Sabtu, 06 Agustus 2016

,

Malaikat Juga Tahu

Dentingan elektrokardiograf berdetak statis di ruang ICU. Seorang wanita setengah abad masih menutup matanya diatas ranjang putih ruangan itu. Kabel-kabel mesin rumah sakit terhampar disekitarnya. Wajah teduhnya membuat siapapun tidak percaya kalau ia sedang terbaring koma selama satu bulan penuh.


Di luar ruangan, seorang wanita berpakaian kasual tampak pucat mendengar perkataan dokter. Ia menghela nafas panjang, dan terhuyung. Sebelum benar-benar terjatuh, suster memegang lengannya. Setelah duduk di kursi rumah sakit yang dingin, ia menangis sendirian. "Ibu, Ibu" ucapnya lirih sambil terus menangis sesenggukan.



***

Lelahmu jadi lelahku juga
Bahagiamu bahagiaku pasti

Source: Pinterest
Seorang anak kecil berseragam SD berlari dengan mata berkaca-kaca. Sambil memeluk tas dan mengusap matanya agar tidak mengeluarkan air mata "Ibuu..." teriaknya setelah sampai rumah. Seorang wanita berwajah teduh segera keluar dari kamar setelah menghapus air mata di wajahnya. Ia tersenyum menenangkan, “Ada apa, Aruna sayang?” ujarnya sambil mengelus lembut kepala anaknya. Aruna menangis, air matanya yang sejak tadi ditahannya tumpah di hadapan Ibunya.

“Ibuu.. Aruna gak mau sekolah lagi. Kata Bobi, baju Aruna jelek, gak kayak punyanya Bobi.” ceritanya sambil tetap menangis.

Ibunya tersenyum kecil, lalu menjajajarkan wajahnya di depan Aruna. “Memangnya baju Bobi seperti apa, Sayang?” tanya Ibunya lembut.

Aruna berhenti dari tangisnya, “Baju Bobi bagus, Bu. Warnanya putih, seperti susu yang setiap pagi Aruna minum. Di kantong bajunya juga ada foto dua anak SD yang sedang tersenyum.” Ia berhenti sebentar, “Terus sepatunya hitam, bersih sekali. Tadinya Aruna mau memuji Bobi, tapi untungnya tidak jadi karena Bobi jahat.” lanjut Aruna. Tangisnya yang tadi sudah hilang, berganti semangatnya menceritakan seragam sekolah Bobi, teman sekolahnya.

“Ibu, kapan Aruna bisa pakai baju yang bagus seperti Bobi?” tanya anak itu setelah selesai bercerita. Ia mendekati Ibunya yang sedang bersiap-siap untuk bekerja.

“Makanya doakan Ibu, sayang. Semoga bisa beli baju seperti Bobi.” ujar Ibunya. Aruna tersenyum riang. “Sekarang Ibu mau berangkat kerja dulu, kamu jangan lupa makan siang, baru boleh main.” lanjutnya.

Aruna tersenyum senang. Rambutnya yang panjang basah oleh keringatnya. Ashar berkumandang dari Masjid di dekat rumahnya. Ia berlari-lari menuju rumah untuk mandi, lalu ikut Shalat berjamaah bersama teman-temannya. Dengan semangat, Aruna mengajak mereka untuk ikut mengaji setelah Ashar.

Pukul lima sore, Ibu Aruna pulang. Ia membawa satu kantong plastik. “Runa, sini sayang” panggilnya lembut. Aruna keluar dari kamarnya, lalu menyalimi Ibunya.

“Itu apa, Bu?” tanyanya penasaran.

Ibunya tersenyum, “Buka saja, sayang” ujarnya kemudian.

Terburu-buru, Aruna membuka kantong plastik itu. Ia menjerit senang “Baju baruku!” Sambil mematut diri di depan cermin ia berkata, “Baju baruku, seputih susu yang biasa aku minum. Terima kasih, Ibu” ujarnya sambil mencium pipi Ibunya.

Wanita berwajah teduh itu tersenyum bahagia. Lelahnya bekerja terbayar oleh senyuman Aruna yang riang. Ia menyanggupi mengerjakan lima ember besar cucian dengan imbalan tiga kali dari upahnya sehari. Dan hasilnya, sepanjang malam ia hanya bisa terbaring di ranjang ditemani sebotol balsam yang dibaluri di seluruh sendinya.

***

“Ibu, ini Aruna, Bu. Aruna pulang. Aruna kangen sama masakan Ibu” ujar wanita itu. “Aruna mau ajak Ibu ke wisuda Aruna, seperti yang Ibu harap selama ini.” tambahnya. Ia menggenggam tangan Ibunya lembut. Lalu menjatuhkan wajahnya di kasur Ibunya, menangis sesenggukan.

***

Berbagi takdir kita selalu
Kecuali tiap kau jatuh hati

“Kamu mau kemana, Runa?” ujar Ibunya saat ia melihat Aruna membuka pintu rumah. Waktu sudah menunjukkan hampir pukul delapan malam.

“Mau pergi ke rumah teman, Bu. Dia ulang tahun hari ini.” ujarnya dengan wajah bahagia. Aruna terlihat menjinjing sebuah tas selempang berwarna biru tua.

“Pulang jam berapa?” tanya Ibunya lagi. Cemas menghantui pikiran wanita itu.

Aruna menghela nafas. “Aruna belum sejengkalpun meninggalkan rumah, Bu. Kok ibu sudah bertanya pulang?” Ia terkekeh sebentar. “Mungkin jam sebelas malam, Bu.”

Ibunya bergidik. Sebelas malam? Bukankah itu terlalu malam untuk seorang gadis tujuh belas tahun pulang dari kunjungannya ke rumah orang lain? “Kau berangkat dengan siapa?” tanyanya lagi

“Runa bareng sama Dina kok, Bu. Nanti pulangnya juga bareng sama dia.” Ujarnya sambil tersenyum. “Ibu tenang saja, Runa gak akan jadi anak nakal.” Ia mencium pipi Ibunya, lalu mencium tangan Ibunya. “Runa berangkat, Assalamu’alaikum, Bu” ujarnya sambil melambai pada Ibunya.

“Hati-hati di jalan, sayang” teriak Ibunya mengingatkan. “Wa’alaikumussallam.” tambahnya lirih, sambil berdoa semoga anaknya baik-baik saja.

Jam tua di rumah Aruna berdentang kencang. Pukul dua belas malam tepat. Sedangkan Aruna belum pulang dari ulang tahun temannya. Ibunya menunggu cemas di halaman, sambil menunduk berdoa. Suara deruman motor di depan pagar membuatnya menoleh. Aruna pulang. Rasa khawatirnya hilang, berganti rasa syukur.

Setelah melambai pada orang yang mengantarnya, Aruna berlari ke arah Ibunya. “Assalamu’alaikum, Bu. Maaf Aruna telat pulangnya. Ternyata acaranya baru selesai pukul setengah dua belas tadi. Dan saat Aruna mau pulang sudah tidak ada Dina disana, bahkan angkutan umum sudah tidak ada. Untungnya tadi Kemi mau mengantarku pulang.” cerita Aruna sebelum Ibunya sempat bertanya.

“Kemi?” tanya Ibunya.

“Iya, Kemi. Dia orang yang ulang tahun tadi, Bu. Untung dia mau mengantarku.”

Ibunya memicing, “Kemi laki-laki?” tanyanya lagi.

Aruna tertawa, “Iya, Ibu. Masa perempuan namanya Kemi?” Ibunya hanya mengangguk paham.

Setelah Aruna masuk, ia duduk di kursi. Dua kali sudah ia menemukan nama Kemi hari ini. Pertama saat ia melihat sebuah Koran yang sedang dibaca pemilik baju yang tadi ia cuci, tertulis nama Kemi disana. Sekarang yang mengantar anaknya adalah Kemi. Siapa laki-laki itu? Ibunya menghela nafas, sedikit kecewa karena ada yang tidak ia ketahui dari anaknya.

***

“Ibu ingat Kemi? Dia sekarang sudah punya anak dari wanita yang dia tiduri dulu.” Aruna memejamkan matanya. Menghalau rasa kecewanya. “Anaknya laki-laki, tampan seperti Kemi, namanya Mars. Tapi semoga kelakuannya tidak seperti Kemi ya, Bu.” Ia tersenyum. Hening sejenak. Hanya ada suara dari elektrokardiograf yang masih statis. Kemudian ia melanjutkan ceritanya, “Aku bersyukur Ibu tidak mengijinkanku keluar malam untuk kedua kalinya waktu itu. Kalau tidak, mungkin yang dia tiduri bukan wanita itu, tapi aku.” Matanya kembali berkaca-kaca, “Maafkan aku, Bu. Karena kebodohanku, aku meneriaki Ibu hal yang sangat tidak pantas untuk diucapkan oleh seorang anak perempuan.” Tak sanggup menahan air matanya, lagi-lagi Aruna menangis.

***

Kali ini hampir habis dayaku
Membuktikan padamu ada cinta yang nyata
Setia hadir setiap hari
Tak tega biarkan kau sendiri
Meski seringkali kau malah asyik sendiri

“Kemi yang mengantarmu waktu itu sama dengan yang menjemputmu sekarang, sayang?” ujar Ibunya cemas melihat anaknya yang telah berpakaian rapi.

Aruna menoleh sebentar, “Iya, Bu.” Ia kembali mengenakan sepatunya. “Kenapa memangnya?” tambah Aruna lagi.

Jam delapan malam. Sejak bertemu dengan laki-laki yang bernama Kemi, Aruna jadi sering keluar pukul delapan malam. Dan pulang pukul sebelas malam, bahkan lebih. Ia mulai khawatir pada anaknya. “Sebenarnya kalian malam-malam begini kemana sih?” tanyanya.

Aruna berhenti sejenak, “Ibu, bukankah Aruna sudah bilang kalau Aruna mau kerja? Biar Ibu gak perlu lagi mencuci di rumah-rumah itu.”

“Tapi ini sudah malam, sayang. Kamu disana kerjanya apa? Ibu gak enak ditanya sama Ibu RT terus, mereka kira kamu kerja yang macam-macam.”

Aruna tidak menjawab. Suara mesin motor milik Kemi mulai terdengar. Aruna mulai bersiap untuk pergi menemuinya. Firasat Ibunya semakin buruk mendengar suara motor milik Kemi. Dia tahu ada sesuatu yang buruk akan terjadi malam ini. Penampilan Kemi yang asal-asalan terlihat dari kaca jendela menambah kecemasannya.

“Sayang, untuk malam ini kamu tidak usah keluar dulu ya. Perasaan Ibu gak enak dengan laki-laki itu.” Ujar Ibunya saat Aruna sudah memegang kenop pintu.

“Ibu gimana sih? Aruna kan sudah janji sama Kemi. Lagipula Runa sudah rapi, tinggal berangkat.” Ujar Runa sedikit kesal.

“Jangan, sayang. Tolong, kali ini saja jangan pergi. Perasaan Ibu tidak pernah secemas ini.”

Wajah Runa memerah, “Pokoknya Runa tetap berangkat. Kemi sudah datang jemput Runa, kasihan kan dia!” ucap Aruna, membentak ibunya.

Emosi Ibunya memuncak, antara perasaan cemas dan marah menjadi satu, ia mendorong Aruna ke kamarnya lalu mengunci pintunya. Aruna berteriak-teriak dari kamarnya. Menangis sambil menyumpahi Ibunya dengan kalimat-kalimat kotor yang ia dengarkan di tempat kerjanya.

Ibunya keluar rumah, mendatangi orang yang akan menjemput anaknya. Di depan Kemi, ia berusaha bersikap biasa saja. Dengan alasan sakit, Aruna tidak jadi dibawa oleh Kemi. Ibunya tahu, laki-laki itu tidak baik untuk Aruna. Dari jarak satu meter saja ia mencium bau alkohol yang menyengat dari Kemi. Dan di tasnya terlihat dua botol berwarna hijau dengan logo bintang. Dia tahu, keputusannya untuk Aruna benar.

Sementara di dalam kamar, Aruna masih menangis dan kembali berteriak kesal saat mendengar Ibunya masuk rumah. Dengan kesal ia memaksakan untuk tidur. Untuknya tidur adalah obat segala penyakit.

Kini ia menyesal telah mengatakan hal buruk di depan Ibunya. Setelah ia tahu pada malam Ibunya tidak mengijinkan ia untuk ikut dengan Kemi, Kemi benar-benar mabuk dan meniduri salah satu wanita yang menemaninya di bar malam itu.

Ia baru sadar Ibunya telah lebih dulu tahu berita tentang Kemi. Sebelum sempat ia meminta maaf pada Ibunya, kabar mengejutkan menghantuinya. Ibunya dilarikan rumah sakit karena terkena serangan jantung, dan hingga kini belum bangun dari masa komanya.

***

Hampamu takkan hilang semalam oleh pacar impian
Tetapi kesempatan untukku yang mungkin tak sempurna
Tapi siap untuk diuji
Ku percaya diri cintakulah yang sejati

Aruna, anaknya yang sedang jatuh cinta pada seorang laki-laki bernama Kemi membuatnya cemas. Tadi siang setelah ia melihat selembar Koran yang dibaca oleh tukang parkir di pasar ia tahu, Kemi bukan orang yang tepat untuk anaknya. Seorang laki-laki yang penuh kebohongan itu telah menipu anaknya.

Malamnya, Aruna terlihat akan pergi bekerja dengan laki-laki itu. Ia tahu anaknya bekerja di bar sebagai pengantar minuman. Anaknya tidak pernah minum alkohol, dan merokok. Tapi tetap saja, membayangkan anaknya menggunakan seragam pelayan membuatnya bergidik. Jadi malam itu ia melarang Aruna untuk pergi, dan menguncinya di kamar. Ia tahu keputusannya untuk Aruna malam itu tak salah. Tapi keputusannya itu membuat Aruna menjauh. Ia tak lagi bercerita tentang hari-harinya lagi. Tak bertanya apa yang sedang dimasak Ibunya setiap hari. Tak lagi peduli pada Ibunya.

Padahal saat itu, ia membutuhkan seseorang untuk mengusir rasa lelahnya bekerja. Mengusir rasa was-wasnya akan penyakit asmanya yang selalu kumat saat ia bekerja keras. Setiap pulang, tak lagi ia melihat senyuman riang anaknya yang menunggunya pulang. Lalu bercerita bagaimana ia memulai hari dengan bekerja di sebuah restoran.

Hingga puncaknya, sore hari ia merasakan sesak pada dadanya. Rasanya seperti tercekik sesuatu dengan sangat kuat. Ia terjatuh di kamar mandi rumah pemilik baju-baju yang dicucinya. Sepuluh menit kemudian ia baru dilarikan ke rumah sakit, karena baru diketahui oleh sang pemilik rumah tersebut.

***

Minggu ketiga setelah ibunya terjatuh di kamar mandi, sarapan dan bercerita di depan Ibunya yang sedang sakit menjadi aktifitasnya setiap pagi. Tetapi pagi ini berbeda. Ia membawa 2 album foto dari rumah. Hari Minggu, ia akan kembali mengingat foto-foto masa kecilnya. Kenangan yang sempat ia lupakan beberapa tahun terakhir.

Di album pertama ia membukanya tertulis sebuah paragraf buatan Ibunya:

Sourc: Brooke Smart Illustration
Kenangan hanya tergambar dalam album ini, tetapi dalam pikiranku ia tetap bersemi. Berjalan seolah aku tetap berada di dalamnya. Foto hanya bisa terbaca, dirasakan sesuai dengan ekspresi yang ada. Tapi dalam pikiranku, ia terkenang, tetap berdenyut, tetap kupertahankan rasanya, meski kutahu beberapa hal ada yang terlewat.

Ia tersenyum, Ibunya adalah orang paling romantis. Menyukai benda-benda romantis, juga menyukai sastra. Dia selalu jatuh cinta pada setiap goresan yang dibuatnya. Lembar berikutnya membuat Aruna tersenyum lebih lebar. Foto sepasang pengantin, dengan gaun putih yang serasi terpajang cantik di album. Itu foto Ayah dan Ibunya. Di bawahnya tertulis, “Bukankah Tuhan benar-benar pencipta yang ‘Maha’? Selalu menciptakan semua hal secara berpasangan, seperti Dia menciptakan kita.

Lembar demi lembar aku lewati, album ini hanya berisi Ayah dan Ibunya. Tentang cinta mereka, tentang perjalanan mereka, dan tentang kebahagiaan mereka. Lembaran terakhir album ini terlihat sedikit kusam. Dari tintanya, aku tahu bahwa tulisan itu ditulis baru beberapa tahun lalu.

Sampai saat ini, pertanyaan kita tentang waktu belum aku temukan jawabannya. Bahkan setelah waktu membawamu pergi meninggalkanku lebih dahulu.

Sebenarnya apakah waktu itu? Apa semacam lingkaran yang tak terputus? Atau semacam garis yang terus terbentuk?

Aku tak suka waktu saat kau meninggalkanku. Tapi aku menyukai waktu saat aku mengenalmu. Aku tak suka waktu saat kau tak disisiku. Tapi aku menyukai waktu saat aku bertemu denganmu.

Mengapa harus ada waktu? Jika lama kejadian yang aku rasakan berbeda dengan yang kau rasakan?

Ia menutup album tersebut, dan membuka album yang lainnya. Album kedua sepertinya adalah album tentangnya. Dihalaman pertama tertulis kalimat yang sangat ia dan ibunya sukai.

Mungkin kau tak melihat, terkadang malaikat
Tak bersayap, tak cemerlang, tak rupawan
Namun kasih ini silakan kau adu
Malaikat juga tahu
Siapa yang jadi juaranya

ARUNA AL-ISLAMI, MALAIKAT KECILKU, SEMANGATKU, BUAH HATIKU.


Mata Aruna kembali berkaca-kaca. Ia tahu, bagi Ibunya ia adalah malaikatnya. Ibunya tak pernah marah padanya, dan Kemi adalah kemarahan pertamanya. Bahkan saat pertama kali ia pulang malam, Ibunya hanya mengingatkan, tanpa memarahinya. Ia tahu kemarahan Ibunya bukan tanpa sebab. Bahkan Ibunya yang belum pernah melihat Kemi sudah tahu bagaimana Kemi.

Ia membuka lembar demi lembar. Tetap dengan air mata yang ia tahan. Ia rindu Ibunya. Tiga minggu bukan waktu yang sebentar. Ia rindu masakan ibunya, senyum ibunya saat ia memulai hari, pelukan ibunya menjelang tidurnya. Ia rindu. Benar-benar rindu. Album foto ini membuatnya tersenyum sekaligus menangis.

Di foto terakhir, saat ia sedang ulang tahun ke tujuh belas. Ibunya membawakan kue tart dari toko kesukaannya serta membelikannya sebuah smartphone canggih yang ia pakai hingga saat ini. Ia tahu ibunya telah menabung sejak enam bulan yang lalu untuk membelikannya smartphone. Ia tersenyum. “Karena kamu adalah malaikat. Yang tak bersayap, tapi bersinar. Selamat ulang tahun yang ke tujuh belas, Aruna sayang. Ibu mencintaimu!” tulis ibunya di album itu. Aruna mengusap matanya yang terasa basah. Lagi-lagi, air matanya itu tak mau berhenti.

***

Kau selalu meminta terus ku temani
Engkau selalu bercanda andai wajahku diganti
Relakan ku pergi karena tak sanggup sendiri

Aruna menghela nafas saat masuk kamar Ibunya, sudah dua bulan sejak kejadian itu Ibunya belum bangun juga. “Ibu, aku datang.” Ujarnya menyapa Ibu. Ia menarik kursi yang ada di samping ranjang, lalu duduk disana. “Tadi pagi aku beli bubur di Mang Ahyat loh, Bu. Bubur kesukaan Ibu. Mang Ahyat tanya kabar Ibu. Tapi seperti biasa dia masih kecewa dengan jawabanku.”

Aruna menggenggam tangan Ibunya. Ia baru sadar kalau tangan Ibunya terasa kasar. Sambil mengusap telapak tangan Ibunya ia berkata, “Dulu kata Ibu, Runa gak boleh mencuci biar tangan Runa sehalus Mbak-mbak cantik di bank waktu itu. Dulu Runa gak ngerti, kenapa gak boleh mencuci? Padahal Runa suka kalo bantu Ibu. Tapi Ibu bilang, kalo tangan Runa bakal jadi kasar kalo tetap mencuci. “ ujarnya lemah. “Tapi sekarang Runa paham kenapa Ibu gak bolehin Runa mencuci. Tangan Runa jadi halus, Bu. Tapi tangan Ibu jadi kasar. banyak kapal-kapalnya. Ya kan, Bu?” ujarnya sambil tertawa hambar.

“Maafin Runa ya, Bu. Dulu pernah berandai kalau ibu Runa itu Mbak-mbak cantik penjaga bank itu. Pasti Runa gak akan sejelek ini. Padahal kalau ibu Runa mbak-mbak itu, Runa pasti jadi sombong sekarang, seperti anak mbak-mbak cantik itu.” ia tersenyum sambil menggenggam tangan ibunya. “Runa gak tahu kalau kalimat itu bikin ibu menangis. Runa kira, ibu gak mau punya anak kayak Runa, yang gak cantik. Runa sampai marah sama ibu selama dua hari. Tapi ibu dengan baiknya malah meluk Runa, bilang kalau Runa anak yang baik, anak ibu yang paling cantik. Ibu selalu bisa bikin Runa bahagia. Tapi Runa selalu bikin ibu sedih. Maafin Runa ya, Bu.” 

***

Pagi yang cerah dihari ke enam puluh lima ibunya Runa di rumah sakit. Seperti biasa, ia selalu sarapan di rumah sakit. Bercerita seolah ibunya akan tertawa atau sekadar tersenyum membalasnya. Ia mulai terbiasa. Ia telah diterima kerja di sebuah perusahaan elite sebulan yang lalu. Berkat kerja kerasnya, ia diangkat oleh manager perusahaan menjadi asisten. Setiap pukul tujuh ia sudah harus berangkat, dan baru kembali pukul delapan malam. Tapi ia sadar, kesehatan ibunyalah semangatnya. Ia bekerja keras agar ibunya bisa merasakan kerja kerasnya saatu bangun nanti.

Suara elektrokardiograf berbunyi statis. Matahari bersinar samar pukul tiga sore ini. Dokter yang memeriksa ibu Aruna sedang mengecek denyut jantungnya. Tiba-tiba jari tangan ibu Aruna bergerak pelan. Suster yang menjadi asisten dokter tersebut memekik pelan. Sore itu, menjadi sore paling menegangkan bagi Aruna. Ia tidak tahu, Ibunya diambang kehidupan.

***

Namun kau tak lihat terkadang malaikat
Tak bersayap, tak cemerlang, tak rupawan
Namun kasih ini silakan kau adu
Malaikat juga tahu
Aku yang jadi juaranya

Suara lembut Dewi Lestari mengalun di kamar Aruna. Ia menangis, teringat ibunya setiap mendengarkan lagu itu. Ia ingat penyesalannya saat tidak bisa menemani ibunya yang sedang kritis. Berjuang hidup dan mati sendirian.

Seorang suster meneleponnya pukul enam sore, mengabarkan kondisi ibunya. Tetapi ia tidak diizinkan pergi oleh atasannya sebelum pekerjaannya selesai. Ia telah mengemis meminta izin, tetap tidak didapatkannya. Jadi ia menyelesaikan pekerjaanya sambil menangis, menahan kekesalan dan rasa menyesal pada Ibunya. Hingga pukul tujuh akhirnya ia dibolehkan meninggalkan gedung, setelah sang atasan melihat ia hanya menangis tanpa menyelesaikan pekerjaannya.

Sampai di ruangan ICU, ia bertanya pada suster yang hilir mudik di depannya. Sambil menangis, ia panik. Hingga seorang laki-laki dengan pakaian dokter mendatanginya dan menyuruhnya untuk tenang. Aruna hanya menangis, ia tak tahu apa yang ibunya perjuangkan di dalam, tapi ia berdoa semoga ibunya baik-baik saja.

Setengah jam kemudian, dokter keluar dari ruang ICU. Wajahnya kuyu, seperti kelelahan. Dua orang suster dibelakangnya mengikuti dengan wajah tertunduk.

“Maafkan kami, Dik. Kami telah berusaha semaksimal mungkin, tapi Tuhan berkehendak lain. Nyonya Nur telah meninggalkan kita malam ini.” ujar dokter tersebut dengan wajah menyesal.

Aruni diam, mematung menatap dokter dengan wajah kosong. Ia kembali duduk di kursi rumah sakit, lalu tertawa kecil. “Dokter, kalau bercanda jangan berlebihan dong. Biarkan saya masuk, pasti Ibu yang menyuruh dokter untuk berkata seperti itu kan?” ujarnya.

Dua orang suster di belakang dokter tersebut saling menatap, “maafkan kami. Tapi kami tidak sedang bercanda untuk masalah seperti ini.” ucap seorang suster. Suster lainnya mengangguk mengiyakan kalimat tersebut.

Aruna kembali terdiam. Ia merasa jantungnya membeku waktu itu. Tangannya dingin. Ia menggenggam tangannya sendiri sambil terpejam. Kini telinganya berdenging sangat kencang, seketika itu pula ia tidak sadarkan diri.

Saat ia bangun satu jam kemudian, sekeliling tempat tidurnya banyak tetangga-tetangganya yang datang. Seorang lelaki paruh baya terlihat mendekat, “Yang sabar ya, Run. Ibumu telah dipanggil Allah duluan. Allah sayang sama dia, Run.” Ujarnya sambil mengelus kepala Aruna.

Lagi-lagi Aruna hanya diam. Otaknya seolah berhenti bekerja untuk saat itu. Hingga pemakaman Ibunya selesai ia tak mengeluarkan air mata sama sekali. Orang-orang menatapnya kasihan. Ia cuti dari pekerjaannya selama seminggu. Dan dalam seminggu itu ia tak pernah keluar kamar. Ia hanya berbaring di kasur tanpa berbicara apapun. Memandang langit-langit kamarnya yang berwarna biru dengan tatapan kosong. Ia tak menjawab pertanyaan siapapun. Bahkan saat ia mau makan sekali saja, tetangganya sudah sangat bersyukur. Wajahnya pucat, dengan kantung mata tebal berwarna hitam membuatnya sedikit lebih tua. Rambutnya yang panjang terlihat acak-acakan. Otaknya masih belum bisa menerima keadaan apapun.

Hingga puncaknya saat ia mendengarkan lagu Dewi Lestari yang diputarkan radio tetangganya di sore hari. Ia menangis. Tersedu hingga nafasnya terasa sesak. Ia berteriak histeris. Tetangga-tetangganya berkerumun di rumahnya. Laki-laki paruh baya kemarin mengunci tangannya agar ia tidak menyakiti diri sendiri, sedangkan istrinya terlihat memeluk Aruna, menenangkan. Semua orang menatapnya dengan kasihan. Ia akhirnya menangis kembali. Tersedu sendirian. Mengingat ibunya telah meninggalkannya dengan cara menyesakkan.

Namun kau tak lihat terkadang malaikat
Tak bersayap, tak cemerlang, tak rupawan
Namun kasih ini silakan kau adu
Malaikat juga tahu



Aku yang jadi juaranya


Lagu yang dinyanyikan Dewi Lestari telah berhenti sejak tadi. Aruna tersenyum kecil, di sela tangisnya. Satu hal yang ia tahu, ia tetap menjadi malaikat bagi ibunya. Dan ia tahu pasti, Ibunya tetap menjadi malaikat tanpa sayapnya. Yang dengan senyumnya saja sudah meluluhkan seluruh emosi, yang dengan peluknya saja memberinya ketenangan, yang dengan masakannya saja membuatnya lupa akan kekesalannya.



Ia tahu, ibunya adalah malaikat tanpa sayapnya, yang selalu menjadi juara di hatinya.

0 komentar:

Posting Komentar