“Aku gatau gimana caranya biar kamu bisa percaya dan berhenti nyalahin diri kamu sendiri, Kei.” ujar seseorang di depanku. “Aku mau jadi orang yang dengar cerita konyol kamu, bahkan obrolan yang kamu bilang nggak penting itu.” lanjutnya.
“Maaf.” Ujarku menundukkan kepala. Rasanya sebentar lagi gerimis akan muncul.
“Nggak perlu minta maaf. Sekarang aku antar kamu pulang ya. Istirahat, jangan nangis lagi.”
Aku menganggukkan kepala, lalu mengikuti langkahnya dan duduk di jok motor. Bahkan sampai saat ini aku tidak berani menatap matanya. Apa pantas aku menerimanya? Aku, yang buruk ini apa pantas menerima dia yang dikelilingi kebaikan.
Telingaku berdenging, ingatan itu kembali dan bertubi-tubi membentur kepalaku, Jantungku berdegup cepat, hingga mengaburkan pandangan. Aku terhuyung dan mencari pegangan padanya.
“Kei, kamu kenapa?!” ujarnya panik sambil memegang tangan dan dahiku. “Astaghfirullah, kenapa kamu jadi menggigil gini? Kita ke rumah sakit sekarang!” ujarnya sambil memakaikan jaket dipundakku lalu menyalakan motornya. Lengan kanannya memegang stang motor, sedangkan lengan kirinya menahan tubuhku yang kedinginan. Sepanjang jalan dia berusaha mengajakku mengobrol, melakukan apapun untuk membuatku terjaga. Aku mendengar apa yang dia bicarakan, genggaman tangannya menemaniku menuju ICU dan ingin menjawabnya. Tapi entah kenapa lidahku terlalu kelu untuk sekadar membuka mulut. Samar-samar rasa kantuk menyerangku dan aku tertidur.
***
![]() |
Help |
“Tolong! Siapapun tolong aku!” teriakku sepanjang Lorong apartemen kamar itu.
Dor!
Suara pistol berdentum dengan tong sampah besi. Kakiku terasa kebas karena sudah berlari sejam tanpa henti. Rasa lemas mulai merayapi telapak kakiku yang menuruni tangga tadi. Aku berhenti dan melihat sekeliling. Dengan nafas tak beraturan aku menyeret kaki yang mulai tidak bisa diajak kompromi untuk berjalan lagi.
“Tolong!” teriakku sekali lagi. Kekuatanku rasanya sudah bersisa sangat sedikit.
Dor!
Sekali lagi suara pistol itu menggema di setiap sudut dinding jalan. Aku menyeret kakiku lebih kuat untuk segera bersembunyi. Di manapun. Aku bertekad untuk tetap hidup dan menjadi orang baik. Tuhan, tolong aku. Sekali ini saja, jika kau benar ada! Bisikku lirih.
“Keinara… Kamu di mana..?” ujar seorang laki-laki bersuara bass. “Di manapun kamu berada, aku bisa menemukanmu..” ujarnya lagi.
Aku menutup mulutku. Menghalau nafas yang berisik ini. Tuhan, jika kau ada, tunjukkan mukjizatmu! Rengekku lagi.
“Keinara…” ucap suara itu lagi. Kali ini suaranya terdengar sangat dekat. “Kalau kamu tidak menyahut juga, aku akan membunuhmu jika bisa menemukanmu.”
Bullshit! Jikapun aku keluar kau tetap akan membunuhku! Runtukku dalam hati.
“Tentu saja setelah menelanjangimu dan menyelesaikan satu album foto penuh dirimu. Agar lengkap koleksi-koleksiku tentangmu.” Sambung laki-laki itu. Suaranya benar-benar terdengar dekat, apa jangan-jangan dia telah menemukan tempat persembunyianku?
“Kau tau, ‘kan kalau aku mencintaimu? Sangat mencintaimu. Karena itu aku tidak akan membiarkanmu sedih lagi. Kau adalah barang berharga bagiku.” Dia terdiam sejenak. “Ah iya, mengapa aku tidak mengawetkanmu saja? Aku sangat suka mata cokelatmu itu. Nanti akan kujadikan pajangan di kamarku agar mata kita bisa selalu bertatapan. Ah, betapa romantisnya!”
Dasar sialan! Jika aku tau kau begitu, aku tidak akan menerima cintamu! Jangankan menerima cintamu, bertemu pandang pun akan kulaporkan ke polisi! Sumpahku dalam hati.
“Keinara…” ujarnya sambil tertawa kecil.
Aku benci suara itu. Padahal awalnya suara laki-laki ini adalah salah satu yang aku bisa dengarkan berjam-jam. Bahkan demi mendengar tawanya aku rela memberikan barang-barang mahal.
“Aku menemukanmu..” ujarnya sambil membuka tempat persembunyianku. Nafasku tertahan dan entah kenapa air mataku tidak bisa terbendung lagi.
“Anak baik tidak boleh diam saat dipanggil. Apa kamu mau lidahmu itu kuhilangkan?" ujarnya sambil tertawa. "Tapi nanti suara indahmu jadi tidak bisa aku dengarkan lagi, ya..” lanjutnya dengan wajah sedih.
Aku menggelengkan kepala ketakutan. Tuhan, tolong aku! Tolong buat aku mati sekarang, hingga aku tidak bisa merasa hina karena dipegang oleh si brengsek ini.
Laki-laki itu menarikku keluar dengan paksa. “Oh, jadi begini harummu ya? Seperti harum sepatuku yang sudah lama tidak dicuci.”
Itu karena kau jorok dan bau kaki, sialan! Jangan samakan aku dengan kakimu yang bahkan kau saja tidak bisa dibandingkan dengan seincipun kotoranku!
“Ada apa tatapan itu, sayang? Kamu harus tau kalau yang aku bicarakan sejak tadi itu ucapan cinta. CINTA!” ujarnya lalu tertawa kembali. “Kakimu tidak bisa kau gunakan, sayang? Mau kuputuskan saja agar tidak menyusahkanmu? Jadi aku bisa menggendongmu.”
Aku memaksa kedua kakiku berdiri tegak. Tetap saja gemetar ini tidak bisa dihentikan. Reflek tubuhku tidak sebagus itu.
Tiba-tiba laki-laki itu melepaskan tangannya dariku. Membuat kakiku yang sejak tadi lemas tidak kuat menyangga badanku lagi. Aku terduduk di ujung jalan dengan penerangan seadanya. Dia tersenyum senang dan perlahan mendekat.
“Sayang, apa kau sudah tidak sabar menemuiku hingga duduk di sini?” ujarnya dengan suara yang membuat tengkukku merinding.
“Tolong bunuh aku saja sekarang.” Ujarku lirih.
“Apa? Kau mau mati, sayang? Kalau kau mati, bagaimana denganku nanti?” jawabnya dengan suara lirih dan mata berkaca-kaca. “Ah ya, tapi kan aku bisa mengawetkanmu. Hahaha”
“Kau laki-laki sialan paling brengsek yang pernah kutemui!” aku berteriak dengan tenaga terakhirku lalu memejamkan mata. Membayangkan hal terburuk yang akan terjadi. Tuhan, maafkan aku jika sampai akhir aku masih tidak percaya padamu. Jika neraka itu ada, tolong jangan masukkan aku ke sana. Dan jika Kau benar-benar ada, aku pasrahkan diriku sekarang. Selanjutnya, terserah Kau saja, bisikku dengan air mata bercucuran.
Dor!
Rasa nyeri menjalari pahaku. Jadi begini rasanya mati. Tapi sepertinya aku masih bisa menahannya, Tuhan. Haha. Aku membuka mata ngeri membayangkan kematianku dan menyaksikan darah berceceran. Kulihat laki-laki itu tergeletak tepat di depanku dipenuhi noda merah. Kakiku diwarnai noda yang sama. Telingaku berdenging kencang, akibat suara pistol yang rasanya berada tepat di telinga kananku. Ah, pandanganku mulai berputar-putar. Sebelum kesadaranku hilang, aku mendengar seseorang berlari ke dan memanggilku. Inikah malaikat kematian? Lalu aku pingsan.
***
“Kei? Kamu udah sadar?” ujar suara bariton membangunkanku.
Aku mengerjapkan mata, membiasakan cahaya masuk. Wajahnya yang pertama kali aku lihat.
“Alhamdulillah kamu sadar juga. Orang tua kamu cemas banget karena seharian kamu pingsan. Aku juga khawatir banget.” Lanjutnya lagi sambil membantuku membenarkan posisi tidurku.
Aku tersenyum lemah memandangnya. Dia terlihat sibuk memanggil dokter yang sedang lewat, lalu izin memanggil kedua orang tuaku.
Terlihat wajah sumringah dari kedua orang tuaku. Walaupun senyum kelelahan tergurat dari wajahnya, aku bisa merasakan mereka lega. Sejak kejadian itu, rasanya aku benar-benar merepotkan mereka.
“Kei, kamu udah merasa enakan? Dzanu semalam telepon ngelaporin kalo kamu menggigil dan nggak sadarkan diri. Kamu keingat kejadian itu ya?” ujar mama sambil mengelus kepalaku. Aku menarik nafas panjang dan lekas menggeleng.
“Papa khawatir banget sama kamu. Sampai nggak mau pulang, nggak mau makan, biar bisa nemenin kamu di sini.” Cerita mama.
Aku tertawa kecil. Papa terlihat malu dan cemberut kesal kepada mama. Dzanu menyodorkan gelas berisi air mineral, “minum dulu.” Ujarnya. Aku mengangguk menengguk air sambil mendengarkan celotehan mama dan papa. Rasanya sudah lama sekali aku tidak mendengar keriaan ini.
Setelah kejadian mengerikan itu, aku diminta untuk berkonsultasi dengan psikolog oleh dokter. Trauma itu masih begitu nyata di alam bawah sadarku. Setiap dekat dengan laki-laki dan mendengar kata-kata yang mengingatkanku pada kejadian suram itu tubuhku beraksi keras. Dan bersama Adzanu kemarin adalah puncaknya. Entah kenapa aku sangat ketakutan setelah mendengarkan kalimat-kalimatnya.
Delapan minggu penuh sesi bersama psikolog, dia selalu mengantar dan menjemputku di sela-sela tugasnya. Merelakan satu minggu jatah cutinya untuk menemaniku yang tiba-tiba ketakutan bertemu semua orang kecuali dirinya. Rasanya aku tidak mendengar keluhan apapun darinya. Bahkan saat bertemu pun dia selalu tersenyum dan bercerita mengenai harinya. Bertemu dokter pun sepertinya adalah sesi kesukaannya, dia terlihat sangat serius saat mendengarkan dokter bercerita tentang perkembanganku.
“Kata dokter, perkembangan kamu bagus banget, Kei. Aku ikut senang dengarnya.” Ujarnya sambil tersenyum senang.
“Terima kasih ya.” Jawabku lirih.
“Untuk apa?”
“Terima kasih untuk waktu yang kamu kasih selama ini, nemenin aku check up dan control. Terima kasih selalu bantu aku dengan senyum positif kamu. Terima kasih untuk nggak memandangku dengan pandangan kasihan..” aku diam. “terima kasih juga telah menolongku dari si brengsek itu. Kalo nggak ada kamu, mungkin saat ini aku ada di-“
“Sst. Jangan ngomong gitu. Itu karena takdir Tuhan. Aku bisa bantu kamu karena Tuhan mengijinkan kita ketemu. Untuk waktu yang aku luangkan, nggak akan bisa membayar lunas trauma kamu selama ini. Jadi janji sama aku, kalau kita, dan kamu bakal tetap berjuang untuk hari ini, besok, dan nanti. Kita bareng-bareng selesain ini. Ya?” ujarnya sambil menyodorkan jari kelingking. Pinky promise.
Aku tersenyum dan mengangguk. Lalu mengaitkan kelingking, berjanji. Kami tertawa.
Hey, Tuhan. Terima kasih telah mengirimkan malaikat yang baik hati ini. Bukan sekadar menolongku bahkan membimbingku. Menuntunku mengenal-Mu. Entah apa yang Engkau pikirkan saat memberiku laki-laki ini. Boleh aku meminta lebih, Tuhan? Aku ingin memilikinya di jalan-Mu. Boleh ya?
***
0 komentar:
Posting Komentar