Rabu, 05 September 2018

Menjadi Abadi

Image result for goblinSeseorang bercerita padaku, bahwa ia ingin menjadi seorang immortal. Abadi dan tidak terpaut kematian. Umur hanya menjadi penanda, tahun tak bisa membatasi. Tak ingin mati.

Dia ingin melihat perkembangan zaman, pertumbuhan manusia. Katanya, ia suka menjadi bagian dari sejarah. Ia ingin berkeliling dunia dan menyaksikan langsung peradaban. Dia bilang, "Untuk apa mati ada? Jika yang kuinginkan adalah hidup selamanya!"
Waktu itu aku hanya diam menatapnya, tak mengerti jalan pikirannya. Jika kematian adalah jalan menuju abadi, kenapa dia meminta hidup yang abadi?

"Aku tidak suka melihat orang-orang menangis saat didatangi kematian!" Jawabnya. "Aku tidak suka melihat kematian memutuskan dua orang yang saling menyayangi."

"Bagaimana kau tahu kalau orang-orang menangis didatangi kematian? Bukankah kita tahu kematian ada di sekitar tubuhnya?"

Dia mengalihkan pandangnya dariku, lalu bergumam "aku yang menangis saat kematian datang kepada orang terdekatku. Aku benci menangis." Helaan nafasnya terdengar keras, akhirnya dia merebahkan tubuhnya di atas rumput hijau.

"Bagaimana jika kematian adalah hal yang paling mereka ingin temui?" Dia menatapku kembali dengan wajah meminta penjelasan lebih. "Yah, setelah semua hal yang melelahkan selama ini, mereka hanya ingin beristirahat dengan tenang. Tanpa diganggu siapapun dan apapun. Kau tahu, seperti tidur siang saat kita kelelahan dengan kuliah kita."

Dia tersenyum, "aku tidak pernah lelah untuk belajar."

"Itu kamu! Bagi orang sepertiku, belajar adalah hal yang paling sering menguras energiku. Haah!"

"Berarti, apakah kamu ingin berhenti kuliah?" tanyanya lagi.

Aku memutarkan bola mata, susah sekali berbicara dengan orang ini. "Tidak. Maksudku, setelah setengah hari belajar, aku hanya ingin istirahat agar energiku kembali pulih! Ah, sudahlah!" jawabku kesal.

Dia tersenyum kembali, "ya, aku mengerti maksudmu." Dia kembali menatap langit, membuatku mengalihkan pandangku darinya juga. Langit sore ini sepertinya akan cerah. Mungkin kami bisa melihat matahari tenggelam dari sini.

"Lalu, kenapa kamu ingin menjadi abadi?"

Dia menatapku, "aku tidak ingin kau bersedih atas kematianku. Lagipula aku ingin melihat bagaimana anak-anak kita nanti bertumbuh."

Wajahku memerah. Bagaimana mungkin dia bisa mengatakan itu dengan wajah datarnya?! Dasar menyebalkan!

"Aku tak ingin melihat mereka menangis saat aku mati nanti." lanjutnya lagi.

"Lalu bagaimana denganku?"

"Apanya?" dia menoleh.

"Jika kau bisa abadi, bagaimana denganku? Kau tetap seperti ini saat aku menua. Kau tetap tampan saat nanti aku tidak cantik lagi."

Dia tersenyum, "kau tetap cantik dan akan semakin cantik nanti."

"Tidak, kau tidak mengerti. Kau yang abadi tidak akan berubah walaupun umurku bertambah dan wajahku menua. Staminamu tetap terjaga saat nanti aku mungkin akan membutuhkan bantuan dan akan selalu merepotkanmu. Kamu akan tetap tampan dan diidolakan wanita-wanita itu." jawabku sambil menahan tangis.

"Kenapa kau berpikir begitu?"

"Kau tahu, sekarang saja wanita-wanita itu selalu mengikutimu. Bahkan saat mereka tau kau sedang dekat denganku. Bagaimana jika nanti aku menua dan kau tertarik dengan mereka yang lebih menarik dariku?" kali ini aku tidak bisa menahan tangisku. Membayangkannya dengan wanita lain membuat hatiku sakit.

Dia meletakan tangannya di kepalaku, lalu mengusapnya. "Aku tidak akan seperti itu, kau tahu. Bahkan jika aku benar-benar abadi, kau adalah satu-satunya."

Tangisku mereda mendengar jawabannya. "kenapa kau hanya memikirkan kesedihanku saja? Bagaimana jika aku yang mati? Kau tau, hanya kau yang abadi, sedangkan aku tidak."

"Kalau begitu, ayo abadi bersama!" ajaknya.

"Tidak, aku tidak mau abadi. Itu menyalahi takdir. Walaupun nanti bisa saja ada obat abadi, aku tidak akan membelinya." aku menggeleng. "Tapi jika kau mau jadi abadi, dan aku mati. Bagaimana denganmu? Maksudku, kau tahu rasanya ditinggalkan, kenapa kau tetap ingin abadi?"

"Aku sudah memberitahumu, aku tidak suka melihat orang menangisi kematianku."

"Dan kau boleh menangisi kepergian mereka? Kau tau, yang kuinginkan hanya menua bersamamu saja, dewasa bersama. Aku tidak ingin abadi di sini. Baru sebentar saja aku sudah kelelahan dengan tugas-tugasku sebagai manusia. Bagaimana jika nanti seratus tahun atau seribu tahun lagi aku masih hidup dan merindukan orang-orang yang aku kenal? Aku tidak sanggup, dan aku tidak ingin kau merasakannya." aku menatapnya. Itu percakapan terakhir kami sebelum dia meninggalkan kotaku untuk menunaikan tugasnya.

Setidaknya sekarang aku tahu, dia tidak akan berpikir untuk menjadi abadi lagi,karena kami memutuskan untuk menua bersama.

0 komentar:

Posting Komentar