Sabtu, 16 November 2019

Obrolan Satu Pagi

Assalamu'alaikum! Haiiiii! Akhirnya aku nulis lagi. Iya, setelah minggu-minggu stuck ide karena mood selalu bagus dan terlalu terang, aku jadi nggak bisa mengurai kegalauanku seperti dulu. Hahaha. Hal itu juga yang bikin aku mikir, kenapa yang senang dan bahagia juga nggak dibagikan? Biar ikutan jadi bagian cerita yang harus dipigura. Diabadikan dalam sebuah tulisan. Lets talk about it.

Obrolan satu pagi ini aku buat karena entah kenapa akhir-akhir ini aku selalu tidur larut malam. Pekerjaan dan obrolan satu pagi dengan orang-orang terdekat emang selalu bikin aku terjaga. Rasanya kalo ngobrol di jam satu ke atas, pembicaraan yang mengalir terasa lebih jujur dan dalam. Kalau aku bilang, Manzila mode malam itu bawel banget. Apa aja diceritain, kayak orang mabuk. Padahal mah karena emang lagi banyak pikiran aja, kebetulan ada teman yang mau dengar jadi nggak sengaja kebuka satu persatu lembaran bukunya. :))

Di jam ini, rasanya waktu lagi baik hati untuk kosongin pikiran. Apalagi kalo ada teman yang mau diajak ngobrol. Udah, kelar. Rasanya seluruh emosi yang aku tutupin ke semua orang bisa ketauan di jam ini; ketakutan, overthinking, harapan, mimpi, marah, sedih. Semuanya. Obrolan satu pagi ini bener-bener ya. Hanya aja. nggak dengan semua orang aku bisa ngobrol pukul satu pagi. Aku lebih sering malas balas chat kalo udah di atas jam dua belas. Hahaha.

Pertama kali ngobrol sama Mama, sekitar tengah malam, beberapa tahun lalu. Waktu semua orang udah pada tidur, aku malah ngajak Mama cerita. Merasa bersalah karena ambil jam tidurnya, tapi berkat obrolan itu juga aku jadi lebih terbuka untuk berbagi cerita. Awalnya tentang kegiatan harian aja, terus akhirnya kelepasan  ngomongin apa yang selama ini aku mau ceritain. Sejak itu juga aku bisa ngobrol banyak sama Mama. Lega banget rasanya. Sekarang jadi terbiasa cerita banyak hal :)

Terus pertama kali bisa terbuka sama salah satu orang terdekatku sekarang, karena obrolan random satu pagi. Nggak nyangka. Hahaha. Malu karena akhirnya dia tau aku yang sebenernya gimana, tapi rasanya seneng bisa saling bagi cerita. Akhirnya jadi kebiasaan, obrolan satu pagi selalu jadi favorit!

Kali ini juga, untuk pertama kalinya aku berani. Nggak lagi ragu, nggak lagi abu-abu. Boleh aku kasih kepercayaanku yang masih ada? Tapi masalahnya kalau aku udah percaya, aku jadi ketergantungan. Boleh nggak aku minta waktu untuk mau direpotin nanti?

Tuh, kan. Obrolan satu pagi ini emang bahaya. Udah, ah. Tulisannya aku selesaikan di sini. :)


Cheers!
Continue reading Obrolan Satu Pagi

Kamis, 24 Oktober 2019

(p)ikat


Kepada seseorang yang datang dan melebur dalam keseharian
Yang malamnya adalah kekhawatiran
serta subuhnya penuh dengan harapan
Semoga tetap tegak, di mana pun kaki itu memijak

Kepada seseorang yang telah menjadi hal yang ingin ditemui
Berangkatnya adalah senyum-senyum penuh doa
dan kembalinya selalu menjadi kegiatan yang dirindui
Semoga tetap tangguh, selelah apapun mengeluh

Terakhir,

Kepada seseorang yang akhirnya memenuhi pikiran
Yang telah menjadi pertanyaan butuh jawaban
serupa liburan yang diinginkan
Semoga bahagia selalu, dan jangan pernah ragu
Continue reading (p)ikat

Minggu, 13 Oktober 2019

Hey!

Jangan lakukan, jika apa yang akan kamu kerjakan penuh keraguan.
Karena ragu bukanlah sebuat hal yang bisa dibanggakan. Bukan hal yang bisa diteruskan.
Cari jawabannya sebelum menetapkan hati. Yakinkan diri sendiri bahwa hal itu adalah yang kamu sukai, yang akan kamu selesaikan hingga akhir.

Memangnya apa yang kamu harapkan saat menyelesaikan suatu hal dalam keadaan abu? Selesai dengan memuaskan? Atau tanpa banyak hambatan?

Hahaha. Tidak mungkin.

Bahkan yang yakin saja masih harus melewati sekian terjal, bagaimana mungkin kamu bisa melewatinya dengan santai?

Yakin saja. Kamu bisa melewatinya.
Terus belajar ya.


Hey,
Mau kuberi tahu satu mantraku?
Cukup katakan, "Aku akan baik-baik saja, sedikit lagi sebelum menyerah."


Continue reading Hey!

Kamis, 10 Oktober 2019

Validasi Rasa

Untuk apa masih bertanya, jika apa yang kulakukan sudah bisa kau rasakan sendiri?
Untuk apa masih ragu, bukankah sudah terlalu jauh untuk mencari jalan kembali?

Apa yang ingin kamu dengar adalah apa yang aku lakukan.
Apa yang kamu ragukan adalah apa yang telah aku yakinkan selama ini.

Tatapku belum cukup untuk membuatmu berhenti mencari jawaban?
Pundakku belum cukup untuk membuatmu merasa nyaman?
Pelukku belum cukup untuk membuat hatimu merasa aman?

Tak ada kata yang bisa menggambarkannya. Apa aku harus membuat kata baru untuk meyakinkanmu?


Continue reading Validasi Rasa

Rabu, 18 September 2019

Kenapa yang Menimbulkan Kenapa

Takut, takut dan takut. Selalu kata itu yang kamu ulangi.
Nggak bisa, aku nggak tau gimana caranya.
Sambungmu lagi.

Kenapa semua hal baru harus kamu takuti?
Bagaimana caramu tau jika kamu nggak belajar?
Padahal aku ada di depan, berteriak paling kencang memberi dukungan.

Katamu kamu tidak suka sesuatu di luar kendalimu.
Tapi kamu berkata, suka sekali belajar.
Apa yang mau kamu pelajari, jika semua sesuai kendalimu?

Kenapa terlalu takut? Kenapa tidak berani melangkah?
Kenapa membohongi diri? Kenapa menutup diri?
Kenapa semua harus sesuai kendalimu?

Untuk sekali ini, cobalah.
Continue reading Kenapa yang Menimbulkan Kenapa

Senin, 09 September 2019

Unfinished Answer

Ada hal yang belum aku temukan jawabannya. Aku cari ke semua orang, setiap orang yang kutemui. Dari buku-buku yang kubaca. Menjadi pemerhati semesta yang bergerak, dengan harapan bisa menemukan jawaban. Berulang-ulang. Penuh ambisi.

Aku terlalu banyak memberi jawaban kepada orang lain hingga pertanyaan yang aku ajukan kepada diri sendiri, tidak aku temukan. Terlalu peduli pada orang lain, terlalu banyak mendengar, hingga terlalu sedikit dan sulit berbagi cerita. Padahal manusia butuh berbagi sisi.

Sering banget merasa ada yang hilang, ada yang kurang. Berkali-kali aku merasa takut dan ragu melangkah. Rasa takut tentang hal yang aku sendiri nggak tau seperti apa. Aku nggak paham diriku sendiri. Pula, ada hari-hari di mana rasanya aku lelah dengan hari. Capek. Aku mau nangis aja dan nggak mau ketemu siapapun. Tapi aku nggak bisa nangis. Aku nggak bisa diam di dalam kamar dan bikin orang khawatir.

Aku selalu bilang, aku nggak kenapa-kenapa. Aku nggak kenapa-kenapa. Aku cuma belum paham sama diri aku sendiri. Nggak marah sama orang, aku marah sama diri aku sendiri. Aku nggak ngerti apa yang kurang, apa yang aku cari. Aku nggak bisa menemukan jawaban.

Atau sebenarnya, aku nggak tau apa pertanyaan yang selama ini aku ingin tanya? Gimana bisa menemukan jawaban kalau aku sendiri nggak bisa menemukan pertanyaan yang tepat untuk dicari jawabannya?

Satu hal yang baru aku sadari baru-baru ini. Setelah kemarin bengong di pantai malam-malam. Mungkin ini salah satu pertanyaan yang selama ini aku ingin tanyakan, tapi aku nggak tau gimana caranya bertanya hal ini.
Ada hal yang belum aku selesaikan dari diriku sendiri, tapi aku cari pada orang lain. Ada hal yang aku takutkan dari diriku sendiri, tapi malah mendobraknya melalui orang lain. Ada hal yang belum aku terima, tapi berpura-pura rela melepas.
Aku takut akan ekspektasiku sendiri. Aku ragu pada diriku sendiri. Aku kecewa pada diriku sendiri. Aku lelah dengan diriku sendiri. Kenapa? Selama ini aku terlalu memaksa. Memaksa menjadi orang baik. Selalu berpikir dari sisi positif. Merasa semuanya aman.

Jadi capek sendiri, sesak sendiri, marah sendiri. Aku nggak bisa menolong diriku saat butuh. Patah hati waktu sadar diri, aku nggak sekuat itu. Tapi memang manusia nggak harus selalu terlihat kuat kan? Aku terlalu naif. Padahal aku tau warna memiliki macam, begitu juga hidup. Aku nggak harus selalu senyum waktu kecewa. Nggak harus ketawa waktu lagi butuh nangis. Nggak harus blank waktu butuh solusi. Rasa perlu dibagi.

Aku terlalu takut buat terlihat lemah, buat terlihat nggak baik-baik aja. Padahal rasanya kepalaku udah nggak kuat buat diangkat, tapi egoku malah teriak "ada orang lain yang masalahnya lebih berat daripada kamu!" Padahal kaki rasanya udah lemas buat melangkah maju, tapi begitu melihat sekitarku bergerak cepat, gengsiku berambisi untuk tidak istirahat. Aku yang kelelahan, bukannya berhenti malah menyeret kaki.

Selalu bilang, aku kangen seseorang yang bahkan entah siapa. Yang tubuhnya bisa dipeluk waktu kelelahan. Yang bahunya bisa menjadi sandaran sebentar. Yang telinganya rela mendengar keluhan. Tapi nggak bisa. Nggak boleh. Gimana aku mau bersandar saat aku tidak percaya pada apa yang aku ingin ceritakan? Gimana aku bisa memulai hubungan saat aku masih punya hal yang belum selesai dari diriku?

Padahal yang aku butuhkan cuma menerima. Membiarkan rasa berekspresi. Nangis ya nangis aja, nggak perlu sok kuat. Marah ya marah aja, nggak perlu sok nggak peduli. Nggak usah disangkal, nggak usah ditahan.

Tenang, aku juga berusaha menerima sekarang. Entah bagaimana caranya. Aku bakal tetap berusaha kok. Capek. Aku nggak mau lagi ketakutan. Aku nggak mau lagi memasang benteng pertahanan. Aku nggak mau lagi sok kuat mental.
Continue reading Unfinished Answer

Minggu, 01 September 2019

Yaudahlah

Katanya semakin dewasa manusia, semakin malas juga mengurusi hal-hal yang nggak sesuai dengan keinginan. Apalagi menyangkut orang blain. Makin me-yaudah-lah semua hal, makin malas berdebat. Kalian gitu nggak sih?

Sebagai orang yang dulu maunya semua hal sesuai keinginan, sesuai rencana, aku merasa kalimat itu bener banget. Pernah beberapa hal aku paksakan biar benar-benar terjadi, bahkan sampai bertengkar dan tidak berkabar. Aku kesal dan memilih nggak mau berhubungan.

Saat mengajak orang lain dan ternyata mereka tiba-tiba membatalkan janji, aku yang dulu mungkin akan kesal dengannya. Padahal aku tau bahwa setiap orang punya prioritas. Tapi tetap saja, rasanya marah. Aku benci berjanji dan tidak ditepati.

Akhirnya aku sadar sendiri, kalau dunia nggak selalu berpijar di dekatku aja. Nggak semua bakalan bisa sesuai dengan apa yang aku inginkan. Sebagai makhluk sosial yang butuh orang lain dan hidup bersama orang lain, nggak mungkin semua jalan sesuai dengan rencanaku. 

Aku juga nggak selalu tepat janji kok. Bisa jadi tiba-tiba ada kerjaan mendadak atau diajak ke rumah saudara. Kalau udah gitu, biasanya aku akan janji ganti hari, atau traktir dia makan sebagai gantinya. Walaupun kekesalan emang nggak bisa digantikan dengan apapun ya, tapi menunjukkan penyesalan karena membatalkan janji setidaknya bisa meredam rasa marah, menurutku.

Jadi sekarang kalau janji dibatalkan merasa, "yaudahlah, nggak semua orang sesantai kamu kali, Man. Sendiri aja lah." Selalu begitu. Sampai kadang rasanya agak segan mengajak orang lain untuk jalan-jalan. Kalau bisa sendiri, jalan ajalah. Kalo malas, mendingan baca buku di rumah atau nulis aja, itu pikiranku aja sih.

Dari dulu sebenarnya aku terbiasa sendirian ke manapun. Rasanya nyaman-nyaman aja. Entah sejak kapan, aku mulai butuh teman saat jalan-jalan, ke tempat baru, pameran, nonton bioskop. Beberapa bulan ini aja sih, rasanya aku begitu butuh teman untuk sekadar beli baju di mall. Kenapa ya? Apa ini yang dinamakan kesepian? Apa aku lagi bosan sendirian ya? Hahaha.

Tapi bener deh, sikap "yaudahlah" ini bisa meredam kekecewaan aku terhadap orang lain. Walaupun efek buruknya, aku jadi malas bergantung pada orang lain kalau pergi ke mana-mana. Tiba-tiba dichat teman,"kok nggak ngajak?!" Maaf ya teman-temeaku :'D
Continue reading Yaudahlah