlalu takut? Kenapa tidak berani melangkah?
Kenapa membohongi diri? Kenapa menutup diri?
Kenapa semua harus sesuai kendalimu?

Untuk sekali ini, cobalah.
Continue reading Kenapa yang Menimbulkan Kenapa

Senin, 09 September 2019

Unfinished Answer

Ada hal yang belum aku temukan jawabannya. Aku cari ke semua orang, setiap orang yang kutemui. Dari buku-buku yang kubaca. Menjadi pemerhati semesta yang bergerak, dengan harapan bisa menemukan jawaban. Berulang-ulang. Penuh ambisi.

Aku terlalu banyak memberi jawaban kepada orang lain hingga pertanyaan yang aku ajukan kepada diri sendiri, tidak aku temukan. Terlalu peduli pada orang lain, terlalu banyak mendengar, hingga terlalu sedikit dan sulit berbagi cerita. Padahal manusia butuh berbagi sisi.

Sering banget merasa ada yang hilang, ada yang kurang. Berkali-kali aku merasa takut dan ragu melangkah. Rasa takut tentang hal yang aku sendiri nggak tau seperti apa. Aku nggak paham diriku sendiri. Pula, ada hari-hari di mana rasanya aku lelah dengan hari. Capek. Aku mau nangis aja dan nggak mau ketemu siapapun. Tapi aku nggak bisa nangis. Aku nggak bisa diam di dalam kamar dan bikin orang khawatir.

Aku selalu bilang, aku nggak kenapa-kenapa. Aku nggak kenapa-kenapa. Aku cuma belum paham sama diri aku sendiri. Nggak marah sama orang, aku marah sama diri aku sendiri. Aku nggak ngerti apa yang kurang, apa yang aku cari. Aku nggak bisa menemukan jawaban.

Atau sebenarnya, aku nggak tau apa pertanyaan yang selama ini aku ingin tanya? Gimana bisa menemukan jawaban kalau aku sendiri nggak bisa menemukan pertanyaan yang tepat untuk dicari jawabannya?

Satu hal yang baru aku sadari baru-baru ini. Setelah kemarin bengong di pantai malam-malam. Mungkin ini salah satu pertanyaan yang selama ini aku ingin tanyakan, tapi aku nggak tau gimana caranya bertanya hal ini.
Ada hal yang belum aku selesaikan dari diriku sendiri, tapi aku cari pada orang lain. Ada hal yang aku takutkan dari diriku sendiri, tapi malah mendobraknya melalui orang lain. Ada hal yang belum aku terima, tapi berpura-pura rela melepas.
Aku takut akan ekspektasiku sendiri. Aku ragu pada diriku sendiri. Aku kecewa pada diriku sendiri. Aku lelah dengan diriku sendiri. Kenapa? Selama ini aku terlalu memaksa. Memaksa menjadi orang baik. Selalu berpikir dari sisi positif. Merasa semuanya aman.

Jadi capek sendiri, sesak sendiri, marah sendiri. Aku nggak bisa menolong diriku saat butuh. Patah hati waktu sadar diri, aku nggak sekuat itu. Tapi memang manusia nggak harus selalu terlihat kuat kan? Aku terlalu naif. Padahal aku tau warna memiliki macam, begitu juga hidup. Aku nggak harus selalu senyum waktu kecewa. Nggak harus ketawa waktu lagi butuh nangis. Nggak harus blank waktu butuh solusi. Rasa perlu dibagi.

Aku terlalu takut buat terlihat lemah, buat terlihat nggak baik-baik aja. Padahal rasanya kepalaku udah nggak kuat buat diangkat, tapi egoku malah teriak "ada orang lain yang masalahnya lebih berat daripada kamu!" Padahal kaki rasanya udah lemas buat melangkah maju, tapi begitu melihat sekitarku bergerak cepat, gengsiku berambisi untuk tidak istirahat. Aku yang kelelahan, bukannya berhenti malah menyeret kaki.

Selalu bilang, aku kangen seseorang yang bahkan entah siapa. Yang tubuhnya bisa dipeluk waktu kelelahan. Yang bahunya bisa menjadi sandaran sebentar. Yang telinganya rela mendengar keluhan. Tapi nggak bisa. Nggak boleh. Gimana aku mau bersandar saat aku tidak percaya pada apa yang aku ingin ceritakan? Gimana aku bisa memulai hubungan saat aku masih punya hal yang belum selesai dari diriku?

Padahal yang aku butuhkan cuma menerima. Membiarkan rasa berekspresi. Nangis ya nangis aja, nggak perlu sok kuat. Marah ya marah aja, nggak perlu sok nggak peduli. Nggak usah disangkal, nggak usah ditahan.

Tenang, aku juga berusaha menerima sekarang. Entah bagaimana caranya. Aku bakal tetap berusaha kok. Capek. Aku nggak mau lagi ketakutan. Aku nggak mau lagi memasang benteng pertahanan. Aku nggak mau lagi sok kuat mental.
Continue reading Unfinished Answer

Minggu, 01 September 2019

Yaudahlah

Katanya semakin dewasa manusia, semakin malas juga mengurusi hal-hal yang nggak sesuai dengan keinginan. Apalagi menyangkut orang blain. Makin me-yaudah-lah semua hal, makin malas berdebat. Kalian gitu nggak sih?

Sebagai orang yang dulu maunya semua hal sesuai keinginan, sesuai rencana, aku merasa kalimat itu bener banget. Pernah beberapa hal aku paksakan biar benar-benar terjadi, bahkan sampai bertengkar dan tidak berkabar. Aku kesal dan memilih nggak mau berhubungan.

Saat mengajak orang lain dan ternyata mereka tiba-tiba membatalkan janji, aku yang dulu mungkin akan kesal dengannya. Padahal aku tau bahwa setiap orang punya prioritas. Tapi tetap saja, rasanya marah. Aku benci berjanji dan tidak ditepati.

Akhirnya aku sadar sendiri, kalau dunia nggak selalu berpijar di dekatku aja. Nggak semua bakalan bisa sesuai dengan apa yang aku inginkan. Sebagai makhluk sosial yang butuh orang lain dan hidup bersama orang lain, nggak mungkin semua jalan sesuai dengan rencanaku. 

Aku juga nggak selalu tepat janji kok. Bisa jadi tiba-tiba ada kerjaan mendadak atau diajak ke rumah saudara. Kalau udah gitu, biasanya aku akan janji ganti hari, atau traktir dia makan sebagai gantinya. Walaupun kekesalan emang nggak bisa digantikan dengan apapun ya, tapi menunjukkan penyesalan karena membatalkan janji setidaknya bisa meredam rasa marah, menurutku.

Jadi sekarang kalau janji dibatalkan merasa, "yaudahlah, nggak semua orang sesantai kamu kali, Man. Sendiri aja lah." Selalu begitu. Sampai kadang rasanya agak segan mengajak orang lain untuk jalan-jalan. Kalau bisa sendiri, jalan ajalah. Kalo malas, mendingan baca buku di rumah atau nulis aja, itu pikiranku aja sih.

Dari dulu sebenarnya aku terbiasa sendirian ke manapun. Rasanya nyaman-nyaman aja. Entah sejak kapan, aku mulai butuh teman saat jalan-jalan, ke tempat baru, pameran, nonton bioskop. Beberapa bulan ini aja sih, rasanya aku begitu butuh teman untuk sekadar beli baju di mall. Kenapa ya? Apa ini yang dinamakan kesepian? Apa aku lagi bosan sendirian ya? Hahaha.

Tapi bener deh, sikap "yaudahlah" ini bisa meredam kekecewaan aku terhadap orang lain. Walaupun efek buruknya, aku jadi malas bergantung pada orang lain kalau pergi ke mana-mana. Tiba-tiba dichat teman,"kok nggak ngajak?!" Maaf ya teman-temeaku :'D
Continue reading Yaudahlah

Jumat, 30 Agustus 2019

Twitter

Assalamu'alaikum. Hai!

Semakin hari kayaknya semakin banyak orang-orang yang sign in ke sosial media ya. Seperti bertetangga, setiap hari ada saja hal-hal yang baru kita tau dari orang lain, atau yang pindah di sekitar sosial media kita. Entah rasamya sudah tidak ada rahasia lagi di antara manusia. Senang, mengabari di instastory. Sedih, beralih ke twitter. Marah, update di facebook. Sebenarnya kebebasan berekspresi ini diam-diam memanipulasi kita untuk terus membagikan update diri di muka orang banyak.

Image result for twitter

Salah satunya, aku. Sebagai orang yang lebih suka mengeluh di twitter, aku agak "bingung" saat orang-orang terdekatku kembali ke twitter. Bukan apa-apa, selama ini aku menulis keluh-kesahku ya di sosial media itu. Alasannya karena dulu tidak ada orang terdekat yang bisa mendeteksi keberadaanku di sana. Aku merasa bebas berekspresi; mengeluh, merayakan euforia atau membagikan kekesalan dengan satu paragraf. Rasanya, ruang gerakku kembali dibatasi saat melihat mereka kembali ke dimensi cuitan itu.

Memang sebenarnya twitter adalah tempat umum. Semua orang bisa mendaftar dan kembali. Tapi rasanya, seperti melihat orang-orang yang dulu sempat meninggalkan rumah dan kembali saat rumah telah banyak dikunjungi. Mungkin dulu aku bisa berkali-kali "berkicau" di twitter. Tapi sekarang rasanya segan. Ingin berbagi keresahan, tanpa diketahui orang yang dikenal. Kalian pernah nggak sih sepeti itu?

Kalau ditanya, kenapa tidak menulis di blog aja? Ya, karena yang aku butuh bagikan dan luapkan itu adalah satu paragraf pendek. Tidak seperti blogging yang paling tidak harus memiliki satu artikel, di twitter, aku hanya menulis paling kalimat-kalimat pendek yang menggambarkan perasaan secara spontan. Tanpa harus memikirkan judul atau paragraf selanjutnya.

Twitter adalah juara sosial media, versiku. Sejujurnya di sana, aku hanya ingin membagikan perasaan tanpa orang terdekat tau. Hanya butuh meluapkan emosi dalam sebuah tulisan tidak penting.
Continue reading Twitter

Selasa, 27 Agustus 2019

Bersangkal

Kenapa menetap saat sadar frekuensi yang kita bawa berbeda?
Memaksa bercerita dan bertanya-tanya.
Sebenarnya apa yang sedang kita saling pertahankan?
Kamu dengan rasa mengalahmu pada cerita-ceritaku, dan aku dengan rasa ingin tauku pada apa yang ingin kau ceritakan.

Kita tau bahwa jalan kita bersebrangan.
Tapi tak juga menyurutkan untuk melepaskan genggaman.
Sebenarnya apa yang sedang kita pertahankan?
Ego yang menahan atau tak ingin menyudahi duluan?

Kau dan aku tau.
Sebenarnya apa yang sedang kita pertahankan?
Jika orang-orang bisa bertahan dengan perbedaan, mengapa tidak dengan kita?
Jika orang-orang rela luka-luka, apa bisa kita saling mereda?
Katamu saat ditanya.

Sampai kapan bertahan dan menyangkal?
Sampai kapan kita rela saling menyesuaikan?


Continue reading Bersangkal

Jumat, 16 Agustus 2019

Agustus

Halo, Agustus.
Terima kasih sudah mau datang berkunjung dan menetap sebentar. Selama bersama Juli kemarin, rasanya terlalu lelah untuk bertahan. Harinya terlalu lama untuk dijalani. Entah aku yang tidak terlalu menikmati atau Juli senang berlama-lama di sini.

Agustus,
walaupun jumlahmu sama dengan Juli, aku harap kamu memberi kebaikan lebih banyak ya. Menebar kebahagiaan lebih luas. Memberi warna lebih terang dibanding Juli. Dan bolehkah kamu meminta langit untuk sedikit bersedih? Tidak bagus untuk cerah terlalu lama, sama tidak bagusnya dengan sedih terlalu lama.

Kamu pasti merasakan juga, 'kan Agustus? Tahun ini rasanya hari bisa berjalan cepat atau terlalu lambat. Atau aku saja yang kadang tidak terlalu menikmati atau terlalu menikmati. Terlalu banyak hal aneh yang lewat di Juli, Yah, hanya lewat sih. Tapi tetap saja. Rasanya sangat aneh, bahkan untuk diingat kembali.

Yasudah. Semoga kamu bisa memberi bahagia kepada orang-orang ya, Agustus. Jangan lupa, tolong ingatkan langit untuk bersedih sebentar. Jika langit bilang dia tidak tau harus menangis karena apa, minta saja dia untuk melihat orang-orang yang merindukan melodi hujan di jalan. Atau bilang padanya, aku rindu suara tetes air matanya!
Continue reading Agustus

Minggu, 28 Juli 2019

Perihal Mematahkan Hati Seseorang

Sesuatu yang retak sebelumnya, pasti tidak bisa kembali merekat, ya? Walaupun diberi lem sekuat apapun. Hal tercanggih pun tidak akan membuatnya sama seperti dulu lagi.

Aku tau itu. Karena aku pernah merasakan dipatahkan.

Dan sekarang, entah kenapa giliran aku yang mematahkan seseorang. Perasaannya. Harapannya. Bahkan tanpa aku sadari. Kebodohan seperti ini kenapa bisa terjadi saat aku sudah pernah merasakan sedihnya dipatahkan?

Kebodohan lainnya, aku tanpa sadar menghancurkannya berkali-kali. Tanpa sadar. Entah aku terlalu bodoh untuk menyadari kebesaran hati seseorang, atau menjadi terlalu terbiasa diterima. Aku yakin sejak saat itu perasaan tidak akan seperti dulu lagi.

Aku sadar saat sepertinya semua telah terlambat. Terlalu terlambat untuk bisa membantunya mencari kepingan perasaan yang sudah berceceran itu. Seseorang itu telah membuat bentengnya sendiri.

Aku terlalu telat untuk sadar dan memperbaiki.

Seperti penjahat pada film-film pahlawan yang akan selalu kalah. Aku hanya menatap seseorang yang merapikan kenangan dan berusaha memperbaiki harapannya kembali dari jauh. Tanpa bisa mengulurkan tangan untuk membantu, seperti dulu.

Menjadi tidak peka sangat melelahkan, padahal sebelumnya hal itu sangat aku inginkan. Sepertinya lebih baik kembali mengasah rasa, lebih baik aku yang terluka. Aku tidak rela melihat orang-orang di dekatku patah karena aku.

Mungkin maaf dan terima kasih tidak lagi ada harga jika aku yang berbicara. Tapi aku tidak memiliki kata yang lebih ingin ku katakan selain itu. Maaf telah mematahkan kepercayaanmu, dan terima kasih masih menerimaku walau aku yakin semua tidak akan seperti dulu lagi.
Continue reading Perihal Mematahkan Hati Seseorang

Jumat, 26 Juli 2019

Kepada Yang Ragu Melangkah

Kamu tau bahwa kamu belum siap. Bahwa kamu masih ragu. Bahwa kamu ketakutan. Tapi kamu malah mendobraknya. Menerobos batas yang kamu buat sendiri.

Hingga akhirnya bertemu dengan jalan-jalan yang membuatmu kebingungan. Sebagai orang yang tak memiliki pengalaman, kamu pasati tersesat di seluruh arah. Semua tidak terasa familiar, buta arah sepertinya adalah nama tengahmu ya.

Kulihat jalanmu melambat. Nafas pendekmu, kaki yang gemetar dan kamu terus berjalan. Tapi apa kamu tau yang kamu tuju? Mungkin bukan apa, tapi, Siapa yang kamu tuju?

Keraguan selalu menguasai langkahmu, kan? Kamu tersesat oleh imajinasimu sendiri. Bagaimana mungkin kamu bisa lanjut melangkah, bahkan saat sayap yang kamu gunakan patah? Bahkan saat pijakanmu itu goyah?

Tujuan itu tidak berubah. Tapi hatimu yang ketakutan dan kadang menyerah.
Tujuan itu tidak semu. Tapi langkahmu yang ragu-ragu.

Kamu butuh navigator. Atau setidaknya membaca semesta. Juga, asahlah rasa. Peka.

Aku tau, kamu hanya mulai berusaha. Dan akhirnya mau mencoba. Tapi aku harap, kamu tidak lagi meragu. Tidak selalu membiru.

Kasihan sesuatu yang kamu tuju itu. Dari yang terbaca jelas, hingga akhirnya ikut abu-abu.
Continue reading Kepada Yang Ragu Melangkah

Sabtu, 13 Juli 2019

, ,

Istirahat

Hallo.

Maaf, akhir-akhir ini rasanya aku kehilangan mood untuk melakukan apapun. Rasanya cuma ingin tidur seharian atau duduk di taman tanpa melakukan apapun. Perasaanku benar-benar berantakan. Emosi macam apa ini? Rasanya patah hati banget. Sedih. Nggak dipedulikan. Overthinking. Mau nangis. Males ngomong. Iri terhadap apapun. Kenapa sih?

Aku pengin cerita ke seseorang. Tapi aku nggak tau harus cerita apa dan gimana? Dan juga apa ceritaku nanti buat orang itu juga ikut ngerasa sedih? Jadi merasa bersalah? Gimana kalo nanti malah menyebarkan masalah?

Rasanya pengin menyandarkan kepala sebentar di bahu seseorang sambil disayang. Diberi tau kalau semuanya bakal baik-baik aja. Ada waktu di mana kamu emang harus nangis tanpa sebab. Atau cuma butuh seseorang untuk dipeluk tanpa banyak bertanya. Rasanya pusing sekali mendengarkan isi kepala yang tidak selesai.

Atau diajak jalan ke tempat yang menenangkan, mendengarkan suara air mengalir atau burung-burung berkicau. Suara daun yang tertabrak angin. Atau suara anak-anak kecil tertawa dan saling berlari-larian.

Takut tapi nggak tau apa yang ditakutkan. Merepotkan diri sendiri dan bikin bingung orang lain. Aku nggak suka aku yang kayak gini. Aku nggak suka aku yang cengeng. Aku nggak suka aku yang nyakitin orang lain terus. Aku nggak suka aku yang nggak acuh sama orang lain.

Butuh me time, mungkin? Setelah selama ini lelah berinteraksi dengan orang-orang. Mendengarkan keluh kesah mereka ternyata sedikit berdampak juga kepadaku. Aku harus segera ke perpustakaan.
Continue reading Istirahat

Senin, 08 Juli 2019

,

Am I Deserve to Have You?

Halo, kamu. Ada kabar apa hari ini?
Hariku masih sama sebenarnya, tidak semenyenangkan saat kamu turut hadir di dalamnya.

Maafkan aku yang terlalu abu-abu. Satu hari terlihat sangat menyukaimu, di hari lainnya terlihat tidak tertarik padamu.

Maafkan sikapku yang pasti menyakitimu. Terkadang sangat menerimamu dan kadang lainnya terlihat seperti membencimu.

Aku hanya terus-terusan berpikir,
Apa aku cukup baik untukmu?
Apa aku berhak mendapatkanmu?

Kamu dan segala sifat baikmu.
Kamu dan seluruh semestamu.

Sedangkan aku,
Sifat baikku tak bisa dibandingkan dengan kamu.
Semestaku berkebalikan dengan kamu.

Apa aku masih bisa mendapatkan seluruhnya kamu?

Maafkan aku.
Yang terus-terusan berpikir kalau kamu terlalu baik untukku, bahkan saat aku sangat-sangat menyukaimu.

Maafkan aku.
Yang bergegas mengakhiri obrolan kita saat pertanyaan itu kembali muncul.

Maafkan aku.
Yang bahkan meyakinkan diriku sendiri saja sesulit ini. Bagaimana saat meyakinkanmu nanti?

Aku tau, aku hanya takut melangkah.
Pijakan yang dulu pernah kutata sempurna, ternyata rapuh di tengahnya.
Aku mengaitkan tangan dengan orang yang salah.

Maafkan aku.
Karena hal yang bukan salahmu, membuatmu mendapatkan aku yang ketakutan mengulurkan tangan.

Aku dan kekhawatiranku masih terus-terusan berpikir.
Apa aku layak jika memilikimu?
Continue reading Am I Deserve to Have You?

Sabtu, 22 Juni 2019

Kepada Orang-Orang yang Tetap Tersenyum

Aku tau semua orang punya masalahnya sendiri. Melalui hari-hari yang berat, teriakan-teriakan pedas, atau lupa bawa tugas yang sudah dipersiapkan matang semalaman. Setiap hari, pasti akan selalu ada masalah yang dilalui. Dan sepertinya harus. Tapi tidak apa-apa, terima kasih telah tetap tersenyum setiap pagi.

Berhimpitan di tengah kendaraan umum atau telat datang karena ojek online yang dibatalkan terus menerus bisa membuat perubahan mood dalam sekejap. Atau tiba-tiba ditegur atasan, lalu makanan kesukaan di restoran yang sudah lama diantre ternyata habis. Lagi-lagi hal yang membuat suasana hati terasa terbakar. Tidak apa-apa, terima kasih untuk tarikan nafas panjang penuh kesabaran.

Semua orang punya tangisnya sendiri. Perihal kepergian atau bertemu kembali. Walau tak pernah sama, mereka selalu memberikan kesan yang tak terdefinisikan dengan kata sedih atau bahagia. Tentang kegagalan atau keberhasilan yang menghasilkan tangis. Haru dan sembilu serupa benang tipis yang memisahkan tapi berdampingan.

Namun juga, setiap hari adalah senyum yang berbeda. Akibat bertatap mata tidak sengaja, atau bahkan sekadar karena sapa. Karena memakai baju dengan warna kesukaan, atau handphone dengan baterai terisi penuh saat akan dibawa ke perjalanan. Sebuah keriaan kecil yang menyenangkan.

Dengan tawa menular semudah mendengarkan jokes seseorang di kereta secara tidak sengaja atau melihat video hewan di timeline saat meluncur di instagram. Semua orang dapat berbagi tawa. Entah dalam pesan "Hahaha" atau dalam suara bergema. Tawa selalu jadi alasan kuat untuk bertahan hidup.

Jadi,
Bertahanlah, terbiasalah.
Continue reading Kepada Orang-Orang yang Tetap Tersenyum

Rabu, 19 Juni 2019

Berusaha dan Terbiasa

Sampai pada titik ini aku baru mengerti. Entah berapa banyak hal yang lewat dan mendekat, tapi secara tak sadar kuminta mundur dan pergi begitu saja. Padahal banyak dari mereka yang aku sukai.

Entah berapa banyak juga yang datang berkunjung, tapi begitu aku sambut perlahan pamit. Beberapa dipersilakan masuk tapi begitu melepas alas kaki dan melihat sekitar lantas berkemas terburu-buru. Padahal aku sudah berusaha untuk terbiasa, tapi tetap saja, rasanya menyedihkan.

Sepertinya aku harus lebih lapang dada. Dan tentunya tidak terlalu banyak berharap. Juga tidak perlu terlalu berbaik hati mengulurkan tangan.

Tapi bagaimana caranya? Aku terlalu terbiasa memberi bantuan. Terlalu terbiasa mendengarkan.

Ada saatnya aku iri dengan orang lain yang sepertinya tidak peduli. Tapi bagaimana rasanya tidak peduli saat memikirkan apa yang ada di kepala orang lain?

Sejujurnya, aku terlalu takut. Percaya pada orang lain seperti porselen mahal, rentan dan kapan saja bisa pecah atau dicuri.

Berusaha saja ternyata tidak cukup, aku juga harus terbiasa.
Continue reading Berusaha dan Terbiasa

Kamis, 16 Mei 2019

Kabar untuk Diri Nanti

Halo, diriku lima tahun dari saat ini.
Apa kabar? Kuharap kamu baik-baik saja ya. Karena saat ini aku sedang tidak baik-baik saja.

Sejak menginjak usia dua puluh tahun, hariku terasa melelahkan. Emosiku sangat cepat berubah. Pikiranku terlalu banyak terbagi-bagi. Aku jadi mudah lupa berbagai hal. Hal-hal yang seharusnya aku ingat, atau yang harusnya lebih aku pedulikan.

Pilihan-pilihanku selalu diliputi keraguan. Aku benar-benar takut melangkah setelah mendengar cerita orang-orang tentang pilihan mereka. Entah sejak kapan cerita mereka cukup menggangguku dalam menentukan jalan. Padahal aku tau, setiap orang punya jalannya sendiri.

Diriku lima tahun lagi, kuharap kamu cukup beristirahat dan masih mau untuk belajar. Kuharap juga kamu dapat mengambil keputusan dengan cepat dan tepat, pertimbangan membuat pikiranmu rentan.

Apa kamu masih memakai topeng ini saat menemui orang lain? Aku mulai mempertimbangkan untuk membuangnya, tapi aku yakin di suatu waktu tempatmu berada, pasti akan membutuhkannya. Jadi beberapa ada yang kusimpan di tempat tersembunyi, hanya kita berdua yang tau.

Jangan lupa, terus membaca dan belajar ya. Di masa kamu nanti, apa genre yang sedang aku gemari? Apa aku masih bisa menangis karena membaca sebuah fiksi? Apa buku yang kubaca sudah lebih banyak daripada sebelumnya? Atau malah kamu sudah bisa menerbitkan buku?

Keinginanmu untuk bisa jalan-jalan keliling Indonesia bagaimana? Terutama keinginanmu ke luar pula Jawa? Apa bahkan kau sudah berhasil pergi ke Jepang? Atau Korea? Hey, aku harap kemampuan berbahasamu mengalami peningkatan juga! Minimal kamu bisa berbasa-basi sebentar dengan orang asing.

Kehidupan sosialmu juga jangan lupa diperluas ya. Kamu selalu suka bertemu dengan orang baru kan, diriku? Yah, setidaknya kamu butuh lebih banyak teman untuk memperluas pola pikiranmu. Dunia ini sempit tapi dimiliki banyak orang, bahkan sekarang kamu tidak bisa mengklaim dirimu sendiri adalah milik suatu ras tertentu. Bagaimana di masa depan sana?

Ah iya, kuharap juga kamu bisa segera menyelesaikan satu persatu cita-citamu ya. Jadi apa hal yang benar-benar menarik perhatianmu? Kamu sudah berhasil menyelesaikannya belum?

Baik-baik ya, di sana. Aku selalu mendoakanmu. Jalani saja sesuai keinginanmu, jangan lupa orang-orang yang selalu mendukungmu ya.



Salam dariku di 2019.
Continue reading Kabar untuk Diri Nanti

Jumat, 10 Mei 2019

Halo, Aku Ingin Mengeluh Sebentar

Bukannya berlebihan, aku hanya lelah dan ingin didengarkan.
Butuh istirahat, ingin mengeluh setelah hari-hari melelahkan.
Tidak butuh nasehat, untuk sekejap saja, tolong dengarkan.
Izinkan kepala yang penuh pikiran negatif ini keluar perlahan.

Mungkin kamu tidak mengerti obrolan itu, tapi tolong dengarkan.
Sebentar saja boleh, ya? Sampai rasa lelah itu berkurang.
Rasanya akalku sudah tumbang benar.
Aku butuh kamu untuk bersandar.

Entah sejak kapan dan bagaimana mulainya, aku percaya padamu.
Bercerita sambil duduk di sampingmu.

Ngomong-ngomong, kamu tau tidak?
Sepertinya kamu memiliki kekuatan tersembunyi.
Tanganmu sepertinya memiliki magis yang membuat orang merasa aman.
Senyummu sepertinya bisa meramalkan semuanya akan baik saja.
Apa kamu itu rumahku?
Berada di sekitarmu membuatku merasa nyaman.

Continue reading Halo, Aku Ingin Mengeluh Sebentar

Minggu, 28 April 2019

,

Kala Itu #2

"Mbak Manzila?" tanya seorang pengemudi ojek online berjaket hijau di depanku.

"Iya, pak." aku mengangguk.

"Maaf ya, mbak telat. Pancoran macet banget, lampu merahnya mati!" katanya seraya mengulurkan helm berwarna hijau.

Aku segera memakai helm tersebut dan naik di motornya, "Gapapa, pak. Tapi kalau bisa agak ngebut ya, soalnya mau reuni nih, pak!"

"Wih, reunian sama teman SMA ya, mbak? Saya udah lama nggak ketemu sama temen SMA saya..." ujarnya semangat sambil terus bercerita. Entah telingaku yang agak budeg atau suara si bapak yang kalah kencang dengan kecepatan motornya, aku sama sekali tidak mendengar apa yang dia ceritakan. Jadi hanya menjawab seadanya; haha-hehe dan iya-tidak saja,




Lima belas menit kemudian aku sampai di sebuah restoran makanan Korea. Setelah celingak-celinguk mencari keberadaan mereka, kulihat segerombolan wanita berkerudung di pojok ruangan, tepat di bawah AC. Aku berusaha mendekat sambil tetap memakai masker.

"Manzi! Gue kira lo beneran nggak dateng!!" teriak Sitta begitu jarakku kurang lebih dua meter dari sana. Aku melambaikan tangan.

"Ziiiilll, kangennn!! Kata kamu nggak bisa dateng?" sambung Anisah kemudian. Sambil mengisyaratkan untuk duduk di sebelahnya.

"Kamu kayak nggak tau Manzila aja, dia kan suka pick n bonny!" jawab Nabila. Aku hanya menjawabnya dengan tertawa. Lulux memandangku dengan sebal karena dibohongi, sedangkan Cao mengangkat wajahnya sebentar lalu kembali fokus dengan handphone di tangannya.

Setelah memanggil pramusaji dan memesan, aku menolehkan pandangan ke arah mereka. "Cerita apaan sih heboh banget? Cantik-cantik masih aja ketawanya kayak speaker masjid."

"Biarin apa, namanya juga ketemu temen, Zil." jawab Anisah dengan cepat. "Eh Luxy! Kemarin aku udah baca novel kolaborasi kamu sama Cao. Gambarnya bagus, ceritanya juga!" sambungnya lagi.

Luxy membenarkan cara duduknya, pertanda bahwa dia akan memulai ceritanya.

"Tapi sini masih kesel sama editornya, masa rambut sama tiara yang dipakai di cover harus diubah. Mana bajunya juga diminta lebih tertutup. Inikan novel fantasi bukan novel religi!" respon Cao sambil memotong daging di piringnya dengan sebal.

"Iya! Itu kan cerita tentang Succubus! Masa Succubus bajunya tertutup? Katanya biar nggak mengundang. Udah tau ceritanya tentang Succubus!" ujar Lulux dengan semangat kekesalan tinggi.

"Harusnya kamu kasih ke dia foto yang nggak pake baju, Luxy! Pasti dia langsung setuju deh!" timpal Nabila.

Sitta merespon ucapan Nabila dengan tabokan cukup keras sambil tertawa. "Gila lo ya! Yang seksi aja nggak diterima apalagi yang begitu. Pasti disimpen sama editornya!" kami tertawa.

Setelah hampir satu jam bertukar cerita tentang kabar masing-masing, tiba-tiba Anisah bertanya yang membuatku tersedak, kaget. "Zil, kamu udah punya pacar belum sih?" tanyanya sambil menatapku dengan serius.

"Kalo tanya sesuatu, tolong waktu selesai aku ngunyah makanan ya. Kaget ini." ujarku setelah meredakan batuk. Anisah hanya tertawa jahil sambil menunjukkan peace dengan dua jarinya.

"Eh iya, emang kamu udah punya pacar, Zil?" ulang Nabila. Aku mengangguk sekilas sebagai jawaban.

"Cerita dong!! Punya pacar diem-diem aja sih!" sambungnya.

"Emang dikekepin bae, takut ada saingan kali."

"Bukannya dikekepin, Sit. Masa gue harus bikin video berdua dia terus kirim ke grup sambil pamer 'hai temanku, inilah pacarku' gitu?." ujarku membela diri.

"YAA NGGAK NGOMONG BEGITU JUGA KALI!" sambung Sitta kemudian. "Cerita kek tentang cowok lo, atau ngepos foto. Ini mah boro-boro ngepos foto bareng, story aja nggak pernah!"

Aku meringis. "Itulah gunanya, biar kalian semua penasaran dan bertanya langsung pada saya."

"Oke, jadi Manzila. Coba ceritakan seperti apa laki-laki yang bisa memikat kamu? Aku perlu tau." sahut Lulux menengahi.

"Aduh, gimana ya maksudnya?" tanyaku sambil meringis (lagi).

"Ya, apaan kek, Zil! Ganteng, pinter, lucu, apa yang kayak Namjoon BTS?"

"Apa mirip sama si mantan dulu? Anak Futsal, punya lesung pipi?" celetuk Sitta.

"Kalian ngapain nanya gituan sama orangnya, minta aja nama instagremnya." cetus Cao dengan santainya.

Semua teman-temanku berteriak menyetujui, membuat keributan kecil yang berefek pandangan risih orang-orang. Setelah mendapatkan dan melihat-lihat akun instagrem cowok itu, mereka mengangguk-angguk sok paham.

"Oh, jadi selera kamu yang seperti itu, Manzila." Lulux memulai komentarnya. "Ya, aku paham lah. Apa yang membuat kamu suka sama dia."

"Kok kamu paham? Kan aku belum cerita?! Jangan-jangan kamu jadi suka juga sama dia?!" jawabku.

"Apa sih.. Kamu alay juga ternyata ya, Zil!" ujar Nabila sambil menatapku dengan pandangan jijik, lalu tertawa.

"Ceritain apa, Zil. Awal kenalnya gimana? Kenapa bisa jadi deket dan pacaran akhirnya?" tanya Anisah dengan penuh rasa penasaran.

Semua yang di meja mengangguk setuju, kecuali Cao yang sibuk dengan handphone-nya dan Lulux yang hanya menatapku datar tapi seakan minta segera bercerita.

"Gimana ya.." aku menggaruk kepala yang tidak gatal. Tatapan mata teman-temanku yang seakan memaksa untuk segera-cerita-atau-kami-akan-membuatmu-membayar-makanan-ini akhirnya membuka mulutku. Rasanya tidak terbiasa menceritakan kehidupan pribadi di depan orang banyak seperti ini. Aku canggung sendiri, padahal mereka mendengarkan dengan serius, sambil sesekali bertanya dan merespon dengan senyum.

"Lo beneran suka sama cowok ini, ya, Man?" respon Sitta setelah ceritaku selesai.

"Hah, kenapa emangnya?"

Mereka saling menatap beberapa detik kemudian tertawa. "Lo gak sadar emang dari tadi ceritain dia, muka lo sumringah banget!"

Aku menutup mukaku menahan malu. Mereka tertawa sambil meledekku yang menyembunyikan wajah di balik telapak tangan. Setelah agak mereda, tiba-tiba Anisah mengajukan pertanyaan yang sama denganku untuk Cao.

Cao yang tadinya masih tertawa langsung mengubah raut wajahnya menjadi datar. Gantian aku yang tertawa melihat ekspresinya yang seakan berkata kenapa-harus-bertanya-tentang-aku.

"Dia mah orangnya lurus aja. Di kantor ada cowok yang ngejar-ngejar dia, malah nggak mau deket-deket. Ngeri katanya." jawab Sitta.

"Lah, Cao! Kamu gimana sih! Harusnya kalau ada yang ngejar-ngejar, kamu harus kejar balik lah! Kamu nggak ingat apa yang aku ajarkan ke kamu?!" Luxy merespon dengan ekspresi sebal.

"Ya gimana sini nggak ngeri. Itu orang nyapa mulu tiap ketemu di mana pun dan kapan pun. Berasa kantor yang gede jadi sempit banget gara-gara ketemu manusia itu mulu!"

Kami tertawa kencang mendengar respon Cao. Bertemu mereka selalu membuat moodku jauh membaik. Sehat selalu kalian, ujarku dalam hati sambil menatap mereka semua.



***


Tolong ya, ini fiksi. Aku belum punya pacar kok. Trims.

Continue reading Kala Itu #2

Senin, 15 April 2019

#FindYourSelf 2

Assalamu'alaikum!
Halo!


Selamat bertambah usia, diriku. Selamat melewati dua puluh tahun. Aku tau; kamu belum siap. Tapi tidak apa-apa. Sambut saja takdirmu. Siapa suruh kamu tidak bergegas.

Bagaimana, kamu sudah merasakan emosi yang seperti apa? Sudah mulai bertambah dan bisa mengolah? Sekali lagi, tidak apa-apa. Ayo lebih banyak belajar.

Bagaimana kehidupan sosialmu? Apa sudah ada peningkatan? Kudengar kamu sekarang sedang berusaha lebih ramah dan membuka diri, apa benar? Kudengar juga kamu sedang berusaha mati-matian bersikap lebih objektif, apa benar?

Oh iya, salah satu temanku bercerita kalau kau sedang bekerja di perusahaan baru yang sama sekali berbeda? Apa kau suka di sana? Coba ceritakan apa yang kau sukai di sana: pekerjaannya, lingkungannya, atau gajinya? Bagian mana yang paling membuatmu senang? Pilih dua dari tiga opsi yang kuberikan ya.

Dan yang paling penting, apa kamu sudah punya pacar? Apa, belum? Kenapa? Kupikir kamu butuh seseorang yang membuatmu tersenyum saat membaca pesan atau mendengar suaranya. Tidak, tidak. Jangan bilang keluarga dan temanmu dapat membuatmu tersenyum saat membaca pesan. Ini perasaan senang seperti ada kupu-kupu beterbangan di perutmu. Ah, kau membuatku merinding setelah mengucapkan kalimat itu.

Ingat ya, jangan terlalu banyak menghamburkan uang. Kau tau, aturlah dengan tepat. Aku tidak bilang dengan baik, karena baik belum tentu tepat untuk hal ini. Jangan terlalu banyak membeli barang tak berguna- Iya aku tau semua barangmu berguna, maksudku yang akan jarang kau pakai. Pikirkan prioritasmu, jangan hanya yang membuatmu senang saja. Senang hari ini belum tentu senang ke depannya, kan?

Bagaimana jika aku menantangmu? Di pertemuan tahun depan, aku menunggumu di tempat yang sama, mari bertemu. Aku tantang kamu untuk bisa memiliki sahan negara minimal 5 juta, bagaimana? Juga, kutantang tabunganmu mencapai angka minimal 5 juta pula. Satu lagi, tantangan yang mungkin tidak bisa kau selesaikan; aku menunggu cerita bersambungmu #KalaItu, tahun depan aku ingin melihat mereka selesai dan bisa dibagikan ke temanmu. Untuk episode, terserah dirimu lah. Aku sih inginnya lebih dari 10 ya.

Sudah itu saja yang aku mau tanyakan. Jangan kaget, aku memperhatikanmu setiap bulan, bahkan hari. Terima kasih telah bertumbuh, terima kasih telah mendewasa. Kuharap kamu selalu dilimpahi bahagia dan berkah. Ah iya, jangan lupa tetap menebar kebaikan ya!


Sampai juga, diriku.
Continue reading #FindYourSelf 2

Minggu, 14 April 2019

Tuan di Mimpi

Tuan, kau pasti tidak tau bahwa semalam mampir di mimpiku, kan?
Mau mendengarku bercerita?

Tuan yang hadir dalam mimpi, boleh kujelaskan?
Parfumnya terasa menenangkan,
Pakaiannya bisa kupegang,
Bahunya terasa nyaman untuk bersandar.

Kenapa Tuan terasa begitu familiar?

Memang secara ingatan, aku tidak akan pernah bisa melupakan.
Ratusan hari tanpa pertemuan,
Puluhan hari tanpa kabar.
Memori itu terasa masih sangat segar.

Tuan yang hadir dalam mimpi,
Bolehkah saat bertemu kau kuajak terbang ke kenyataan?

Agar aku bisa belajar bertatap mata dengan benar,
Mengunci senyuman yang kau berikan.
Tanpa perlu takut terbangun
dan menyadari semua hanya kebetulan.



Continue reading Tuan di Mimpi

Sabtu, 16 Maret 2019

#FindYourself 1

Assalamu'alaikum. Halo, aku kembali.

Wow, nggak terasa bulan depan usiaku bakal dua puluh satu tahun. Nggak. Aku nggak ngerasa tua. Dua puluh tahun itu adalah masa belajar, tahun legal bagi masuk klub malam dan minum-minuman keras. Tapi aku nggak bakal ngomong ke sana. Nggak tertarik juga dengan suara gaduh dan teman-temannya sih.

Aku cuma merasa, sejak umur dua puluh aku dipaksa oleh diriku sendiri agar lebih dewasa. Lebih banyak memikirkan pertimbangan saat melakukan sesuatu atau memutuskan untuk berteman dengan orang baru. Tapi yang terjadi malah, pikiranku disesaki oleh dugaan-dugaan atas sikap orang lain. Aku mudah overthinking cuma karena dibalas"ok" oleh orang lain, hal yang sebenarnya aku nggak pedulikan dulu.

Entah kenapa aku jadi lebih memikirkan pendapat orang lain dibanding kenyamanan diriku sendiri. Aku sering memikirkan apa yang akan orang katakan jika aku melakukan ini atau itu. Tapi kenapa? Apa aku mulai ingin dikenal dan diperhatikan?


Di usia dua puluh satu, aku masih mencari diriku. Aku masih mencari dan mengeksplor segala macam emosi, yang saat sekolah dulu tidak aku rasakan. Mungkin lebih tepatnya, tidak aku sadari. Yaah, saat sekolah menengah atas dulu aku dikenal dengan flat expression dulu. Bukan apa-apa, aku cuma tidak tau bagaimana mengekspresikan diriku; senang, sedih, bangga, cemburu. Nol sama sekali. Padahal aku dikelilingi teman-teman yang memiliki banyak ekspresi, yang dengan sekali lihat kalian pasti akan merasakan suasana hatinya.

Ada beberapa emosi yang aku mulai bagikan. Salah satunya adalah perasaan membutuhkan dan ingin orang lain merasa dibutuhkan, caranya dengan memeluk. Aku mulai sering memeluk orang tuaku dan adik-adikku, serta beberapa teman dekat. Ternyata menyenangkan melihat reaksi mereka!😆

Jika bercerita jujur, sebenarnya aku masih takut mendewasa. Terlalu banyak menyemangati orang lain dan mendengar cerita mereka membuatku sedikit takut mengetahui dunia. Walaupun aku penasaran. Ah, sebenarnya aku hanya butuh disemangati aja sih sepertinya. Sebuah kalimat sesingkat, "terima kasih telah melewati hari ini dengan baik."

Kadang hidup emang butuh apresiasi dari orang lain sepertinya.


***
Continue reading #FindYourself 1

Rabu, 06 Maret 2019

Ruang Bercerita

Sini, mendekatlah. Ceritakan apa yang membuatmu lelah hari ini. Ku biarkan kamu menceritakan, dan ku akan mendengarkan.

Duduklah di sampingku. Kamu boleh membuka topengmu. Sedihmu, keluhmu, marahmu, dan bahagiamu perlu dibagi. Biarkan aku menjadi salah satu dari orang itu.

Aku tau kamu lelah, jadi berkunjunglah.
Aku tau kamu sepi, jadi, sini berbagi.

Tak perlu selalu tersenyum pada dunia. Tak juga harus menatap sinis padanya. Dunia hanya berputar sesuai takdirnya, dan kau juga harus kuat berjalan di atasnya.

Jika ingin menangis silakan saja. Air matamu sama berharganya dengan tawamu. Bahkan kecewa pun dibolehkan, hidup tak selalu tentang bahagia, kan?

Aku tau kamu lelah, jadi berkunjunglah.
Aku tau kamu sepi, jadi, sini berbagi.

Seperti kalimat di dalam buku, aku akan mendengarmu.
Karena ku tau; beberapa cerita haru tidak butuh kalimat sendu, beberapa keluh kesah tidak butuh pembangkit putus asa.


Continue reading Ruang Bercerita

Senin, 18 Februari 2019

Menggerutu

Assalamu'alaikum!

Bangun dalam keadaan kesal itu emang merusak hari ya. Nggak cuma bikin mood rusak aja, tapi juga bikin rencana di awal hari jadi buyar semua.

Aku tipe orang yang kalau nggak suka sama sesuatu, ya kutinggal dan baru kembali kalau hal yang aku nggak suka itu selesai. Bahkan kalau ketemu orang yang aku nggak suka, sebisa mungkin aku hindari. Orang tersebut emang nggak bisa merusak moodku, tapi rasanya kalau melihat sesuatu yang nggak aku suka secara tidak sengaja itu... menyebalkan.

Juga, aku bukan orang yang bisa menepati janji. Terutama janji untuk pergi ke suatu tempat. Seringkali aku membatalkan janji, padahal aku yang mengajak. Selain sering membuat kecewa, aku jadi dianggap nggak serius saat mengajak. Makanya aku lebih sering mengajak pergi tiba-tiba, di hari itu juga. Misalnya aku berencana ingin ke suatu tempat besok pagi, lalu aku mengajak temanku untuk ikut. Tiba-tiba besoknya keinginan jalan-jalan itu musnah begitu aja, dan aku harus membatalkan janji dengan temanku tersebut. Makanya sekarang, aku lebih suka pergi sendirian atau tidak sama sekali. Aku tidak mau mengecewakan orang lain lagi.

Menunggu juga salah satu perusak moodku. Aku bukan orang yang tepat waktu, tapi aku tidak suka ditunggu dan menunggu. Ketika aku ditunggu, waktu terasa berpacu dua kali lebih cepat. Padahal aku bergerak dengan ritme biasa. Aku jadi terburu-buru. Jika menunggu, waktu terasa berjalan lebih lambat dua kali lipat. Makanya aku selalu membawa headset atau buku saat janjian bertemu. Untuk mencegah bosan saat menunggu.

Membatasi diri dengan kehidupan orang lain
Tapi sebenarnya yang bisa menghancurkan moodku adalah diriku sendiri. Aku yang membuat diriku merasa kesal atas sesuatu. Alasannya, karena aku merasa kecewa dengan diriku sendiri yang tidak bisa melihatnya dari sudut pandang lain. Aku kecewa saat diriku mengecewakan orang lain juga.

Intinya, yang bisa membuat suasana hatiku adalah diriku sendiri. Dan yang memecahkannya juga diriku sendiri. Tidak ada yang bisa selain aku. Maka dari itu, aku tidak mau terlalu banyak mengurus dan memperhatikan kehidupan orang lain. Bisa jadi dengan melihat mereka, aku jadi membandingkan diriku dengan mereka. Padahal aku harus ingat, setiap orang itu berbeda dan memiliki jalan masing-masing.
Continue reading Menggerutu

Sabtu, 16 Februari 2019

,

Untuk Cinta Pertamaku

Halo, apa kabar?

Apa kau masih mengingatku? Sebelas tahun lalu, aku menyatakan rasa sukaku padamu. Dengan sebuah sobekan kertas dengan sepucuk kalimat "aku suka kamu, kamu suka aku nggak?" yang dikirimkan oleh sahabatku.

Terima kasih atas jawaban yang menyenangkan dan tidak menertawaiku karena suka kepadamu. Terima kasih untuk tetap menjaga rahasia itu. Aku tidak sedang bergurai saat itu, aku benar-benar menyukaimu.

Teman-temanku bilang kau adalah bocah hitam bandel yang tidak hafal perkalian. Aku bisa menyukai bocah laki-laki lain yang lebih pintar matematika atau berkulit putih. Tapi di mataku yang berumur sembilan tahun itu, kamu sangatlah bersinar. Aku suka senyummu yang lebar. Aku juga suka cerita-cerita lucu yang kau lontarkan.

Kemudian, terima kasih telah memperlakukan aku yang berumur sebelas tahun dengan baik. Menjadi rekan sebangkumu adalah salah satu hal yang menyenangkan dan menjadi ingatan. Berbeda dengan bocah laki-laki lain di kelas yang seenaknya, kamu menerima syarat anehku dan mematuhinya dengan senang hati. Walaupun hanya sebentar, aku senang pernah menjadi rekan sebangkumu.

Sekali lagi, terima kasih untukmu. Semoga kamu dilimpahi kebahagiaan selalu.


Dariku, bocah perempuan kurus yang pernah menyukaimu.
Continue reading Untuk Cinta Pertamaku

Jumat, 15 Februari 2019

,

Kala Itu #1


Mendung masih menggelayuti pagi awal November. Hari ini aku libur bekerja, setelah sebulan penuh berkutat di depan laptop. Sejuknya udara membuatku malas untuk sekadar bangun dan mencuci muka. Selepas Shubuh tadi, aku hanya berkutat dengan Smartphone dan tidur-tiduran di kasurku saja. Hari yang tepat untuk bermalas-malasan.

Tring! Tiba-tiba sebuah notifikasi masuk ke Smartphone yang sejak tadi aku genggam. Dari gank-ku SMK dulu, Master Mind. Berisi 6 orang perempuan yang sering berpikir jika sedang berkumpul. Aku, Anisah, Sitta, Lulux, Nabila, dan Cao. Sebuah pesan panjang dari Anisa, yang berisi kerinduan kepada kami. Dan karena satu notifikasi itu, muncul beberapa notifikasi lain yang membuat Smartphone-ku menjadi berisik.

Perbincangan kami terus berlanjut di chat tersebut. Dari mulai membicarakan hal yang membuat kerinduan semakin memuncak, sampai membuat rindu itu terkikis oleh rasa kesal. Aku terkekeh, bagaimana bisa setelah 3 tahun tidak bertemu kami masih seperti remaja labil? Ah, rindu itu terasa semakin menggumpal saja.

Image result for cafe
Source

Kamis, akhir November. Café la Mind siang ini tetap ramai seperti biasanya. Aku duduk sendirian dibangku yang bersebelahan dengan kaca. Kami berencana untuk temu kangen siang ini, setelah melewati beberapa ‘sidang’ alot yang dipimpin oleh Lulux. Sempat terlintas di pikiranku, yang dulunya jika ingin bertemu tinggal kunjungi rumahnya saja, sekarang harus mengatur jadwal agar tidak bentrok. Ah, waktu.

Satu per satu mereka datang, di awali dengan Lulux dan Sitta. Lalu Cao yang datang langsung mengeluarkan handphonenya, Nabila, dan terakhir Anisah sambil tertawa-tawa, seperti biasa. Aku tersenyum menatap mereka, agak canggung. Lima belas menit kami lalui dengan kecanggungan luar biasa. Aku ,orang yang tidak bisa mencairkan suasana hanya menatap sekitar café sambil berpikir kata apa  yang tepat untuk memulai percakapan.

“Masa gini-gini aja?” ujar Lulux tiga menit kemudian sambil menahan kesal. Kami semua menengok ke arahnya. “Katanya mau ketemu tapi sibuk semua sama kegiatan masing-masing!” tambahnya lagi.

Kulihat Nabila meringis sedikit. Anisah dan Sitta saling tatap kebingungan. Aku menatap Lulux sambil tertawa pelan. “Ya emang mau gimana, Luxy?” jawabku. Cao masih asyiik dengan handphonenya.

“Ah, gatau ah! Kalian udah gak asik. Yaudahlah, aku juga gak deket sama kalian!” Lulux berkata dengan wajah merengut. Kami terbahak. Mengingat wajah orang yang dulu kalimat-kalimatnya sering kami ucapkan itu. Dan akhirnya setelah itu kami mulai bisa menyesuaikan diri. Yah, Lulux memang yang paling mampu mengubah suasana.

Pembicaraan kami tidak terfokus pada satu topik. Semua kami bicarakan. Tertawa hingga mengeluarkan air mata, menangis, sampai tertawa lagi, hingga kami menjadi pusat perhatian. Sampai tiba waktu Ashar, kami berempat menuju Masjid terdekat untuk menunaikan Shalat Ashar.

Related image
Source

“Eh, aku punya pertanyaan buat kalian!” Lulux berkata semangat setelah selesai merapikan mukena. “Jawab ya, buat bahan tulisan aku di novel nanti.” Tambahnya.

“Apaan?” ujar kami berbarengan.

“Kalau kalian diminta untuk memilih, kalian milih teman atau uang?” Lulux mencari posisi nyamannya, lalu berujar lagi “Jawab dari… Anisah dulu deh. Oh iya sama alasannya ya!”

Anisah hampir ingin protes, tetapi Lulux segera menjawabnya dengan menempelkan telunjuknya ke bibir Anisa menyuruhnya untuk diam.

“Huh, kenapa aku sih!” protes Anisa pelan. Ia berpikir beberapa menit, lalu melanjutkan perkataannya. “Kalo aku pasti lebih milih temen! Soalnya temen itu lebih berharga daripada uang, iya gak, Zil?” tanyanya padaku. Aku hanya tersenyum sebagai jawaban.

“Kalo kamu, Nabila?”

Nabila yang sedang sibuk membetulkan posisi pashminanya kaget, ia mengomel sebentar, lalu melanjutkan kegiatannya tadi. “Sebentar.” Ujarnya.

“Kalo aku, lebih milih Uang.” jawabnya bangga. “Karena kalo kita punya uang, nanti temen juga bakal dateng sendiri ke kita. Kan, Zil?” Tambahnya. Aku meringis. Kenapa semua pendapat harus ditanyakan lagi kepadaku?

“Kalo kamu gimana, Sitta?” Sambung Lulux lagi.

Sitta diam sebentar, memilih kalimat yang tepat. “Aku milih teman. Uang gampang dicari. Teman yang baik susah dicari.”

Lulux menganggukan kepalanya lalu menoleh ke arah Cao yang sibuk dengan handphone-nya. “Kamu, Cao?”

“Sini pilih teman yang punya banyak uang. Biar bisa dijajanin kalo lagi main.” jawabnya santai tanpa memalingkan wajah dari handphone-nya. Kami semua tertawa. “Aku juga mau kalo gitu mah!” pungkas Anisah

“Kalo menurut kamu gimana Manzila?”

“Aku gak bakal milih dua-duanya.” Jawabku.

“Ih! Gak bisa gitu, Manzila! Kan disuruh milih! Ya harus pilih!” ujar Anisah protes.

“Anisah diem dulu apa! Manzila belum selesai ngomong!” jawab Lulux gemas. Anisa tersenyum 3 jari sambil membentuk jarinya menyerupai huruf ‘v’.

“Aku gak pilih dua-duanya soalnya uang dan teman itu kebutuhan yang sama. Dan gak bisa dibandingkan atau dilepaskan salah satunya.” Ujarku. “dan kamu tahu sendiri, Lux. Kalo aku gak bisa pilih salah satu, jadi mendingan aku gak pilih dua-duanya biar adil. Hehe” ujarku dengan cengiran bodoh.

“Itu alasan kenapa aku milih kamu paling akhir, Manzila. Coba aku minta pendapat kamu duluan pasti mereka pada jawabnya samaan semua.” Kata Lulux menimpali jawabanku.
Anisah dan Nabila tampak ingin memprotes, tetapi keduluan oleh pertanyaanku. “Kalo menurut kamu, Luxy?” tanyaku.

“Aku bakal milih dua-duanya.” Ujar Lulux santai. “Stt! Diem dulu aku belum selesai ngomong!” tambahnya setelah melihat Anisah ingin protes lagi. Aku tertawa  sambil menggeleng-gelengkan kepala melihat kelakuan Anisah yang dari dulu tidak berubah itu.

“Dengan aku milih dua-duanya aku bisa punya teman, juga bisa punya uang. Aku bisa bantu teman aku kalo aku punya uang.” Lulux meminum airnya sebentar. “Maap, Haus. Hehe… sampai mana tadi kita? Oh iya, dan aku juga gak bilang untuk pilih salah satu kan? Aku Cuma bilang pilih aja. Pilihan gak selalu dua kok. Ada pilihan ketiga, empat, lima, dan seratus kalo kamu mau malah.” Tambahnya.

Aku tersenyum. Yah pribadi kami memang diciptakan bertentangan satu sama lain. Tapi kami mencoba membuatnya menjadi suatu bentuk yang unik dan utuh. Lulux dengan seluruh filosofinya, Nabila dengan segala kekonyolannya, Anisah dengan semua keceriaannya, Sitta dan segala sarkastiknya, juga Cao dengan pikiran-pikirannya.

Sore ini, di akhir November. Aku melihat kembali lima temanku berwujud anak SMK. Waktu terasa mundur dan aku menyaksikan kelima temanku memakai baju putih abu-abu. Berkumpul di kantin sekolah sambil memesan es teh dan indomie rebus. Tertawa karena sebuah cerita konyol yang kami karang sendiri.

Semoga kami selalu baik-baik saja.


Sabtu, 16 Oktober 2015
Continue reading Kala Itu #1