Selasa, 23 Juni 2020

That Kind of Word, Terserah

*Perhatian, artikel ini penuh dengan opini pribadi. Kalau kamu berbeda pendapat, aku hargai, tapi nggak tertarik buat berdebat. Mohon maaf. Hahaha

Halo!

Ada satu kata yang aku benci banget pemakaiannya. Benci, bukan nggak suka lagi. Kata "Terserah". Entah diucapkan siapapun, aku nggak suka kalo dapat jawaban terserah. Karena aku butuh jawaban, butuh ide lain, bukan jawaban klise dan nggak jelas.

Jawaban terserah adalah jawaban yang paling nggak punya rasa kepedulian menurutku. Kalo aku tanya, "mau makan apa?" lalu jawabannya "terserah" selalu berhasil bikin aku kesel sendiri. Nggak membantu sama sekali, yang ada bikin tambah mikir "ini orang bakal suka nggak ya?" karena sebagai omnivora, makanan apa aja aku bisa makan yang penting halal dan nggak ekstrem.

Apalagi pas berdebat dan dijawab terserah. Benci banget. Kalo udah di-terserah-in gitu, ya beneran terserah aku. Suka-suka aku mau ngapain setelahnya, lha wong diminta begitu kok.

Nggak, jawaban terserah bukan berarti pasrah. Menurutku terserah itu jawaban paling gampang buat ngejelasin level capek dan udah nggak mau peduli lagi. Dibanding, "aku nggak ngerti lagi mau bales apa." jawaban terserah cenderung ke arah mau menyerah aja.

Kalo jawabanku udah muncul kata ini, artinya aku benar-benar menyerahkannya ke kamu dan aku nggak peduli lagi. Terserah apa pun yang mau kamu lakukan, kamu udah nggak masuk di daftar orang yang nggak bakal aku terserah-in.

Sejauh ini, aku jarang banget kasih jawaban terserah. Waktu bingung mau makan apa, aku bilang "Belum tau, coba kasih ide tapi aku lagi nggak pengin makan A." atau kalo ada di dua pilihan "Z bagus, tapi blablabla. Nah si X blablabla, tapi dia keren. Aku lebih suka Z sih." Selalu aku kasih jawaban, karena aku tau rusuhnya otak waktu lagi bimbang.

Eh, tapi jangan kira aku nggak pernah kebingungan ya. Sering kok. Kalo lagi bingung gitu, biasanya aku pikirin lagi selama 30 menit. Misalnya bingung juga, aku nggak pilih dua-duanya. Mendingan cari yang lain, karena kalo kamu pengin banget, kamu nggak bakal bingung atas pilihanmu.

Kenapa tulisanku terasa ofensif banget ya? Hahaha. Gapapa, sesekali deh.


Cheers!
Continue reading That Kind of Word, Terserah

Kamis, 11 Juni 2020

Aku Harus Apa?

Aku mencari-cari kebohongan melalui matamu,
tapi yang kulihat hanya ketulusan yang menatapku lembut.
Aku harus apa?

Aku memancingmu dalam marahmu,
tapi yang kutemukan hanya helaan nafas panjang,
dan senyuman hangatmu.
Aku harus apa?

Aku menyembunyikan diri di antara air matamu,
tapi kamu selalu berhasil menemukanku,
bersama ketakutan yang kau tinggalkan di tembok tertinggi hatimu.
Aku harus apa?

Lalu aku bertanya,
Aku harus apa?

Aku yang terseret terlalu jauh atau kamu adalah arus itu?
Aku yang jatuh terlalu dalam atau kamu sang samudera itu?
Aku yang terbuai lembutnya angin atau kamulah rasa nyaman itu?

Aku tidak tahu harus seperti apa. Tolong bantu aku menemukan penjelasan.
Continue reading Aku Harus Apa?

Selasa, 09 Juni 2020

Kisah Wanita Berdress Kuning

Aku pernah mendengar cerita tentang seorang wanita yang hidup dengan senyum dan menyukai dress berwarna kuning. Setiap hari ia bertemu dengan orang dan menyapa keadaan mereka, lalu duduk sebentar untuk mendengarkan keluhan satu orang atau menumpahkan cerita. Sepertinya dia wanita yang dicintai semua orang.
Source

Setiap pertemuan dengannya adalah senyuman dan canda. Dia wanita yang dapat menghibur dengan jokesnya, memberi bantuan, atau mendengarkan tanpa menghakimi. Memandangnya yang serupa matahari, menyinari orang-orang dengan cahaya dan semangatnya, sepertinya dia adalah wanita terbahagia. Tanpa amarah atau pun kesedihan, tidak ada emosi selain bahagia dan semangat. Bersamanya, suasana selalu terasa berwarna kuning dan hangat. Menyenangkan.

Lalu di satu hari yang cerah, orang-orang tidak menemukannya. Malam datang, tapi ia tidak. Orang-orang kebingungan mencarinya. Dia tidak ditemukan di manapun, hingga mereka memutuskan untuk menunggu. Hari itu rasanya matahari lebih terik, dan malam terasa cukup kejam dengan dinginnya. 

Esoknya, matahari belum menyapa, tapi wanita itu sudah berkeliling desa. Lagi-lagi dengan senyum manis dan dress kuningnya. Semua orang bertanya ke mana dia pergi kemarin? Dia hanya tersenyum lalu satu per satu orang sibuk bercerita dan berkeluh kesah. Tatapannya fokus, sesekali ia mengelus tangan atau punggung orang-orang, memberi semangat. Pamitnya selalu meninggalkan perasaan tenang. Hari itu panasnya matahari tak lagi terasa menusuk kepala, sejuknya angin mengalahkan semua keluh yang telah ditumpahkan. Semua orang merasa lega. Entah atas kembalinya si wanita, atau bisa kembali bercerita. Setidaknya hari itu, mereka merasa pundak mereka lebih tegak untuk berdiri.

Hari terus berlalu dan wanita itu kembali menghilang. Kali ini lebih lama, satu minggu. Semua orang gempar mencari dan saling bertanya. Namun nihil, seperti informasi yang mereka ketahui tentang wanita itu, Naima. Tidak ada seorang pun yang tau alamat, bahkan dari mana asal wanita itu. Yang mereka ingat, wanita itu bermata hitam dan sendu, dengan senyum serupa angin sore yang menenangkan serta rambut hitam pekat sebahu. Ah, dan dia suka memakai dress berwarna kuning.

Satu minggu berubah menjadi bulan, lalu berganti tahun. Keberadaan wanita itu masih menjadi misteri. Hingga kini, semua orang masih mencarinya. Bahkan beberapa ada yang berharap bisa bertemu hanya untuk memeluknya dan bertanya kabar. Mereka rindu didengarkan dan bercerita tanpa dihakimi. Mereka rindu dikuatkan dan membagi setengah beban.

Jangan tanya aku. Aku pun tidak tau keberadaan wanita itu di mana, tapi aku penasaran dan ingin bertanya padanya,

"Bagaimana harimu? Apa boleh jika aku memintamu menggunakan dress berwarna biru seperti langit atau putih seperti kapas?"
Continue reading Kisah Wanita Berdress Kuning

Minggu, 07 Juni 2020

Kehabisan Kata

Halo!

Pernah nggak sih merasa kehabisan kata? Kehabisan bahan obrolan dengan orang lain dan akhirnya saling diam. Hingga akhirnya sadar kalau selama ini obrolan itu cuma satu arah. Selalu kamu yang berusaha membangun suatu topik untuk tukar pikiran, tapi nggak pernah diajukan pertanyaan yang sama.

Nyesek ya?

Niatnya berusaha jadi orang yang menyenangkan dengan berbagai macam obrolan, tapi akhirnya sadar kalo cuma kamu yang berusaha. Orang yang kamu ajak bicara nggak peduli dengan pemikiranmu, dengan pendapat atas topik yang kamu tanyakan. Dia cuma peduli dengan dirinya sendiri, iya egois.

Dia tetap membalas kamu, tapi nggak bertanya apa mimpi dan pendapat kamu. Lelah ya? Padahal sebagai teman mengobrol, rasanya juga ingin ditanyakan hal yang sama. Nggak, masalahnya bukan di "langsung ngomong pendapatmu aja apa susahnya sih?" bukan itu. Berbicara adalah kegiatan bertanya dan mendengarkan. Kalau nggak ditanya, untuk apa berbicara? Bertanya kan juga berarti tertarik dengan jalan pikiran lawan bicara.

Jadi apa kesimpulannya?

yak mundur

Iya, kamu kehabisan kata karena lawan bicaramu nggak tertarik dengan pembicaraan kalian. Atau bahkan dengan kamu. Hahaha. Mundur saja. Jika dia tertarik, obrolan kalian tidak akan pernah berhenti bahkan atas pertanyaan basa-basi seperti "sudah makan?" akan terasa menyenangkan.

Mundur, gaes. Obrolan kalian udah nggak menyenangkan.
Continue reading Kehabisan Kata