Rabu, 18 September 2019

Kenapa yang Menimbulkan Kenapa

Takut, takut dan takut. Selalu kata itu yang kamu ulangi.
Nggak bisa, aku nggak tau gimana caranya.
Sambungmu lagi.

Kenapa semua hal baru harus kamu takuti?
Bagaimana caramu tau jika kamu nggak belajar?
Padahal aku ada di depan, berteriak paling kencang memberi dukungan.

Katamu kamu tidak suka sesuatu di luar kendalimu.
Tapi kamu berkata, suka sekali belajar.
Apa yang mau kamu pelajari, jika semua sesuai kendalimu?

Kenapa terlalu takut? Kenapa tidak berani melangkah?
Kenapa membohongi diri? Kenapa menutup diri?
Kenapa semua harus sesuai kendalimu?

Untuk sekali ini, cobalah.
Continue reading Kenapa yang Menimbulkan Kenapa

Senin, 09 September 2019

Unfinished Answer

Ada hal yang belum aku temukan jawabannya. Aku cari ke semua orang, setiap orang yang kutemui. Dari buku-buku yang kubaca. Menjadi pemerhati semesta yang bergerak, dengan harapan bisa menemukan jawaban. Berulang-ulang. Penuh ambisi.

Aku terlalu banyak memberi jawaban kepada orang lain hingga pertanyaan yang aku ajukan kepada diri sendiri, tidak aku temukan. Terlalu peduli pada orang lain, terlalu banyak mendengar, hingga terlalu sedikit dan sulit berbagi cerita. Padahal manusia butuh berbagi sisi.

Sering banget merasa ada yang hilang, ada yang kurang. Berkali-kali aku merasa takut dan ragu melangkah. Rasa takut tentang hal yang aku sendiri nggak tau seperti apa. Aku nggak paham diriku sendiri. Pula, ada hari-hari di mana rasanya aku lelah dengan hari. Capek. Aku mau nangis aja dan nggak mau ketemu siapapun. Tapi aku nggak bisa nangis. Aku nggak bisa diam di dalam kamar dan bikin orang khawatir.

Aku selalu bilang, aku nggak kenapa-kenapa. Aku nggak kenapa-kenapa. Aku cuma belum paham sama diri aku sendiri. Nggak marah sama orang, aku marah sama diri aku sendiri. Aku nggak ngerti apa yang kurang, apa yang aku cari. Aku nggak bisa menemukan jawaban.

Atau sebenarnya, aku nggak tau apa pertanyaan yang selama ini aku ingin tanya? Gimana bisa menemukan jawaban kalau aku sendiri nggak bisa menemukan pertanyaan yang tepat untuk dicari jawabannya?

Satu hal yang baru aku sadari baru-baru ini. Setelah kemarin bengong di pantai malam-malam. Mungkin ini salah satu pertanyaan yang selama ini aku ingin tanyakan, tapi aku nggak tau gimana caranya bertanya hal ini.
Ada hal yang belum aku selesaikan dari diriku sendiri, tapi aku cari pada orang lain. Ada hal yang aku takutkan dari diriku sendiri, tapi malah mendobraknya melalui orang lain. Ada hal yang belum aku terima, tapi berpura-pura rela melepas.
Aku takut akan ekspektasiku sendiri. Aku ragu pada diriku sendiri. Aku kecewa pada diriku sendiri. Aku lelah dengan diriku sendiri. Kenapa? Selama ini aku terlalu memaksa. Memaksa menjadi orang baik. Selalu berpikir dari sisi positif. Merasa semuanya aman.

Jadi capek sendiri, sesak sendiri, marah sendiri. Aku nggak bisa menolong diriku saat butuh. Patah hati waktu sadar diri, aku nggak sekuat itu. Tapi memang manusia nggak harus selalu terlihat kuat kan? Aku terlalu naif. Padahal aku tau warna memiliki macam, begitu juga hidup. Aku nggak harus selalu senyum waktu kecewa. Nggak harus ketawa waktu lagi butuh nangis. Nggak harus blank waktu butuh solusi. Rasa perlu dibagi.

Aku terlalu takut buat terlihat lemah, buat terlihat nggak baik-baik aja. Padahal rasanya kepalaku udah nggak kuat buat diangkat, tapi egoku malah teriak "ada orang lain yang masalahnya lebih berat daripada kamu!" Padahal kaki rasanya udah lemas buat melangkah maju, tapi begitu melihat sekitarku bergerak cepat, gengsiku berambisi untuk tidak istirahat. Aku yang kelelahan, bukannya berhenti malah menyeret kaki.

Selalu bilang, aku kangen seseorang yang bahkan entah siapa. Yang tubuhnya bisa dipeluk waktu kelelahan. Yang bahunya bisa menjadi sandaran sebentar. Yang telinganya rela mendengar keluhan. Tapi nggak bisa. Nggak boleh. Gimana aku mau bersandar saat aku tidak percaya pada apa yang aku ingin ceritakan? Gimana aku bisa memulai hubungan saat aku masih punya hal yang belum selesai dari diriku?

Padahal yang aku butuhkan cuma menerima. Membiarkan rasa berekspresi. Nangis ya nangis aja, nggak perlu sok kuat. Marah ya marah aja, nggak perlu sok nggak peduli. Nggak usah disangkal, nggak usah ditahan.

Tenang, aku juga berusaha menerima sekarang. Entah bagaimana caranya. Aku bakal tetap berusaha kok. Capek. Aku nggak mau lagi ketakutan. Aku nggak mau lagi memasang benteng pertahanan. Aku nggak mau lagi sok kuat mental.
Continue reading Unfinished Answer

Minggu, 01 September 2019

Yaudahlah

Katanya semakin dewasa manusia, semakin malas juga mengurusi hal-hal yang nggak sesuai dengan keinginan. Apalagi menyangkut orang blain. Makin me-yaudah-lah semua hal, makin malas berdebat. Kalian gitu nggak sih?

Sebagai orang yang dulu maunya semua hal sesuai keinginan, sesuai rencana, aku merasa kalimat itu bener banget. Pernah beberapa hal aku paksakan biar benar-benar terjadi, bahkan sampai bertengkar dan tidak berkabar. Aku kesal dan memilih nggak mau berhubungan.

Saat mengajak orang lain dan ternyata mereka tiba-tiba membatalkan janji, aku yang dulu mungkin akan kesal dengannya. Padahal aku tau bahwa setiap orang punya prioritas. Tapi tetap saja, rasanya marah. Aku benci berjanji dan tidak ditepati.

Akhirnya aku sadar sendiri, kalau dunia nggak selalu berpijar di dekatku aja. Nggak semua bakalan bisa sesuai dengan apa yang aku inginkan. Sebagai makhluk sosial yang butuh orang lain dan hidup bersama orang lain, nggak mungkin semua jalan sesuai dengan rencanaku. 

Aku juga nggak selalu tepat janji kok. Bisa jadi tiba-tiba ada kerjaan mendadak atau diajak ke rumah saudara. Kalau udah gitu, biasanya aku akan janji ganti hari, atau traktir dia makan sebagai gantinya. Walaupun kekesalan emang nggak bisa digantikan dengan apapun ya, tapi menunjukkan penyesalan karena membatalkan janji setidaknya bisa meredam rasa marah, menurutku.

Jadi sekarang kalau janji dibatalkan merasa, "yaudahlah, nggak semua orang sesantai kamu kali, Man. Sendiri aja lah." Selalu begitu. Sampai kadang rasanya agak segan mengajak orang lain untuk jalan-jalan. Kalau bisa sendiri, jalan ajalah. Kalo malas, mendingan baca buku di rumah atau nulis aja, itu pikiranku aja sih.

Dari dulu sebenarnya aku terbiasa sendirian ke manapun. Rasanya nyaman-nyaman aja. Entah sejak kapan, aku mulai butuh teman saat jalan-jalan, ke tempat baru, pameran, nonton bioskop. Beberapa bulan ini aja sih, rasanya aku begitu butuh teman untuk sekadar beli baju di mall. Kenapa ya? Apa ini yang dinamakan kesepian? Apa aku lagi bosan sendirian ya? Hahaha.

Tapi bener deh, sikap "yaudahlah" ini bisa meredam kekecewaan aku terhadap orang lain. Walaupun efek buruknya, aku jadi malas bergantung pada orang lain kalau pergi ke mana-mana. Tiba-tiba dichat teman,"kok nggak ngajak?!" Maaf ya teman-temeaku :'D
Continue reading Yaudahlah