Minggu, 18 September 2016

Untukmu, diriku.

Percayakah dirimu pada quotes yang mengatakan kalau Allah itu mengabulkan apa yang kau butuhkan, bukan apa yang kita inginkan? Tepatkah kalimat tersebut saat kau dengar? Bukankah terdengar seperti keinginan kita tidak pernah didengarkan?

Diriku, bukankah Allah telah menyediakan apa yang kau butuhkan? Kau butuh oksigen, Allah sudah menyediakannya, kau butuh makanan, Allah telah membuat tumbuhan untuk kau makan. Apa yang kau butuhkan telah Dia sediakan. Kau hanya perlu memilih dan berusaha untuk mendapatkannya. Bukankah begitu, diriku?

Allah akan mengabulkan apa yang kau inginkan. Pasti. Tapi dipilihkan yang terbaik menurut-Nya. Mungkin agak sedikit berbeda dari yang kau harapkan, tapi percayalah diriku, itu adalah yang terbaik untukmu menurut-Nya. Karena yang baik menurutmu, belum tentu baik menurut-Nya, dan yang buruk menurutmu, belum tentu buruk menurut-Nya.

Apakah keinginkan-keinginanmu belum terkabul, diriku? Seberapa banyak hal yang belum dikabulkan-Nya? Masihkah kau memaksa-Nya untuk segera mengabulkannya?

Ayolah, diriku. Koreksi dirimu terlebih dahulu sebelum memaksa keinginanmu pada-Nya. Sudah luruskah niatmu? Sudah benarkah usahamu? Sudah tepat waktukah Shalatmu?

Bagaimana Allah akan memberi keinginanmu, jika niatmu saja masih ada keraguan, jika usahamu saja belum maksimal, jika Shalatmu saja masih diakhiran? Bagaimana diriku, sudahkah kamu melakukannya dengan tepat dan benar?

Jadi kau merasa sudah melaksanakannya dengan benar dan tepat?

Coba ingat lagi, diriku. Kapan terakhir kau memohon ampunan-Nya dalam Istighfarmu? Atau kapan terakhir kau menyapa Nabimu dalam Shalawatmu? Ingatkah kau? Dan bagaimana dengan surat cinta dari Tuhanmu, masih ingatkah kau untuk membacanya?

Sadarlah, diriku. Jangan selalu memaksakan apa yang bahkan kau belum maksimalkan. Bagaimana Dia mau memberimu yang terbaik, jika kau masih menunda-nunda untuk bertemu-Nya? Bagaimana dia bisa serius memberimu, sedangkan kau bercanda memintanya?


Koreksi dirilah, diriku. Jangan terlalu memaksa.
Continue reading Untukmu, diriku.

Senin, 12 September 2016

Apa kabar imanmu, diriku?

Diri, apa yang sudah kamu capai? Apa yang sudah berani kamu relakan? Apa yang bisa kamu banggakan dari dirimu?

Relakah kamu diqurbankan seperti Nabi Ismail A.S sebagai pembuktian cinta Ayahnya?

Sabarkah kamu saat ditinggalkan semua orang yang kau cintai ketika diuji dengan penyakit seperti Nabi Ayyub A.S yang menganggap harta adalah titipan-Nya?

Beranikah kamu menentang pemimpin dzalim seperti Nabi Ibrahim A.S hingga dibakar oleh api dunia?

Ikhlaskah kamu ketika harus bertarung dengan luasnya lautan seperti Nabi Yunus A.S sebagai teguran atas kesalahannya?

Jangan takut, diri. Rasa sakit yang kau dapatkan tidak ada apa-apa dibanding dengan Rasulmu, Nabi Muhammad S.A.W. Beliau dituduh gila, dicaci, dihina semua orang, dilempar oleh batu bahkan kotoran. Pengorbananmu belum berarti apapun dibanding Beliau.

Tenanglah, diri. Janganlah goyah, janganlah menyerah.

Seperti Nabi Ayyub A.S yang tak berburuk sangka sedikitpun pada Allah saat beliau kehilangan semuanya.

Pisau yang tajampun tidak membunuh Nabi Ismail A.S.

Api yang panas menjadi dingin untuk Nabi Ibrahim A.S.

Dalamnya lautan tidak menenggelamkan Nabi Yunus A.S.

Bahkan para pembunuh Nabi Muhammad S.A.W menjadi orang-orang terdekatnya.

Yaa muqalibal qulub, Tsabit qalbi 'ala diiniik.
Continue reading Apa kabar imanmu, diriku?

Senin, 05 September 2016

Untitled

Maafkan aku.
Aku tidak seperti mereka yang dengan mudahnya mengirimimu pesan-pesan singkat setiap hari. Yang dengan santainya menyapamu lalu meminta nomor ponselmu untuk sekadar mengobrol ringan. Yang dengan senyum percaya diri mengajakmu berbicara hal-hal yang kau sukai.

Maafkan aku.
Aku bukan orang yang mudah mengekspresikan diriku dihadapanmu. Bahkan tersenyum dihadapanmu pun kulakukan dengan rasa takut dengan harapan yang kurajut sendiri, apakah kau akan membalas senyumku?

Aku tidak pernah sepercaya diri itu dengan hal-hal yang berhubungan denganmu.

Bahkan saat aku mencoba mengubah harapan-harapanku menjadi do'a, menyelipkan namamu disana menjadi hal tabu untukku. Padahal kata mereka, mereka bisa dengan leluasa menyebut orang yang diam-diam ada dihati pada Tuhannya. Tapi mengapa aku tidak seberani itu?

Maafkan aku.
Yang belum berani menyapamu dengan percakapan-percakapan ringan. Mungkin nanti saat aku memberanikan diriku berbicara padamu dengan senyum tentang hal-hal yang tidak ada hubungannya denganku ataupun denganmu, kamu akan mengerti.
Continue reading Untitled

Kamis, 01 September 2016

Kamu adalah rindu

Kau tahu? Aku telah melewati banyak hari, dimana tak ada dirimu di dalamnya. Berulang-ulang selama beberapa tahun, tanpamu. Aku pikir, aku baik-baik saja. Aku masih bisa tersenyum senang, masih bisa tertawa lebar, aku masih bisa merasakan hidupku.

Bertahun-tahun telah berjalan, tentu saja. Semua butuh berevolusi, menjadi lebih baik, menjadi lebih cerdas. Tetapi kamu tetap menjadi alasan dari aksara-aksaraku. Kamu adalah tema yang selalu memberiku ide-ide baru.

Mengapa harus kamu? Jika ada orang lain yang lebih cerdas darimu, yang bisa mengimbangi ocehan-ocehan gilaku. Mengapa harus kamu? Jika ada orang lain yang lebih mahir membuatku tersenyum bahagia. Mengapa harus kamu?

Aku sendiri sedang mencari alasan itu. Mengapa harus kamu? Padahal ada lebih dari kamu yang membuatku bahagia?

Apa yang membuatmu begitu berharga dalam aksaraku?
Kubuka lagi foto-fotomu yang ada di media sosialmu, tapi tak kutemukan alasan disana. Yang aku temukan malah kerinduan akan senyumanmu itu. Bodohnya aku.
Kubuka lagi pesan-pesan kita dahulu, dari awal bertemu hingga kita tidur larut malam hanya untuk sebuah percakapan tentang waktu. Tapi yang kudapatkan malah senyuman malu-malu di wajahku. 

Bodohnya aku.

Aku menyerah, mungkin saja aku bisa menemukan alasan itu diingatan-ingatanku tentangmu. Bukankah itu telah terlalu berdebu? Ternyata, kau tersimpan disana. Bertahun-tahun.
Dan ternyata, mengapa harus kamu? Karena kamu adalah orang pertama yang memuji tulisanku. Kamu yang pertama mengkritikku dan memberiku saran-saran yang menyemangatiku.
Karena kamu yang diam-diam masih disimpan ingatanku. Karena kamu juga yang masih menjadi sebuah rindu untukku.
Continue reading Kamu adalah rindu

Selasa, 30 Agustus 2016

Sabtu, 27 Agustus 2016

Kamis, 25 Agustus 2016

Masihkah ada harapan?

Benarkah ada harapan?
Saat bocah-bocah disana menangis, bermandikan debu, berudarakan kematian
Sedangkan kami disini mengisi jalanan dengan penuh protes
Saat wanita-wanita disana ketakutan, ditemani kekejaman, bersaudarakan diskriminasi
Sedangkan kami disini berlenggang santai dengan bungkusan pakaian jutaan

Benarkah ada harapan?
Saat bayi merah yang dilahirkan Ibunya ditemukan di tempat sampah
Sedangkan orang tua lainnya menunggu kehamilan mereka
Saat yang kaya raya bertanya cara menghabiskan pundinya
Sedangkan sang miskin bingung memikirkan penghasilannya

Tuhan,benarkah masih ada harapan?

Yang manakah yang akan kau kabulkan?
Continue reading Masihkah ada harapan?