Selasa, 09 Agustus 2016

Hujan dan kamu

Hujan dan kamu adalah satu keterikatan dalam ingatanku.
Kamu begitu membenci hujan.
Aromanya,
Dinginnya,
Dan tiap tetesnya yang turun
Tapi aku jatuh cinta pada hujan.
Rintiknya yang bermusik,
Kabutnya yang menghalang pandangan,
Dan kesejukannya yang menentramkan.
Kamu begitu membenci hujan.
Tetapi mengapa aku bisa jatuh cinta?
Tetapi mengapa setiap pertemuan kita selalu diiringi turunnya hujan?
Kamu selalu membenci hujan.
Ia memberi kenangan-kenangan pahit,
dan mengingat semua kegagalanmu.
Hujan tak pernah memberikan hal baik, katamu.
Kamu begitu membenci hujan,
Tapi tetap saja,
Dalam ingatanku, kamu dan hujan mempunyai satu hal yang terikat
Karena setiap kita bertemu,
Ia selalu datang dengan rintiknya yang anggun.
Continue reading Hujan dan kamu

Senin, 08 Agustus 2016

[Buku] Hujan Karya Tere Liye


Assalamu'alaikum semuaa, apa kabar? Maaf baru posting blog lagi ya^^ karena akhir-akhir ini aku dikejar-kejar suatu makhluk yang bernama waktu. Dan ada suatu makhluk lainnya yang selalu menemaniku dalam membuat artikel yaitu lupa alur. Huft.



Kali ini aku mau mereview novel karya salah satu penulis kesukaanku, Tere Liye dengan bukunya "Hujan". Akhirnya setelah menunggu dengan sabar, aku bisa beli buku ini juga! Walaupun Bang Tere menganjurkan untuk meminjamnya saja, tapi rasanya kok lebih enak punya sendiri ya? ^^

Source: Fanpage Tere Liye

Jadi saat pertama kali melihat cover bukunya yang membiru itu, aku langsung jatuh cinta. Jatuh cinta sekali. Karena aku adalah salah satu dari mereka yang menyukai warna biru dan hujan. Hidup pluiviophile! Covernya depannya yang sederhana, rintik gerimis dengan dasar berwarna biru dan pantulan air yang tergenang. Aku selalu suka dengan font judul yang dibuat Bang Tere. Sederhana. Tidak perlu memakai font yang bagus dan ramai. Covernya hanya berisi judul dan nama penulisnya saja. Cukup membuatku jatuh cinta dan penasaran.

Lalu sinopsis di cover belakang membuatku lebih penasaran. Tentang persahabatan, cinta, melupakan, perpisahan, dan... hujan. Apa yang membuat sinopsis itu begitu istimewa? Padahal genrenya bisa dibilang cukup popular, Cinta. Tapi kenapa harus tentang hujan juga? Dan otakku langsung dengan cepat merespon, "Hujan selalu berhubungan dengan perasaan, dan kenangan." Gotcha! Mungkin akan sesuai dengan aku yang selalu mencintai hujan. Setelah ada kesempatan, aku langsung membelinya.

Novel setebal 317 halaman ini menggunakan kertas khusus novel. Kertas dengan bau yang sangat khas, menurutku. Bau yang sangat khas bagi para penyuka buku. Kertasnya tebal, dan ada pembatas buku dengan desain yang sama dengan cover depan. Pembatas buku adalah benda istimewa yang selalu aku cari saat membeli buku, sangat ekslusif.

Novel ini benar-benar membuatku jatuh cinta. Di bab pertama saja, aku jatuh cinta pada deskripsi penulisnya tentang kemajuan teknologi. Walaupun saat bab pertama aku agak sulit mengerti alur cerita, tapi lama-kelamaan aku menikmatinya juga. Seperti secangkir cokelat panas, yang akan terasa jika diminum secara perlahan. Aku menikmatin jalan cerita buku ini.

Kisahnya tentang Lail, seorang remaja yang menjadi yatim-piatu akibat gempa bumi hebat. Hampir tiga perempat penduduk di kotanya meninggal. Ia diselamatkan oleh Esok, anak laki-laki berusia lima belas tahun –terpaut dua tahun usianya dengan Lail– untuk keluar dari stasiun bawah tanah. Setelah pertemuan itu, Lail dan Esok menjalin hubungan pertemanan yang erat. Dimana ada Esok, disitu ada Lail, begitupun sebaliknya.

Beberapa tahun kemudian, setelah keadaan kota mereka membaik. Esok mendapatkan kesempatan untuk meneruskan pendidikannya ke Universitas ibu kota, meninggalkan Lail dan ibunya yang selamat. Esok sangat sibuk dengan kuliahnya dan Lail menjadi relawan dengan jadwal yang memenuhi hari-harinya membuat mereka sangat jarang bertemu. Bahkan saling bertanya kabarpun hanya mereka lakukan tiga kali, dan semuanya dimulai oleh Esok. Laila hanya menunggu dengan sabar. Bahkan saat bumi diambang sekarat, ia tetap percaya Esok akan menghubunginya, memberinya penjelasan.

Hingga ia tahu bahwa ia hanyalah pilihan. Ia memilih menyerah. Sudah sering Esok membuat hidupnya berantakan. Saat kemarin ia sudah menata hati, Esok datang menemuinya. Memberi kejutan, lalu pergi hari itu juga. Walaupun Lail tahu, bertemu dengan Esok satu menit berarti kembali membuat hatinya berantakan. Semua hal tentang Esok membuat emosinya naik turun. Akhirnya ia memutuskan menghapus ingatan pahitnya. Kehilangan orang tua, gempa bumi, dan Esok.

Hujan sangat berhubungan dengan novel ini. Karena setiap peristiwa penting yang dialami Lail bertepatan dengan hujan turun. Ia berhasil melewati semua, tapi hampir tak berhasil menaklukan keinginannya sendiri.

Akhir cerita novel ini kurang membuatku terkesan, tidak seperti awal ceritanya. Karena biasanya Tere Liye selalu mempunyai akhir yang unik untuk setiap jalan ceritanya. Berakhir bahagia disatu sisi, tapi di sisi lain menyesakkan. Tapi tak apa, walaupun kurang tapi cukup membuatku ikut tersenyum. Dengan seseorang yang dicintai, hidup akan terasa lebih tenang dilalui, itu yang aku dapatkan dari akhir ceritanya.

Buku ini termasuk bacaan ringan untuk penulis seperti Tere Liye. Karena biasanya ia menulis dengan tema-tema berat dan jarang diminati oleh orang awam. Tapi tetap saja, Tere Liye selalu menghadirkan hal-hal unik, seperti novel ini.


Sources: http://kribos.blogspot.co.id/2016/04/hujan-review.html

Ada orang-orang yang kemungkinan sebaiknya cukup menetap dalam hati kita saja, tapi tidak bisa tinggal dalam hidup kita. Maka, biarlah begitu adanya, biar menetap di hati, diterima dengan lapang. Toh dunia ini selalu ada misteri yang tidak bisa dijelaskan. Menerimanya dengan baik justru membawa kedamaian."



Akhir kata, aku tidak menyesal membeli buku ini. Selain ceritanya yang membuat baper, novel buatan penulis yang satu ini tidak pernah mengecewakanku. Jadi terserah pilihan kalian, mau membeli atau meminjamnya. Harga di pasaran sekitar Rp. 68.000,- tapi Tere Liye menyarankan untuk meminjamnya saja, jika belum bisa membelinya.



Selamat menyelesaikan novelnya!
Continue reading [Buku] Hujan Karya Tere Liye

Sabtu, 06 Agustus 2016

#Rewind Pudar - Rossa

Kurasakan pudar dalam hatiku
Rasa cinta yang ada untuk dirimu
Kulelah ingin semua yang ada
Ingin ku lepas semua

Setan dalam hati ikut bicara
Bagaimana kalo ku selingkuh saja
Ku punya banyak temen lelaki
Sepertinya ku kan bahagia

Mestinya kau cari pengganti diriku saja
Karena kita sudah tak saling bicara
Pastikan cerita tentang kita yang tlah lalu
Hanya ada dalam ingatan hatimu

Maafkan aku jika kau kecewa
Cintamu bukanlah untuk diriku
Jika memang semuakan jadi cerita
Kutahu kau semakin terluka



Rossa - Pudar (2009)

***
Hasil gambar untuk rossa pudar 


Lagu hits di tahun 2009-an yang dinyanyikan oleh Rossa ini punya banyak kenangan banget. Jaman itu, anak-anak kecil menyanyikan lagu ini agar bisa meniru para audisi pencari bakat "Idola Cilik". Aku dan teman-temanku salah satu yang menyukai lagu. Lagu andalan, kata teman-temanku. Padahal dulu, para finalis tidak pernah menyanyikan lagu ini.

Dulu aku dan teman-teman tidak mengerti maksud lagu ini. Karena waktu itu kami baru kelas 5 Sekolah Dasar. Hanya bernyanyi tanpa mengerti maksud lagu tersebut, haha. Dengan wajah bahagia dan meniru gaya centil seperti penyanyi aslinya di lapangan dekat rumah

Kami baru mengerti maksud lagunya saat tidak sengaja mendengar kembali di sebuah stasiun radio saat SMP kelas 9, dan saat mendengar lagu tersebut, otomatis tawa kami pecah. Membayangkan betapa polosnya kami bernyanyi tanpa mengerti maksudnya. Mungkin dulu, orang-orang dewasa yang mendengar kami bernyanyi langsung geleng-geleng kepala, kasihan melihat anak-anak kecil sudah menyanyikan lagu orang dewasa. Padahal sejujurnya kami benar-benar tidak mengerti maksud lagu tersebut.

Lagu pudar diawali dengan musik yang semangat. Membuat siapa saja yang tahu lagu ini, pasti akan semangat bernyanyi. Musiknya yang ngebeat, dan lagunya yang easy listening membuat mudah dihafal. Dulu saat aku dan teman-temanku melewati lapak CD bajakan di pasar dan mendengar lagu ini, otomatis akan langsung bersenandung sendiri. Dan tanpa sadar langsung mengerubungi abang penjual CD untuk sekadar melihat video clipnya, haha.

Pokoknya lagu Rossa - Pudar ini benar-benar hits waktu itu. Di daerah rumahku, lagu ini yang membuat kami 'dekat', membuat kami menjadi teman dan akhirnya bermain bersama hanya karena sama-sama hafal. Entah kenapa seperti itu.

Oh iya, untuk Song #Rewind lainnya akan aku upload kalau aku ingat lagu apa yang berkesan lagi. Tunggu lanjutannya!^^


Salam Generasi 90an!
Continue reading #Rewind Pudar - Rossa
,

Malaikat Juga Tahu

Dentingan elektrokardiograf berdetak statis di ruang ICU. Seorang wanita setengah abad masih menutup matanya diatas ranjang putih ruangan itu. Kabel-kabel mesin rumah sakit terhampar disekitarnya. Wajah teduhnya membuat siapapun tidak percaya kalau ia sedang terbaring koma selama satu bulan penuh.


Di luar ruangan, seorang wanita berpakaian kasual tampak pucat mendengar perkataan dokter. Ia menghela nafas panjang, dan terhuyung. Sebelum benar-benar terjatuh, suster memegang lengannya. Setelah duduk di kursi rumah sakit yang dingin, ia menangis sendirian. "Ibu, Ibu" ucapnya lirih sambil terus menangis sesenggukan.



***

Lelahmu jadi lelahku juga
Bahagiamu bahagiaku pasti

Source: Pinterest
Seorang anak kecil berseragam SD berlari dengan mata berkaca-kaca. Sambil memeluk tas dan mengusap matanya agar tidak mengeluarkan air mata "Ibuu..." teriaknya setelah sampai rumah. Seorang wanita berwajah teduh segera keluar dari kamar setelah menghapus air mata di wajahnya. Ia tersenyum menenangkan, “Ada apa, Aruna sayang?” ujarnya sambil mengelus lembut kepala anaknya. Aruna menangis, air matanya yang sejak tadi ditahannya tumpah di hadapan Ibunya.

“Ibuu.. Aruna gak mau sekolah lagi. Kata Bobi, baju Aruna jelek, gak kayak punyanya Bobi.” ceritanya sambil tetap menangis.

Ibunya tersenyum kecil, lalu menjajajarkan wajahnya di depan Aruna. “Memangnya baju Bobi seperti apa, Sayang?” tanya Ibunya lembut.

Aruna berhenti dari tangisnya, “Baju Bobi bagus, Bu. Warnanya putih, seperti susu yang setiap pagi Aruna minum. Di kantong bajunya juga ada foto dua anak SD yang sedang tersenyum.” Ia berhenti sebentar, “Terus sepatunya hitam, bersih sekali. Tadinya Aruna mau memuji Bobi, tapi untungnya tidak jadi karena Bobi jahat.” lanjut Aruna. Tangisnya yang tadi sudah hilang, berganti semangatnya menceritakan seragam sekolah Bobi, teman sekolahnya.

“Ibu, kapan Aruna bisa pakai baju yang bagus seperti Bobi?” tanya anak itu setelah selesai bercerita. Ia mendekati Ibunya yang sedang bersiap-siap untuk bekerja.

“Makanya doakan Ibu, sayang. Semoga bisa beli baju seperti Bobi.” ujar Ibunya. Aruna tersenyum riang. “Sekarang Ibu mau berangkat kerja dulu, kamu jangan lupa makan siang, baru boleh main.” lanjutnya.

Aruna tersenyum senang. Rambutnya yang panjang basah oleh keringatnya. Ashar berkumandang dari Masjid di dekat rumahnya. Ia berlari-lari menuju rumah untuk mandi, lalu ikut Shalat berjamaah bersama teman-temannya. Dengan semangat, Aruna mengajak mereka untuk ikut mengaji setelah Ashar.

Pukul lima sore, Ibu Aruna pulang. Ia membawa satu kantong plastik. “Runa, sini sayang” panggilnya lembut. Aruna keluar dari kamarnya, lalu menyalimi Ibunya.

“Itu apa, Bu?” tanyanya penasaran.

Ibunya tersenyum, “Buka saja, sayang” ujarnya kemudian.

Terburu-buru, Aruna membuka kantong plastik itu. Ia menjerit senang “Baju baruku!” Sambil mematut diri di depan cermin ia berkata, “Baju baruku, seputih susu yang biasa aku minum. Terima kasih, Ibu” ujarnya sambil mencium pipi Ibunya.

Wanita berwajah teduh itu tersenyum bahagia. Lelahnya bekerja terbayar oleh senyuman Aruna yang riang. Ia menyanggupi mengerjakan lima ember besar cucian dengan imbalan tiga kali dari upahnya sehari. Dan hasilnya, sepanjang malam ia hanya bisa terbaring di ranjang ditemani sebotol balsam yang dibaluri di seluruh sendinya.

***

“Ibu, ini Aruna, Bu. Aruna pulang. Aruna kangen sama masakan Ibu” ujar wanita itu. “Aruna mau ajak Ibu ke wisuda Aruna, seperti yang Ibu harap selama ini.” tambahnya. Ia menggenggam tangan Ibunya lembut. Lalu menjatuhkan wajahnya di kasur Ibunya, menangis sesenggukan.

***

Berbagi takdir kita selalu
Kecuali tiap kau jatuh hati

“Kamu mau kemana, Runa?” ujar Ibunya saat ia melihat Aruna membuka pintu rumah. Waktu sudah menunjukkan hampir pukul delapan malam.

“Mau pergi ke rumah teman, Bu. Dia ulang tahun hari ini.” ujarnya dengan wajah bahagia. Aruna terlihat menjinjing sebuah tas selempang berwarna biru tua.

“Pulang jam berapa?” tanya Ibunya lagi. Cemas menghantui pikiran wanita itu.

Aruna menghela nafas. “Aruna belum sejengkalpun meninggalkan rumah, Bu. Kok ibu sudah bertanya pulang?” Ia terkekeh sebentar. “Mungkin jam sebelas malam, Bu.”

Ibunya bergidik. Sebelas malam? Bukankah itu terlalu malam untuk seorang gadis tujuh belas tahun pulang dari kunjungannya ke rumah orang lain? “Kau berangkat dengan siapa?” tanyanya lagi

“Runa bareng sama Dina kok, Bu. Nanti pulangnya juga bareng sama dia.” Ujarnya sambil tersenyum. “Ibu tenang saja, Runa gak akan jadi anak nakal.” Ia mencium pipi Ibunya, lalu mencium tangan Ibunya. “Runa berangkat, Assalamu’alaikum, Bu” ujarnya sambil melambai pada Ibunya.

“Hati-hati di jalan, sayang” teriak Ibunya mengingatkan. “Wa’alaikumussallam.” tambahnya lirih, sambil berdoa semoga anaknya baik-baik saja.

Jam tua di rumah Aruna berdentang kencang. Pukul dua belas malam tepat. Sedangkan Aruna belum pulang dari ulang tahun temannya. Ibunya menunggu cemas di halaman, sambil menunduk berdoa. Suara deruman motor di depan pagar membuatnya menoleh. Aruna pulang. Rasa khawatirnya hilang, berganti rasa syukur.

Setelah melambai pada orang yang mengantarnya, Aruna berlari ke arah Ibunya. “Assalamu’alaikum, Bu. Maaf Aruna telat pulangnya. Ternyata acaranya baru selesai pukul setengah dua belas tadi. Dan saat Aruna mau pulang sudah tidak ada Dina disana, bahkan angkutan umum sudah tidak ada. Untungnya tadi Kemi mau mengantarku pulang.” cerita Aruna sebelum Ibunya sempat bertanya.

“Kemi?” tanya Ibunya.

“Iya, Kemi. Dia orang yang ulang tahun tadi, Bu. Untung dia mau mengantarku.”

Ibunya memicing, “Kemi laki-laki?” tanyanya lagi.

Aruna tertawa, “Iya, Ibu. Masa perempuan namanya Kemi?” Ibunya hanya mengangguk paham.

Setelah Aruna masuk, ia duduk di kursi. Dua kali sudah ia menemukan nama Kemi hari ini. Pertama saat ia melihat sebuah Koran yang sedang dibaca pemilik baju yang tadi ia cuci, tertulis nama Kemi disana. Sekarang yang mengantar anaknya adalah Kemi. Siapa laki-laki itu? Ibunya menghela nafas, sedikit kecewa karena ada yang tidak ia ketahui dari anaknya.

***

“Ibu ingat Kemi? Dia sekarang sudah punya anak dari wanita yang dia tiduri dulu.” Aruna memejamkan matanya. Menghalau rasa kecewanya. “Anaknya laki-laki, tampan seperti Kemi, namanya Mars. Tapi semoga kelakuannya tidak seperti Kemi ya, Bu.” Ia tersenyum. Hening sejenak. Hanya ada suara dari elektrokardiograf yang masih statis. Kemudian ia melanjutkan ceritanya, “Aku bersyukur Ibu tidak mengijinkanku keluar malam untuk kedua kalinya waktu itu. Kalau tidak, mungkin yang dia tiduri bukan wanita itu, tapi aku.” Matanya kembali berkaca-kaca, “Maafkan aku, Bu. Karena kebodohanku, aku meneriaki Ibu hal yang sangat tidak pantas untuk diucapkan oleh seorang anak perempuan.” Tak sanggup menahan air matanya, lagi-lagi Aruna menangis.

***

Kali ini hampir habis dayaku
Membuktikan padamu ada cinta yang nyata
Setia hadir setiap hari
Tak tega biarkan kau sendiri
Meski seringkali kau malah asyik sendiri

“Kemi yang mengantarmu waktu itu sama dengan yang menjemputmu sekarang, sayang?” ujar Ibunya cemas melihat anaknya yang telah berpakaian rapi.

Aruna menoleh sebentar, “Iya, Bu.” Ia kembali mengenakan sepatunya. “Kenapa memangnya?” tambah Aruna lagi.

Jam delapan malam. Sejak bertemu dengan laki-laki yang bernama Kemi, Aruna jadi sering keluar pukul delapan malam. Dan pulang pukul sebelas malam, bahkan lebih. Ia mulai khawatir pada anaknya. “Sebenarnya kalian malam-malam begini kemana sih?” tanyanya.

Aruna berhenti sejenak, “Ibu, bukankah Aruna sudah bilang kalau Aruna mau kerja? Biar Ibu gak perlu lagi mencuci di rumah-rumah itu.”

“Tapi ini sudah malam, sayang. Kamu disana kerjanya apa? Ibu gak enak ditanya sama Ibu RT terus, mereka kira kamu kerja yang macam-macam.”

Aruna tidak menjawab. Suara mesin motor milik Kemi mulai terdengar. Aruna mulai bersiap untuk pergi menemuinya. Firasat Ibunya semakin buruk mendengar suara motor milik Kemi. Dia tahu ada sesuatu yang buruk akan terjadi malam ini. Penampilan Kemi yang asal-asalan terlihat dari kaca jendela menambah kecemasannya.

“Sayang, untuk malam ini kamu tidak usah keluar dulu ya. Perasaan Ibu gak enak dengan laki-laki itu.” Ujar Ibunya saat Aruna sudah memegang kenop pintu.

“Ibu gimana sih? Aruna kan sudah janji sama Kemi. Lagipula Runa sudah rapi, tinggal berangkat.” Ujar Runa sedikit kesal.

“Jangan, sayang. Tolong, kali ini saja jangan pergi. Perasaan Ibu tidak pernah secemas ini.”

Wajah Runa memerah, “Pokoknya Runa tetap berangkat. Kemi sudah datang jemput Runa, kasihan kan dia!” ucap Aruna, membentak ibunya.

Emosi Ibunya memuncak, antara perasaan cemas dan marah menjadi satu, ia mendorong Aruna ke kamarnya lalu mengunci pintunya. Aruna berteriak-teriak dari kamarnya. Menangis sambil menyumpahi Ibunya dengan kalimat-kalimat kotor yang ia dengarkan di tempat kerjanya.

Ibunya keluar rumah, mendatangi orang yang akan menjemput anaknya. Di depan Kemi, ia berusaha bersikap biasa saja. Dengan alasan sakit, Aruna tidak jadi dibawa oleh Kemi. Ibunya tahu, laki-laki itu tidak baik untuk Aruna. Dari jarak satu meter saja ia mencium bau alkohol yang menyengat dari Kemi. Dan di tasnya terlihat dua botol berwarna hijau dengan logo bintang. Dia tahu, keputusannya untuk Aruna benar.

Sementara di dalam kamar, Aruna masih menangis dan kembali berteriak kesal saat mendengar Ibunya masuk rumah. Dengan kesal ia memaksakan untuk tidur. Untuknya tidur adalah obat segala penyakit.

Kini ia menyesal telah mengatakan hal buruk di depan Ibunya. Setelah ia tahu pada malam Ibunya tidak mengijinkan ia untuk ikut dengan Kemi, Kemi benar-benar mabuk dan meniduri salah satu wanita yang menemaninya di bar malam itu.

Ia baru sadar Ibunya telah lebih dulu tahu berita tentang Kemi. Sebelum sempat ia meminta maaf pada Ibunya, kabar mengejutkan menghantuinya. Ibunya dilarikan rumah sakit karena terkena serangan jantung, dan hingga kini belum bangun dari masa komanya.

***

Hampamu takkan hilang semalam oleh pacar impian
Tetapi kesempatan untukku yang mungkin tak sempurna
Tapi siap untuk diuji
Ku percaya diri cintakulah yang sejati

Aruna, anaknya yang sedang jatuh cinta pada seorang laki-laki bernama Kemi membuatnya cemas. Tadi siang setelah ia melihat selembar Koran yang dibaca oleh tukang parkir di pasar ia tahu, Kemi bukan orang yang tepat untuk anaknya. Seorang laki-laki yang penuh kebohongan itu telah menipu anaknya.

Malamnya, Aruna terlihat akan pergi bekerja dengan laki-laki itu. Ia tahu anaknya bekerja di bar sebagai pengantar minuman. Anaknya tidak pernah minum alkohol, dan merokok. Tapi tetap saja, membayangkan anaknya menggunakan seragam pelayan membuatnya bergidik. Jadi malam itu ia melarang Aruna untuk pergi, dan menguncinya di kamar. Ia tahu keputusannya untuk Aruna malam itu tak salah. Tapi keputusannya itu membuat Aruna menjauh. Ia tak lagi bercerita tentang hari-harinya lagi. Tak bertanya apa yang sedang dimasak Ibunya setiap hari. Tak lagi peduli pada Ibunya.

Padahal saat itu, ia membutuhkan seseorang untuk mengusir rasa lelahnya bekerja. Mengusir rasa was-wasnya akan penyakit asmanya yang selalu kumat saat ia bekerja keras. Setiap pulang, tak lagi ia melihat senyuman riang anaknya yang menunggunya pulang. Lalu bercerita bagaimana ia memulai hari dengan bekerja di sebuah restoran.

Hingga puncaknya, sore hari ia merasakan sesak pada dadanya. Rasanya seperti tercekik sesuatu dengan sangat kuat. Ia terjatuh di kamar mandi rumah pemilik baju-baju yang dicucinya. Sepuluh menit kemudian ia baru dilarikan ke rumah sakit, karena baru diketahui oleh sang pemilik rumah tersebut.

***

Minggu ketiga setelah ibunya terjatuh di kamar mandi, sarapan dan bercerita di depan Ibunya yang sedang sakit menjadi aktifitasnya setiap pagi. Tetapi pagi ini berbeda. Ia membawa 2 album foto dari rumah. Hari Minggu, ia akan kembali mengingat foto-foto masa kecilnya. Kenangan yang sempat ia lupakan beberapa tahun terakhir.

Di album pertama ia membukanya tertulis sebuah paragraf buatan Ibunya:

Sourc: Brooke Smart Illustration
Kenangan hanya tergambar dalam album ini, tetapi dalam pikiranku ia tetap bersemi. Berjalan seolah aku tetap berada di dalamnya. Foto hanya bisa terbaca, dirasakan sesuai dengan ekspresi yang ada. Tapi dalam pikiranku, ia terkenang, tetap berdenyut, tetap kupertahankan rasanya, meski kutahu beberapa hal ada yang terlewat.

Ia tersenyum, Ibunya adalah orang paling romantis. Menyukai benda-benda romantis, juga menyukai sastra. Dia selalu jatuh cinta pada setiap goresan yang dibuatnya. Lembar berikutnya membuat Aruna tersenyum lebih lebar. Foto sepasang pengantin, dengan gaun putih yang serasi terpajang cantik di album. Itu foto Ayah dan Ibunya. Di bawahnya tertulis, “Bukankah Tuhan benar-benar pencipta yang ‘Maha’? Selalu menciptakan semua hal secara berpasangan, seperti Dia menciptakan kita.

Lembar demi lembar aku lewati, album ini hanya berisi Ayah dan Ibunya. Tentang cinta mereka, tentang perjalanan mereka, dan tentang kebahagiaan mereka. Lembaran terakhir album ini terlihat sedikit kusam. Dari tintanya, aku tahu bahwa tulisan itu ditulis baru beberapa tahun lalu.

Sampai saat ini, pertanyaan kita tentang waktu belum aku temukan jawabannya. Bahkan setelah waktu membawamu pergi meninggalkanku lebih dahulu.

Sebenarnya apakah waktu itu? Apa semacam lingkaran yang tak terputus? Atau semacam garis yang terus terbentuk?

Aku tak suka waktu saat kau meninggalkanku. Tapi aku menyukai waktu saat aku mengenalmu. Aku tak suka waktu saat kau tak disisiku. Tapi aku menyukai waktu saat aku bertemu denganmu.

Mengapa harus ada waktu? Jika lama kejadian yang aku rasakan berbeda dengan yang kau rasakan?

Ia menutup album tersebut, dan membuka album yang lainnya. Album kedua sepertinya adalah album tentangnya. Dihalaman pertama tertulis kalimat yang sangat ia dan ibunya sukai.

Mungkin kau tak melihat, terkadang malaikat
Tak bersayap, tak cemerlang, tak rupawan
Namun kasih ini silakan kau adu
Malaikat juga tahu
Siapa yang jadi juaranya

ARUNA AL-ISLAMI, MALAIKAT KECILKU, SEMANGATKU, BUAH HATIKU.


Mata Aruna kembali berkaca-kaca. Ia tahu, bagi Ibunya ia adalah malaikatnya. Ibunya tak pernah marah padanya, dan Kemi adalah kemarahan pertamanya. Bahkan saat pertama kali ia pulang malam, Ibunya hanya mengingatkan, tanpa memarahinya. Ia tahu kemarahan Ibunya bukan tanpa sebab. Bahkan Ibunya yang belum pernah melihat Kemi sudah tahu bagaimana Kemi.

Ia membuka lembar demi lembar. Tetap dengan air mata yang ia tahan. Ia rindu Ibunya. Tiga minggu bukan waktu yang sebentar. Ia rindu masakan ibunya, senyum ibunya saat ia memulai hari, pelukan ibunya menjelang tidurnya. Ia rindu. Benar-benar rindu. Album foto ini membuatnya tersenyum sekaligus menangis.

Di foto terakhir, saat ia sedang ulang tahun ke tujuh belas. Ibunya membawakan kue tart dari toko kesukaannya serta membelikannya sebuah smartphone canggih yang ia pakai hingga saat ini. Ia tahu ibunya telah menabung sejak enam bulan yang lalu untuk membelikannya smartphone. Ia tersenyum. “Karena kamu adalah malaikat. Yang tak bersayap, tapi bersinar. Selamat ulang tahun yang ke tujuh belas, Aruna sayang. Ibu mencintaimu!” tulis ibunya di album itu. Aruna mengusap matanya yang terasa basah. Lagi-lagi, air matanya itu tak mau berhenti.

***

Kau selalu meminta terus ku temani
Engkau selalu bercanda andai wajahku diganti
Relakan ku pergi karena tak sanggup sendiri

Aruna menghela nafas saat masuk kamar Ibunya, sudah dua bulan sejak kejadian itu Ibunya belum bangun juga. “Ibu, aku datang.” Ujarnya menyapa Ibu. Ia menarik kursi yang ada di samping ranjang, lalu duduk disana. “Tadi pagi aku beli bubur di Mang Ahyat loh, Bu. Bubur kesukaan Ibu. Mang Ahyat tanya kabar Ibu. Tapi seperti biasa dia masih kecewa dengan jawabanku.”

Aruna menggenggam tangan Ibunya. Ia baru sadar kalau tangan Ibunya terasa kasar. Sambil mengusap telapak tangan Ibunya ia berkata, “Dulu kata Ibu, Runa gak boleh mencuci biar tangan Runa sehalus Mbak-mbak cantik di bank waktu itu. Dulu Runa gak ngerti, kenapa gak boleh mencuci? Padahal Runa suka kalo bantu Ibu. Tapi Ibu bilang, kalo tangan Runa bakal jadi kasar kalo tetap mencuci. “ ujarnya lemah. “Tapi sekarang Runa paham kenapa Ibu gak bolehin Runa mencuci. Tangan Runa jadi halus, Bu. Tapi tangan Ibu jadi kasar. banyak kapal-kapalnya. Ya kan, Bu?” ujarnya sambil tertawa hambar.

“Maafin Runa ya, Bu. Dulu pernah berandai kalau ibu Runa itu Mbak-mbak cantik penjaga bank itu. Pasti Runa gak akan sejelek ini. Padahal kalau ibu Runa mbak-mbak itu, Runa pasti jadi sombong sekarang, seperti anak mbak-mbak cantik itu.” ia tersenyum sambil menggenggam tangan ibunya. “Runa gak tahu kalau kalimat itu bikin ibu menangis. Runa kira, ibu gak mau punya anak kayak Runa, yang gak cantik. Runa sampai marah sama ibu selama dua hari. Tapi ibu dengan baiknya malah meluk Runa, bilang kalau Runa anak yang baik, anak ibu yang paling cantik. Ibu selalu bisa bikin Runa bahagia. Tapi Runa selalu bikin ibu sedih. Maafin Runa ya, Bu.” 

***

Pagi yang cerah dihari ke enam puluh lima ibunya Runa di rumah sakit. Seperti biasa, ia selalu sarapan di rumah sakit. Bercerita seolah ibunya akan tertawa atau sekadar tersenyum membalasnya. Ia mulai terbiasa. Ia telah diterima kerja di sebuah perusahaan elite sebulan yang lalu. Berkat kerja kerasnya, ia diangkat oleh manager perusahaan menjadi asisten. Setiap pukul tujuh ia sudah harus berangkat, dan baru kembali pukul delapan malam. Tapi ia sadar, kesehatan ibunyalah semangatnya. Ia bekerja keras agar ibunya bisa merasakan kerja kerasnya saatu bangun nanti.

Suara elektrokardiograf berbunyi statis. Matahari bersinar samar pukul tiga sore ini. Dokter yang memeriksa ibu Aruna sedang mengecek denyut jantungnya. Tiba-tiba jari tangan ibu Aruna bergerak pelan. Suster yang menjadi asisten dokter tersebut memekik pelan. Sore itu, menjadi sore paling menegangkan bagi Aruna. Ia tidak tahu, Ibunya diambang kehidupan.

***

Namun kau tak lihat terkadang malaikat
Tak bersayap, tak cemerlang, tak rupawan
Namun kasih ini silakan kau adu
Malaikat juga tahu
Aku yang jadi juaranya

Suara lembut Dewi Lestari mengalun di kamar Aruna. Ia menangis, teringat ibunya setiap mendengarkan lagu itu. Ia ingat penyesalannya saat tidak bisa menemani ibunya yang sedang kritis. Berjuang hidup dan mati sendirian.

Seorang suster meneleponnya pukul enam sore, mengabarkan kondisi ibunya. Tetapi ia tidak diizinkan pergi oleh atasannya sebelum pekerjaannya selesai. Ia telah mengemis meminta izin, tetap tidak didapatkannya. Jadi ia menyelesaikan pekerjaanya sambil menangis, menahan kekesalan dan rasa menyesal pada Ibunya. Hingga pukul tujuh akhirnya ia dibolehkan meninggalkan gedung, setelah sang atasan melihat ia hanya menangis tanpa menyelesaikan pekerjaannya.

Sampai di ruangan ICU, ia bertanya pada suster yang hilir mudik di depannya. Sambil menangis, ia panik. Hingga seorang laki-laki dengan pakaian dokter mendatanginya dan menyuruhnya untuk tenang. Aruna hanya menangis, ia tak tahu apa yang ibunya perjuangkan di dalam, tapi ia berdoa semoga ibunya baik-baik saja.

Setengah jam kemudian, dokter keluar dari ruang ICU. Wajahnya kuyu, seperti kelelahan. Dua orang suster dibelakangnya mengikuti dengan wajah tertunduk.

“Maafkan kami, Dik. Kami telah berusaha semaksimal mungkin, tapi Tuhan berkehendak lain. Nyonya Nur telah meninggalkan kita malam ini.” ujar dokter tersebut dengan wajah menyesal.

Aruni diam, mematung menatap dokter dengan wajah kosong. Ia kembali duduk di kursi rumah sakit, lalu tertawa kecil. “Dokter, kalau bercanda jangan berlebihan dong. Biarkan saya masuk, pasti Ibu yang menyuruh dokter untuk berkata seperti itu kan?” ujarnya.

Dua orang suster di belakang dokter tersebut saling menatap, “maafkan kami. Tapi kami tidak sedang bercanda untuk masalah seperti ini.” ucap seorang suster. Suster lainnya mengangguk mengiyakan kalimat tersebut.

Aruna kembali terdiam. Ia merasa jantungnya membeku waktu itu. Tangannya dingin. Ia menggenggam tangannya sendiri sambil terpejam. Kini telinganya berdenging sangat kencang, seketika itu pula ia tidak sadarkan diri.

Saat ia bangun satu jam kemudian, sekeliling tempat tidurnya banyak tetangga-tetangganya yang datang. Seorang lelaki paruh baya terlihat mendekat, “Yang sabar ya, Run. Ibumu telah dipanggil Allah duluan. Allah sayang sama dia, Run.” Ujarnya sambil mengelus kepala Aruna.

Lagi-lagi Aruna hanya diam. Otaknya seolah berhenti bekerja untuk saat itu. Hingga pemakaman Ibunya selesai ia tak mengeluarkan air mata sama sekali. Orang-orang menatapnya kasihan. Ia cuti dari pekerjaannya selama seminggu. Dan dalam seminggu itu ia tak pernah keluar kamar. Ia hanya berbaring di kasur tanpa berbicara apapun. Memandang langit-langit kamarnya yang berwarna biru dengan tatapan kosong. Ia tak menjawab pertanyaan siapapun. Bahkan saat ia mau makan sekali saja, tetangganya sudah sangat bersyukur. Wajahnya pucat, dengan kantung mata tebal berwarna hitam membuatnya sedikit lebih tua. Rambutnya yang panjang terlihat acak-acakan. Otaknya masih belum bisa menerima keadaan apapun.

Hingga puncaknya saat ia mendengarkan lagu Dewi Lestari yang diputarkan radio tetangganya di sore hari. Ia menangis. Tersedu hingga nafasnya terasa sesak. Ia berteriak histeris. Tetangga-tetangganya berkerumun di rumahnya. Laki-laki paruh baya kemarin mengunci tangannya agar ia tidak menyakiti diri sendiri, sedangkan istrinya terlihat memeluk Aruna, menenangkan. Semua orang menatapnya dengan kasihan. Ia akhirnya menangis kembali. Tersedu sendirian. Mengingat ibunya telah meninggalkannya dengan cara menyesakkan.

Namun kau tak lihat terkadang malaikat
Tak bersayap, tak cemerlang, tak rupawan
Namun kasih ini silakan kau adu
Malaikat juga tahu



Aku yang jadi juaranya


Lagu yang dinyanyikan Dewi Lestari telah berhenti sejak tadi. Aruna tersenyum kecil, di sela tangisnya. Satu hal yang ia tahu, ia tetap menjadi malaikat bagi ibunya. Dan ia tahu pasti, Ibunya tetap menjadi malaikat tanpa sayapnya. Yang dengan senyumnya saja sudah meluluhkan seluruh emosi, yang dengan peluknya saja memberinya ketenangan, yang dengan masakannya saja membuatnya lupa akan kekesalannya.



Ia tahu, ibunya adalah malaikat tanpa sayapnya, yang selalu menjadi juara di hatinya.
Continue reading Malaikat Juga Tahu

Rabu, 15 Juni 2016

Toleransi, membaur tanpa melebur

Akhir-akhir ini saya lihat banyak yang media-media yang mengangkat tema 'Toleransi'. Entah itu bersangkutan dengan kepercayaan, maupun budaya. Tapi sebenarnya apa sih arti toleransi itu sendiri?

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Toleransi adalah batas ukur untuk penambahan atau pengurangan yg masih diperbolehkan; penyimpangan yg masih dapat diterima dl pengukuran kerja; bersikap toleran; mendiamkan; membiarkan.

Sedangkan menurut wikipedia adalah Toleransi adalah membiarkan orang lain berpendapat lain, melakukan hal yang tidak sependapat dengan kita, tanpa kita ganggu ataupun intimidasi.

Continue reading Toleransi, membaur tanpa melebur

Kamis, 02 Juni 2016

#Rewind Newbie Blogger

Assalamu'alaikum Wr. Wb.



Apa kabar semuanyaa? Kalau bisa baca postinganku ini, berarti kalian sedang sehat dan selalu diberi kesehatan oleh Allah^^ Aamiin

Gak terasa sudah hampir 2 tahun yang lalu aku nge-blog tentang puasa Ramadhan, tepatnya saat aku masih kelas 1 SMK. Jadi selama dua tahun ini aku belum benar-benar memberikan manfaat pada siapapun dengan blog ini, bahkan aku belum tahu apa tujuan blog ini aku buat. Hehe, maafkeun, teman-teman.

Awalnya aku buat blog ini buat gaya-gayaan aja sih. Biar disangka anak gaul gitu punya blog, dan waktu itu emang lagi jaman banget punya media sosial terutama yang bisa dijadikan buku diary! Kalau gak salah sekitar Januari 2013 aku mulai membuka blog dengan nama 'manzilarezpect' lalalala baiklah, aku tahu itu alay.

Tahun itu aku belum mengerti banget tentang blog dan maksud pembuatan dari blog tersebut. Jadi ya dipakai kalo lagi inget dan mau ke warnet aja sih, hehe. Tapi gak lama kemudian aku dapet tugas dari guru bahasa Indonesia untuk membuat makalah tentang apapun tetapi dengan dua sumber. Karena lagi 'kesemsem' dengan blog, ya jadinya aku beli 2 buku tentang blog. Buku pertama judulnya Belajar membuat Blog, dan yang satu lagi dengan konyolnya aku salah membaca judul. Bukan kata 'blog' tapi 'block' dan parahnnya lagi aku sadar saat sudah sampai di rumah. Baiklah, ini akan jadi masalah, pikirku waktu itu.

Buku tentang blog-ku hanya satu untuk dijadikan referensi makalah, dan itu adalah sumber masalah. Bahkan dua buku adalah batas minimal, tetapi aku hanya membeli satu yang benar-benar cocok untuk makalahku.

"Selesai pelajaran bahasa kau, jangankan dua. Satu saja kau sudah keliling toko buku untuk mencarinya", ucapku waktu itu.

Satu minggu menuju hari pengumpulan, aku belum merasakan apapun. Masih berkutat dengan banyaknya teori di sana-sini. Cara mengubah tampilan, mengganti html, pasang widget, foto profil, dll membuatku pusing sendiri. Dan kuputuskan membuat makalah saat 3 hari sebelum pengumpulan. Karena biasanya, menuju hari-hari eksekusi ide sangat mudah dicari, atau the power of kepepet (julukanku).

Tiga hari menuju hari eksekusi, aku malah benar-benar lupa akan tugasku. Dan akhirnya aku benar-benar melakukannya dengan penuh keburu-buruan dan ide cemerlang yang tak kutemukan hari sebelumnya. Dengan liciknya aku menambang sumber lain yang sudah pasti akurat, yaitu buku TIK sekolahku dulu. Haha. Dan untungnya nilaiku tidak terlalu buruk untuk ukuran makalah yang 'kepepet'. Mungkin guruku hanya menilai dari isi, tanpa membaca referensinya. Entahlah.

Begitulah, awal aku belajar tentang Blogspot. Awalnya hanya gaya, tapi lama-lama boleh juga jadi diary elektronik. Bukan untuk semua perasaan sih, tapi untuk semua pengalaman yang bisa dituangkan dan dijadikan ide kreatif lain.





Salam Kreatif!
Continue reading #Rewind Newbie Blogger