Kamis, 27 September 2018

Pelajari Saja

Kamu nggak perlu menjadi sama dengan orang lain untuk diterima. Cukup menjadi dirimu sendiri dan hormati saja preferensi orang lain. Tidak perlu menghakimi atau setuju. Cukup terima dan jikapun kamu tidak setuju, kamu bisa berpendapat dengan sopan.

Kamu nggak perlu bertengkar saat orang lain tidak menyetujui argumenmu. Berdiskusilah. Cari pendapat terbaik diantara argumen kalian. Setidaknya dengan begitu, keputusan terbaik akan ditemukan,

Kamu nggak perlu menyakiti hati orang lain saat kamu merasa ia tidak sesuai dengan norma-norma. Jika kamu ingin menasehati, mulailah dengan bahasa yang santun dan tetap tanpa kalimat menghakimi. Kamu tidak tahu apa yang pernah dia lalui hingga memutuskan menjadi seperti saat ini.

Kamu nggak perlu mencari kesalahan orang lain saat kamu ingin mengalahkannya. Menang dengan menjatuhkan orang lain tidak menimbulkan rasa bangga. Yang ada, kamu hanya terlihat sangat peduli dengannya sampai bisa menemukan hal yang mungkin dia sendiri tidak tahu.

Jangan menjadi orang lain untuk diterima. Bagaimana kamu mengekspresikan dirimu jika mereka tidak tahu kamu orang seperti apa?

Jangan mengingatkan orang lain di depan banyak orang. Kau sendiri tahu, kau tidak suka dipermalukan di depan umum.

Jadilah tegas. Kau bisa menerima semua pendapat orang lain, tapi tetaplah pada pendirianmu. Jangan goyah. Putuskan keinginanmu. Apa yang kau suka dan kau tidak suka.

Tidak perlu membandingkan dirimu dengan orang lain. Kamu istimewa dengan dirimu sekarang. Semua butuh waktu untuk belajar dari pengalaman. Aku harap kamu bisa lebih baik setiap hari.

Kamu tahu, ikhlas memang sulit. Tapi belajarlah. Pelan-pelan, seumur hidup. Kau akan tahu setelah benar-benar merasakannya.

Juga kau tahu, menjadi pemaaf itu sulit. Apalagi minta maaf. Bukan aku memintamu untuk tidak melakukan kesalahan, cukup kamu berani mengucapkan maaf saat melakukan kesalahan dan memberi maaf saat ada yang menyakitimu. Tapi bukan berarti aku menyuruhmu untuk terima saja maaf orang lain, kamu bisa mengajukan syarat apapun untuk memaafkannya.

Itu saja pengingatku. Semoga kamu mengingatnya. Sampai bertemu dilain waktu,


Diriku.
Continue reading Pelajari Saja

Rabu, 05 September 2018

Menjadi Abadi

Image result for goblinSeseorang bercerita padaku, bahwa ia ingin menjadi seorang immortal. Abadi dan tidak terpaut kematian. Umur hanya menjadi penanda, tahun tak bisa membatasi. Tak ingin mati.

Dia ingin melihat perkembangan zaman, pertumbuhan manusia. Katanya, ia suka menjadi bagian dari sejarah. Ia ingin berkeliling dunia dan menyaksikan langsung peradaban. Dia bilang, "Untuk apa mati ada? Jika yang kuinginkan adalah hidup selamanya!"
Waktu itu aku hanya diam menatapnya, tak mengerti jalan pikirannya. Jika kematian adalah jalan menuju abadi, kenapa dia meminta hidup yang abadi?

"Aku tidak suka melihat orang-orang menangis saat didatangi kematian!" Jawabnya. "Aku tidak suka melihat kematian memutuskan dua orang yang saling menyayangi."

"Bagaimana kau tahu kalau orang-orang menangis didatangi kematian? Bukankah kita tahu kematian ada di sekitar tubuhnya?"

Dia mengalihkan pandangnya dariku, lalu bergumam "aku yang menangis saat kematian datang kepada orang terdekatku. Aku benci menangis." Helaan nafasnya terdengar keras, akhirnya dia merebahkan tubuhnya di atas rumput hijau.

"Bagaimana jika kematian adalah hal yang paling mereka ingin temui?" Dia menatapku kembali dengan wajah meminta penjelasan lebih. "Yah, setelah semua hal yang melelahkan selama ini, mereka hanya ingin beristirahat dengan tenang. Tanpa diganggu siapapun dan apapun. Kau tahu, seperti tidur siang saat kita kelelahan dengan kuliah kita."

Dia tersenyum, "aku tidak pernah lelah untuk belajar."

"Itu kamu! Bagi orang sepertiku, belajar adalah hal yang paling sering menguras energiku. Haah!"

"Berarti, apakah kamu ingin berhenti kuliah?" tanyanya lagi.

Aku memutarkan bola mata, susah sekali berbicara dengan orang ini. "Tidak. Maksudku, setelah setengah hari belajar, aku hanya ingin istirahat agar energiku kembali pulih! Ah, sudahlah!" jawabku kesal.

Dia tersenyum kembali, "ya, aku mengerti maksudmu." Dia kembali menatap langit, membuatku mengalihkan pandangku darinya juga. Langit sore ini sepertinya akan cerah. Mungkin kami bisa melihat matahari tenggelam dari sini.

"Lalu, kenapa kamu ingin menjadi abadi?"

Dia menatapku, "aku tidak ingin kau bersedih atas kematianku. Lagipula aku ingin melihat bagaimana anak-anak kita nanti bertumbuh."

Wajahku memerah. Bagaimana mungkin dia bisa mengatakan itu dengan wajah datarnya?! Dasar menyebalkan!

"Aku tak ingin melihat mereka menangis saat aku mati nanti." lanjutnya lagi.

"Lalu bagaimana denganku?"

"Apanya?" dia menoleh.

"Jika kau bisa abadi, bagaimana denganku? Kau tetap seperti ini saat aku menua. Kau tetap tampan saat nanti aku tidak cantik lagi."

Dia tersenyum, "kau tetap cantik dan akan semakin cantik nanti."

"Tidak, kau tidak mengerti. Kau yang abadi tidak akan berubah walaupun umurku bertambah dan wajahku menua. Staminamu tetap terjaga saat nanti aku mungkin akan membutuhkan bantuan dan akan selalu merepotkanmu. Kamu akan tetap tampan dan diidolakan wanita-wanita itu." jawabku sambil menahan tangis.

"Kenapa kau berpikir begitu?"

"Kau tahu, sekarang saja wanita-wanita itu selalu mengikutimu. Bahkan saat mereka tau kau sedang dekat denganku. Bagaimana jika nanti aku menua dan kau tertarik dengan mereka yang lebih menarik dariku?" kali ini aku tidak bisa menahan tangisku. Membayangkannya dengan wanita lain membuat hatiku sakit.

Dia meletakan tangannya di kepalaku, lalu mengusapnya. "Aku tidak akan seperti itu, kau tahu. Bahkan jika aku benar-benar abadi, kau adalah satu-satunya."

Tangisku mereda mendengar jawabannya. "kenapa kau hanya memikirkan kesedihanku saja? Bagaimana jika aku yang mati? Kau tau, hanya kau yang abadi, sedangkan aku tidak."

"Kalau begitu, ayo abadi bersama!" ajaknya.

"Tidak, aku tidak mau abadi. Itu menyalahi takdir. Walaupun nanti bisa saja ada obat abadi, aku tidak akan membelinya." aku menggeleng. "Tapi jika kau mau jadi abadi, dan aku mati. Bagaimana denganmu? Maksudku, kau tahu rasanya ditinggalkan, kenapa kau tetap ingin abadi?"

"Aku sudah memberitahumu, aku tidak suka melihat orang menangisi kematianku."

"Dan kau boleh menangisi kepergian mereka? Kau tau, yang kuinginkan hanya menua bersamamu saja, dewasa bersama. Aku tidak ingin abadi di sini. Baru sebentar saja aku sudah kelelahan dengan tugas-tugasku sebagai manusia. Bagaimana jika nanti seratus tahun atau seribu tahun lagi aku masih hidup dan merindukan orang-orang yang aku kenal? Aku tidak sanggup, dan aku tidak ingin kau merasakannya." aku menatapnya. Itu percakapan terakhir kami sebelum dia meninggalkan kotaku untuk menunaikan tugasnya.

Setidaknya sekarang aku tahu, dia tidak akan berpikir untuk menjadi abadi lagi,karena kami memutuskan untuk menua bersama.
Continue reading Menjadi Abadi

Selasa, 04 September 2018

Lebih dari Suka

Pernah menyukai seseorang sampai nggak rela kalau dia dimiliki orang lain?

Atau sesaat setelah melihat senyum seseorang, segala keluh-kesah terasa hilang? Yang dengan suaranya saja, setengah beban terasa berkurang.

Kalau kamu pernah, atau bajhkan sedang merasakannya, mungkin kamu sedang jatuh hati. Rasanya senang, berbunga-bunga saat menyadari hal-hal yang ada hubungan dan mengingatkanmu padanya.

Related image
Source: Wikihow
Jantungmu berdebar kencang saat dia menatapmu. Otakmu seketika blank, entah harus bersekpresi seperti apa di hadapannya. Lalu hal-hal bodoh secara tidak sadar kamu lakukan, padahal yang kamu inginkan hanya terlihat menarik di matanya. Iya, kamu menarik perhatiannya dengan tingkahmu yang ternyata membuatnya tertawa.

Sekali lagi, dadamu berdebar dua kali lebih keras saat memandangnya tertawa. Bahkan, kau takut dia akan mendengar degupnya juga.

Ada suatu hari nanti, di mana kamu hanya ingin mendengarnya bercerita. Telingamu hanya tertuju pada suaranya. Matamu hanya fokus menatapnya. Kau ingin menjadi orang pertama yang mendengar semua keluhnya, dan menjadikannya yang pertama ditemui saat kau ingin bertanya.

Pula, ada suatu masa, di mana kamu hanya ingin memeluknya. Seerat mungkin. Tanpa berbicara sepatahpun. Yang dengan menghirup aromanya, kau merasa aman. Juga dengan ada di bahunya, air mata yang selama ini kau sembunyikan dari orang-orang tiba-tiba tumpah begitu saja. Sikap dewasa yang selama ini kau banggakan, luruh di depannya.

Saat itu terjadi, sadarlah. Dia bukan hanya sekadar orang yang kau suka.

Kau telah jatuh hati padanya.
Continue reading Lebih dari Suka