Kamis, 23 Januari 2020

2020, Chapter 1

Hallo!

Memasuki tengah bulan Januari 2020 dan aku baru menulis kontempelasi tentang 2019, wow! Nggak apa-apa, keseharian dan kerjaan aku terlalu menyita pikiran. Jadi mau nulis pun, moodnya nggak sampai buat mengumpulkan apa aja yang udah aku capai di tahun lalu. Iya, aku mau tulis pencapaianku. Bukan buat sombong, cuma mau mengingatkan diriku kalau, "aku bisa lho melewati tahun 2019! Ayo apresiasi apa aja yang udah didapat selama 2019 lalu!" Mungkin ini akan aku update terus, karena aku benar-benar mau melist semua pencapaianku! Hehe

Jadi apa sih yang udah aku capai di 2019 lalu?

Pertama dan yang utama, aku pindah kantor! Yeay! Alhamdulillah! Hashtag becandaku di twitter, #2019GantiKantor terwujud! Pindah ke kantor ini rasanya mengabulkan sekian banyak dari keinginan randomku waktu bergumam: pengin kantor yang nggak di daerah Sudirman, yang bisa bikin aku terus belajar, yang banyak orang dengan berbagai macam latar belakang, aku mau belajar nulis script, mau dong belajar iklan, dll. Banyak banget pokoknya hehehe.

Kedua, ketemu orang-orang baru. Aku baru sadar kalo aku nggak setakut itu kok buat kenalan. Nggak sepasif itu kok buat berinteraksi. Bahkan dari hal-hal nggak penting pun aku bisa panjangin obrolan kok. It's fine!

Ketiga, kenapa harus takut jalan sendirian? Tahun lalu, aku berhasil memecahkan rekor kemalasanku untuk jalan sendiri. Akhirnya! Ternyata seru lho jalan sendirian! Nggak perlu nungguin teman buat nentuin waktu, nggak perlu nggak enak karena mau jalan-jalan terus, nggak perlu ngerasa takut orang lain bete. Seharian jalan sampai lupa makan siang karena terlalu excited dengan jajanan sekitar. Hehe.

Keempat, belajar buat mengatur emosi sendiri. Susah lho. Banget malah. Aku termasuk orang yang marah-marah mulu, semuanya harus sesuai keinginanku. Pokoknya nggak boleh salah, walaupun ada orang lain yang ikut terlibat dalam projek itu. Aku orang yang gampang kesal sih, asli deh. 2019 ngajarin aku buat nggak selalu marah-marah, lebih sabar. Pasti akan ada hal-hal yang di luar kendali, itu bukan salah kamu. Jadi nggak perlu kesal. Oke?

Kelima, aku sadar kalo nggak semua orang sekuat aku buat melewati masalah. Nggak semua cerita butuh solusi. Nggak semua air mata butuh senyum. Kadang dengan ditemani pun udah cukup, didengarkan tanpa berbicara apa pun sudah melegakan. Aku harus lebih banyak mendengar daripada berbicara. Iya, masih belajar.

Hmm, sepertinya baru itu yang bisa aku tuliskan. Lima hal pertama yang jadi pengingat bahwa doaku dikabulkan satu per satu, diberi yang terbaik. Nanti aku akan perbarui pencapaian ini. Pasti.

See u! Cheer up!
Continue reading 2020, Chapter 1

Senin, 13 Januari 2020

Exhausted

Halo!

Pernah nggak sih capek banget setelah melalui hari dengan aktifitas yang padat. Apalagi kalo aktifitas itu mengharuskan kamu ketemu orang-orang atau menyita pikiran banget.

Aku pernah.

Image result for exhausted
exhausted
Rasanya semua energi aku habis terkuras, nggak ada lagi kekuatan buat jadi orang yang ceria. Cuma pengin sendirian, nggak ketemu teman apalagi buat berinteraksi, bahkan sekadar chat.

Mungkin buat orang-orang bakal aneh sih baca atau dengar cerita kayak gini, tapi aku serius, Dua bulan ini rasanya melelahkan banget. Banyak ketemu orang baru, interaksi dengan mereka. Belum ketemu temen-temen, dengar cerita mereka. Giving an advice or just hearing their story, I feel so exhausted. Kayaknya ini batas energi aku buat terlihat ceria gitu. Hahaha.

Nggak, bukan berarti aku nggak suka dicurhatin. Bukan banget. Sebagai introvert, aku bisa kehabisan energi kalo terlalu banyak ketemu banyak orang. Aku nggak tau kenapa, tapi emang begitu. Capek banget, kayak abis ngerjain projek gede dan nggak tidur seminggu buat ngerjainnya hahaha.

Kalo udah kayak kehabisan energi gitu, mood langsung turun parah. Bad mood, entah maunya marah-marah atau nangis. Marah-marah pun nggak yang ngomelin orang, tapi semua yang orang lakukan disekitar aku rasanya salah aja, ngeselin semua. Akhirnya berujung nangis. Ya gitu.

Aku bukan tipe yang nangis di depan orang lain, nggak bisa banget. Nggak mau bikin orang khawatir, karena sekali nangis susah berhentinya, makanya paling maksimal kalo ngerasa sedih matanya berkaca-kaca aja, nggak sampe nangis yang ngucek-ngucek mata gitu. Eh, tapi kalo kamu pernah lihat aku nangis berarti aku percaya banget sama kamu dan emang udah nggak bisa dibendung lagi itu air mata. hehehe.

Kalian gimana? Pernah nggak sih ngerasa capek yang kayak udah nggak sanggup lagi ketemu orang lain dulu. Cuma mau tidur seharian tanpa interaksi sama sekali. Mau charging baterai yang ada di badan, udah low battery parah.
Continue reading Exhausted

Minggu, 05 Januari 2020

Hahaha

I think that I'm mature enough to having a romantic relationship. after reading all those article, hearing my friend's story, and planning to control myself- I mean, my heart. actually, that's not enough, sis.

fallin' love can ruin your plan. all of it. you can turn into different person. Sigh, sometimes I feel shame, but I love to. See, sounds weird right? Hahaha

I've always said that i'll never jealous with his friend, but in the reality I'm still a bit jealous. I've always said that i'll never angry about his activities, but in the reality I'm little annoyed. I've always said that i'll always giving a reason for my anger, my sadness and my every emotion. In the fact, I'm too proud to say that I just want his attention, that I'm jealous with his activities, that i need him for a whole day.

hahaha, it's not easy like i thought before.

I thought that I will using my brain to this, but sometimes I just using full of my heart. I plan to not easy mad about anything, but sometimes I can be attacked by feeling bad mood about him.

Please, this make me feel stupid.

So, after all of this narration, I realize that I am still selfish person. I just thinking about me in the relationship. just me, without him. my ego has its pride.

i. don't. wanna. feeling. like. dumb. anymore. please?
Continue reading Hahaha

Senin, 30 Desember 2019

Am I Good Enough?

Monday Night. Through the melody of pourin' rain. I wondering myself.

Am I good enough?

I don't good enough to accept the kindness. What have I ever done to receive this much kindness, eh? Did I ever save a person in my previous life?

This year feels like I receive so much kindness and blessing. Sometimes I think that my dream nearly reach out. Just one step closer, and when I want to up to the stairs the dream feels far away. Like utopia. No. It's not about reset to the beginning, but I feel afraid step up again. I need something to hold on.

Am I good enough to handle every problem that I had? This year feels so exhausting. I'm tired and have been crying to through it. Even now, I don't know how I still look fine after all. Hahaha. When overthinking strikes your impulsive-ness. Whoa, I feel lost at times.

After all this overwhelming year, I just wanna laying down on the grass and looking the blue sky. Contemplation. Am I doing better than last year? Am I good enough to having someone new? Can I be better day by day?

Sigh. With this wonderful year, I just wanna thankies myself. Thank you for being myself, for not giving up, for choose to happy, for everything. Thank you for this year. Let's growing up better more than year ago. I promise that I'll never give up on everything.
Continue reading Am I Good Enough?

Sabtu, 28 Desember 2019

Trauma

“Aku gatau gimana caranya biar kamu bisa percaya dan berhenti nyalahin diri kamu sendiri, Kei.” ujar seseorang di depanku. “Aku mau jadi orang yang dengar cerita konyol kamu, bahkan obrolan yang kamu bilang nggak penting itu.” lanjutnya.

“Maaf.” Ujarku menundukkan kepala. Rasanya sebentar lagi gerimis akan muncul. 

“Nggak perlu minta maaf. Sekarang aku antar kamu pulang ya. Istirahat, jangan nangis lagi.” 

Aku menganggukkan kepala, lalu mengikuti langkahnya dan duduk di jok motor. Bahkan sampai saat ini aku tidak berani menatap matanya. Apa pantas aku menerimanya? Aku, yang buruk ini apa pantas menerima dia yang dikelilingi kebaikan. 

Telingaku berdenging, ingatan itu kembali dan bertubi-tubi membentur kepalaku, Jantungku berdegup cepat, hingga mengaburkan pandangan. Aku terhuyung dan mencari pegangan padanya.

“Kei, kamu kenapa?!” ujarnya panik sambil memegang tangan dan dahiku. “Astaghfirullah, kenapa kamu jadi menggigil gini? Kita ke rumah sakit sekarang!” ujarnya sambil memakaikan jaket dipundakku lalu menyalakan motornya. Lengan kanannya memegang stang motor, sedangkan lengan kirinya menahan tubuhku yang kedinginan. Sepanjang jalan dia berusaha mengajakku mengobrol, melakukan apapun untuk membuatku terjaga. Aku mendengar apa yang dia bicarakan, genggaman tangannya menemaniku menuju ICU dan ingin menjawabnya. Tapi entah kenapa lidahku terlalu kelu untuk sekadar membuka mulut. Samar-samar rasa kantuk menyerangku dan aku tertidur. 

*** 

Related image
Help

“Tolong! Siapapun tolong aku!” teriakku sepanjang Lorong apartemen kamar itu. 

Dor

Suara pistol berdentum dengan tong sampah besi. Kakiku terasa kebas karena sudah berlari sejam tanpa henti. Rasa lemas mulai merayapi telapak kakiku yang menuruni tangga tadi. Aku berhenti dan melihat sekeliling. Dengan nafas tak beraturan aku menyeret kaki yang mulai tidak bisa diajak kompromi untuk berjalan lagi. 

“Tolong!” teriakku sekali lagi. Kekuatanku rasanya sudah bersisa sangat sedikit. 

Dor

Sekali lagi suara pistol itu menggema di setiap sudut dinding jalan. Aku menyeret kakiku lebih kuat untuk segera bersembunyi. Di manapun. Aku bertekad untuk tetap hidup dan menjadi orang baik. Tuhan, tolong aku. Sekali ini saja, jika kau benar ada! Bisikku lirih. 

“Keinara… Kamu di mana..?” ujar seorang laki-laki bersuara bass. “Di manapun kamu berada, aku bisa menemukanmu..” ujarnya lagi. 

Aku menutup mulutku. Menghalau nafas yang berisik ini. Tuhan, jika kau ada, tunjukkan mukjizatmu! Rengekku lagi. 

“Keinara…” ucap suara itu lagi. Kali ini suaranya terdengar sangat dekat. “Kalau kamu tidak menyahut juga, aku akan membunuhmu jika bisa menemukanmu.” 

Bullshit! Jikapun aku keluar kau tetap akan membunuhku! Runtukku dalam hati. 

“Tentu saja setelah menelanjangimu dan menyelesaikan satu album foto penuh dirimu. Agar lengkap koleksi-koleksiku tentangmu.” Sambung laki-laki itu. Suaranya benar-benar terdengar dekat, apa jangan-jangan dia telah menemukan tempat persembunyianku? 

“Kau tau, ‘kan kalau aku mencintaimu? Sangat mencintaimu. Karena itu aku tidak akan membiarkanmu sedih lagi. Kau adalah barang berharga bagiku.” Dia terdiam sejenak. “Ah iya, mengapa aku tidak mengawetkanmu saja? Aku sangat suka mata cokelatmu itu. Nanti akan kujadikan pajangan di kamarku agar mata kita bisa selalu bertatapan. Ah, betapa romantisnya!” 

Dasar sialan! Jika aku tau kau begitu, aku tidak akan menerima cintamu! Jangankan menerima cintamu, bertemu pandang pun akan kulaporkan ke polisi! Sumpahku dalam hati. 

“Keinara…” ujarnya sambil tertawa kecil. 

Aku benci suara itu. Padahal awalnya suara laki-laki ini adalah salah satu yang aku bisa dengarkan berjam-jam. Bahkan demi mendengar tawanya aku rela memberikan barang-barang mahal. 

“Aku menemukanmu..” ujarnya sambil membuka tempat persembunyianku. Nafasku tertahan dan entah kenapa air mataku tidak bisa terbendung lagi. 

“Anak baik tidak boleh diam saat dipanggil. Apa kamu mau lidahmu itu kuhilangkan?" ujarnya sambil tertawa. "Tapi nanti suara indahmu jadi tidak bisa aku dengarkan lagi, ya..” lanjutnya dengan wajah sedih.

Aku menggelengkan kepala ketakutan. Tuhan, tolong aku! Tolong buat aku mati sekarang, hingga aku tidak bisa merasa hina karena dipegang oleh si brengsek ini. 

Laki-laki itu menarikku keluar dengan paksa. “Oh, jadi begini harummu ya? Seperti harum sepatuku yang sudah lama tidak dicuci.” 

Itu karena kau jorok dan bau kaki, sialan! Jangan samakan aku dengan kakimu yang bahkan kau saja tidak bisa dibandingkan dengan seincipun kotoranku! 

“Ada apa tatapan itu, sayang? Kamu harus tau kalau yang aku bicarakan sejak tadi itu ucapan cinta. CINTA!” ujarnya lalu tertawa kembali. “Kakimu tidak bisa kau gunakan, sayang? Mau kuputuskan saja agar tidak menyusahkanmu? Jadi aku bisa menggendongmu.” 

Aku memaksa kedua kakiku berdiri tegak. Tetap saja gemetar ini tidak bisa dihentikan. Reflek tubuhku tidak sebagus itu.

Tiba-tiba laki-laki itu melepaskan tangannya dariku. Membuat kakiku yang sejak tadi lemas tidak kuat menyangga badanku lagi. Aku terduduk di ujung jalan dengan penerangan seadanya. Dia tersenyum senang dan perlahan mendekat. 

“Sayang, apa kau sudah tidak sabar menemuiku hingga duduk di sini?” ujarnya dengan suara yang membuat tengkukku merinding. 

“Tolong bunuh aku saja sekarang.” Ujarku lirih. 

“Apa? Kau mau mati, sayang? Kalau kau mati, bagaimana denganku nanti?” jawabnya dengan suara lirih dan mata berkaca-kaca. “Ah ya, tapi kan aku bisa mengawetkanmu. Hahaha” 

“Kau laki-laki sialan paling brengsek yang pernah kutemui!” aku berteriak dengan tenaga terakhirku lalu memejamkan mata. Membayangkan hal terburuk yang akan terjadi. Tuhan, maafkan aku jika sampai akhir aku masih tidak percaya padamu. Jika neraka itu ada, tolong jangan masukkan aku ke sana. Dan jika Kau benar-benar ada, aku pasrahkan diriku sekarang. Selanjutnya, terserah Kau saja, bisikku dengan air mata bercucuran.

Dor! 

Rasa nyeri menjalari pahaku. Jadi begini rasanya mati. Tapi sepertinya aku masih bisa menahannya, Tuhan. Haha. Aku membuka mata ngeri membayangkan kematianku dan menyaksikan darah berceceran. Kulihat laki-laki itu tergeletak tepat di depanku dipenuhi noda merah. Kakiku diwarnai noda yang sama. Telingaku berdenging kencang, akibat suara pistol yang rasanya berada tepat di telinga kananku. Ah, pandanganku mulai berputar-putar. Sebelum kesadaranku hilang, aku mendengar seseorang berlari ke dan memanggilku. Inikah malaikat kematian? Lalu aku pingsan.

*** 

“Kei? Kamu udah sadar?” ujar suara bariton membangunkanku. 

Aku mengerjapkan mata, membiasakan cahaya masuk. Wajahnya yang pertama kali aku lihat. 

“Alhamdulillah kamu sadar juga. Orang tua kamu cemas banget karena seharian kamu pingsan. Aku juga khawatir banget.” Lanjutnya lagi sambil membantuku membenarkan posisi tidurku. 

Aku tersenyum lemah memandangnya. Dia terlihat sibuk memanggil dokter yang sedang lewat, lalu izin memanggil kedua orang tuaku. 

Terlihat wajah sumringah dari kedua orang tuaku. Walaupun senyum kelelahan tergurat dari wajahnya, aku bisa merasakan mereka lega. Sejak kejadian itu, rasanya aku benar-benar merepotkan mereka. 

“Kei, kamu udah merasa enakan? Dzanu semalam telepon ngelaporin kalo kamu menggigil dan nggak sadarkan diri. Kamu keingat kejadian itu ya?” ujar mama sambil mengelus kepalaku. Aku menarik nafas panjang dan lekas menggeleng. 

“Papa khawatir banget sama kamu. Sampai nggak mau pulang, nggak mau makan, biar bisa nemenin kamu di sini.” Cerita mama. 

Aku tertawa kecil. Papa terlihat malu dan cemberut kesal kepada mama. Dzanu menyodorkan gelas berisi air mineral, “minum dulu.” Ujarnya. Aku mengangguk menengguk air sambil mendengarkan celotehan mama dan papa. Rasanya sudah lama sekali aku tidak mendengar keriaan ini. 

Setelah kejadian mengerikan itu, aku diminta untuk berkonsultasi dengan psikolog oleh dokter. Trauma itu masih begitu nyata di alam bawah sadarku. Setiap dekat dengan laki-laki dan mendengar kata-kata yang mengingatkanku pada kejadian suram itu tubuhku beraksi keras. Dan bersama Adzanu kemarin adalah puncaknya. Entah kenapa aku sangat ketakutan setelah mendengarkan kalimat-kalimatnya. 

Delapan minggu penuh sesi bersama psikolog, dia selalu mengantar dan menjemputku di sela-sela tugasnya. Merelakan satu minggu jatah cutinya untuk menemaniku yang tiba-tiba ketakutan bertemu semua orang kecuali dirinya. Rasanya aku tidak mendengar keluhan apapun darinya. Bahkan saat bertemu pun dia selalu tersenyum dan bercerita mengenai harinya. Bertemu dokter pun sepertinya adalah sesi kesukaannya, dia terlihat sangat serius saat mendengarkan dokter bercerita tentang perkembanganku. 

“Kata dokter, perkembangan kamu bagus banget, Kei. Aku ikut senang dengarnya.” Ujarnya sambil tersenyum senang. 

“Terima kasih ya.” Jawabku lirih. 

“Untuk apa?” 

“Terima kasih untuk waktu yang kamu kasih selama ini, nemenin aku check up dan control. Terima kasih selalu bantu aku dengan senyum positif kamu. Terima kasih untuk nggak memandangku dengan pandangan kasihan..” aku diam. “terima kasih juga telah menolongku dari si brengsek itu. Kalo nggak ada kamu, mungkin saat ini aku ada di-“ 

“Sst. Jangan ngomong gitu. Itu karena takdir Tuhan. Aku bisa bantu kamu karena Tuhan mengijinkan kita ketemu. Untuk waktu yang aku luangkan, nggak akan bisa membayar lunas trauma kamu selama ini. Jadi janji sama aku, kalau kita, dan kamu bakal tetap berjuang untuk hari ini, besok, dan nanti. Kita bareng-bareng selesain ini. Ya?” ujarnya sambil menyodorkan jari kelingking. Pinky promise.

Aku tersenyum dan mengangguk. Lalu mengaitkan kelingking, berjanji. Kami tertawa. 

Hey, Tuhan. Terima kasih telah mengirimkan malaikat yang baik hati ini. Bukan sekadar menolongku bahkan membimbingku. Menuntunku mengenal-Mu. Entah apa yang Engkau pikirkan saat memberiku laki-laki ini. Boleh aku meminta lebih, Tuhan? Aku ingin memilikinya di jalan-Mu.  Boleh ya?

***
Continue reading Trauma

Kamis, 26 Desember 2019

Pemuja(an) Rahasia

Hey, hey. Apa kabar?
Akhirnya aku menemukanmu setelah mencari tanpa ada jawaban. Kamu masih ingat aku? Pasti tidak kan? Aku adalah sebatas pernah, yang bahkan hampir.

Tidak, kamu tidak perlu tau aku yang mana. Yang perlu kamu tau, aku adalah tinta hitam di antara kalimat yang kamu tuliskan. Ah, iya maaf. Aku baru ingat kalau kamu sangat jarang menulis, begitu pula menghubungiku. Ya, kurang lebih seperti itulah aku.

Masih penasaran?
Rasa penasaran itu membunuh lho, kau tau? Seperti aku yang dulu mengejarmu di suatu jalan. Lari dan berniat menghampiri, tapi malah menemukanmu tersenyum malu karena sapamu dijawab senyum oleh orang itu. Jangan penasaran, tidak bagus untuk kesehatan.

Kamu pasti tidak akan ingat, karena aku tidak pernah mencoba mengingatkan. Hanya ingin menyapa tanpa nama. Agak menyeramkan ya? Maafkan aku yang terlalu malu untuk menunjukkan muka di depanmu. Yang bahkan aku tidak tau apakah kamu mengenaliku.

Menyeramkan ya?
Makanya aku tidak akan memunculkan diri di depanmu. Cukup surat ini kuberikan sebagai tanda bahwa aku ada. Tidak perlu takut, aku akan pergi setelahnya. Tujuanku bukan untuk berjabat tangan, hanya ingin dikenang. Kau tau? Kenangan buruk akan selalu diingat sampai kapanpun juga, aku ingin dikenang lebih lama olehmu.

Sudah ya. Cukuplah aku rasa memberikan kata-kata. Kau mungkin tidak akan mengerti, dan aku tidak akan menjelaskannya kembali. Intinya, selamat berbahagia. Semoga nanti kita tidak akan bertemu kembali.
Continue reading Pemuja(an) Rahasia

Selasa, 24 Desember 2019

Aren't we?

Don't let me feel like I'm fighting by my own
We are partner, aren't we?
I need you too, like you needed me

Don't let me think that I'm too good for you
Then I can leave you whenever I want
We must learning things together, aren't we?
I want to be taught too, like we still do

Don't let me say that I'm the most
You know we are all only human, aren't we?
I like being advice by you

Please,
don't make me feel that I'm bleeding the most
that you're the lucky one
and any mean word that I don't wanna hear
and any evil thought that I don't wanna say

Related image


We're still trying to be better, aren't we?
Continue reading Aren't we?