Rabu, 15 Juni 2016

Toleransi, membaur tanpa melebur

Akhir-akhir ini saya lihat banyak yang media-media yang mengangkat tema 'Toleransi'. Entah itu bersangkutan dengan kepercayaan, maupun budaya. Tapi sebenarnya apa sih arti toleransi itu sendiri?

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Toleransi adalah batas ukur untuk penambahan atau pengurangan yg masih diperbolehkan; penyimpangan yg masih dapat diterima dl pengukuran kerja; bersikap toleran; mendiamkan; membiarkan.

Sedangkan menurut wikipedia adalah Toleransi adalah membiarkan orang lain berpendapat lain, melakukan hal yang tidak sependapat dengan kita, tanpa kita ganggu ataupun intimidasi.


Dari dua makna toleransi tersebut, dua-duanya memberikan pemahaman bahwa toleransi adalah membiarkan orang lain melakukan hal yang tidak sependapat tanpa diganggu. Dan biasanya toleransi sering dikaitkan dengan agama dan budaya. Kenapa? Karena dua hal tersebut adalah hal yang sangat sensitif, sekali diangkat ke media, maka respon yang didapatkan akan luar biasa.

Oh ya, baru-baru ini ada berita tentang sebuah warteg yang ditertibkan satpol PP di Serang, Banten. Pemilik warteg tersebut diminta untuk menutup warungnya berhubung bulan Ramadhan. Dan satpol PP tersebut menyita makanan yang dijual oleh pemilik warung, semua. Tanpa habis bersisa, padahal menurut pemilik warung tersebut, ia baru saja membuka warungnya, bahkan ikan tongkol yang ia buat belum dicampur dengan sambal.

Media tersebut dengan pasnya membuat seolah sang pemilik warteg merasa paling patut dikasihani dengan alasan toleransi. Setelah diangkat media televisi tersebut, Ibu pemilik warung ini mendapatkan sumbangan dari para netizen. Tak tanggung-tanggung, dana yang terkumpul sebesar 200 juta lebih, hingga membuat sang penyalur berinisiatif membantu para pemilik warung nasi lain yang di'gusur' satpol PP. Ternyata masih banyak orang baik di Indonesia.

Tapi yang membuat saya berpikir dua kali adalah tanggapan para netizen setelah diangkatnya berita tersebut adalah respon yang rata-rata sama, "Seharusnya yang puasa menghormati yang tidak puasa, kan banyak dari mereka yang tidak diperbolehkan puasa. Jangan manja hanya karena mencium aroma makanan jadi tergiur" ungkap mereka. Padahal yang saya tahu, Serang adalah kota santri. Jadi wajar saja jika hal tersebut dilakukan, mengingat julukan dari kota tersebut.

Masa sih yang puasa harus selalu menghormati yang tidak puasa? Kenapa harus yang puasa yang menghormati yang tidak berpuasa, kenapa tidak sebaliknya?
Kenapa selalu kita yang harus menghormati orang lain? Contohnya, saat natal, banyak yang bilang "Hormati orang yang sedang merayakan natal", kenapa harus kita yang menghormati? Bukan bermaksud untuk mengadu domba tapi kenapa harus Islam yang bertoleransi. Saat puasa, kami yang toleransi. Saat natal atau hari raya agama lain, kami yang harus toleransi. Tapi saat kami ingin membantu saudara kami di luar sana, ada saja yang nyinyir bilang "Kenapa harus membantu orang yang jauh jika ada saudara kita yang dekat membutuhkan bantuan?" Hey, kami sudah sering membantu Saudara sendiri di daerah kami. Kalau masalah itu, jangan ditanyakan lagi. Bukan bermaksud sombong, tapi memang kami diperintahkan membantu saudara dekat kami terlebih dahulu. Tenanglah.
Hasil gambar untuk membaur tapi tidak melebur


Padahal ada beberapa kota di Indonesia yang juga pada hari tertentu semua kegiatannya lumpuh. Seperti ngaben yang setahun sekali, bahkan bandara dan bank ikut tutup seharian penuh. Di Papua ada perda larangan membuka warung setiap hari Minggu, tapi tidak di blow up media. *Saya tahu ini dari salah satu media cetak.
Ternyata semakin canggih teknologi, semakin canggih pula pemikiran orang-orang tentang apapun. Semakin dibebaskannya pers, semakin blur pula informasi yang didapatkan masyarakat.

Sebenarnya seperti apa toleransi yang di gembor-gemborkan media?



(Zee, Juni 2016)

0 komentar:

Posting Komentar