Minggu, 22 Januari 2017

Mari Bercerita :)

Aku tersenyum menatap wajahnya. Seumpama gerakan slow motion. Angin menyapu wajahnya perlahan, sinar bulan yang biasanya redup kini benderang. Bulan purnama malam ini memancarkan sinarnya, memantulkan bias perak ke wajahnya. Aku terkesiap. Seperti malam-malam sebelumnya, wajahnya terlihat makin cantik dibiasi oleh sinar bulan.

"Hey, kau tahu? Kenapa bulan terlihat sangat dekat dari atas sini?" ujarnya sambil merapikan rambut yang terbang di sekitar telinganya.




"Mungkin karena kita lebih tinggi 30 meter dari bawah sana?" jawabku asal. "Atau mungkin karena disini kita dapat menatap bulan tanpa mengangkat kepala kita." tambahku lagi untuk menyangkal jawaban konyolku tadi.

Dia tersenyum sambil tetap menatap bulan, "Atau mungkin bulan sedang turun beberapa meter mendekati bumi? Coba, bisakah kau mengukurnya tuan astronom?" tanyanya lagi sambil tertawa kecil.

"Apa? Baiklah jika itu maumu." aku mengangkat tanganku dan membentuk jengkal. Lalu menutup mata kiriku dan mulai menghitung. "Ternyata kau benar nona analis, mereka sedang turun sekitar setengah jengkal tanganku. Kira-kira itu sekitar..." aku berhenti sejenak, berpura-pura berpikir. "Lima puluh ribu meter lebih dekat dengan bumi." ujarku serius.

Dia tertawa, menarik garis di sekitar pipi dan matanya. "Jadi satu jengkalmu itu sama dengan seratus ribu meter?" tanyanya.

Aku mengangguk mantap, "tentu saja. Aku adalah calon astronom yang handal. Jadi tinggal menggunakan tanganku untuk mengukurkan."

Dia tertawa lagi, kali ini lebih lebar. Menampilkan sedikit gingsul disebelah kirinya. Aku ikut tertawa dengan leluconku sendiri. Kami tertawa.

Tiga menit kemudian tawanya mereda. Ia terdiam sambil menatap bulan lagi. Kali ini tanpa pertanyaan apapun. Dia hanya tersenyum sambil menatap bulan. Aku yang tidak bisa membangun percakapan hanya bisa ikut menatap bulan. Sambil menerka apa yang sedang ia pikirkan.

Seperti yang biasa kau lakukan

Ditengah perbincangan kita,

Tiba-tiba kau terdiam

Sementara ku sibuk menerka apa yang ada di fikiranmu.

Aku izin sebentar untuk masuk ke kos mengambil makanan dan minuman hangat. Ia hanya mengangguk tanpa menoleh. Lima menit kemudian aku kembali dengan sebuah nampan dan sebuah bungkusan.

Dia menatap bungkusan itu sambil memiringkan kepalanya sedikit, "Ini apa?" dia menarik bungkusan tersebut sambil sedikit mengintip. "Aku buka ya?" ujarnya.

"Untukmu." jawabku sambil mengangguk dan tersenyum simpul. Dia membuka bungkusan tersebut dan mengeluarkan sebuah kado dengan antusias, dia tidak pernah merobek kertas kadonya melainkan mencari ujung selotip dan membukanya seperti saat membungkusnya.

"Wah, terima kasih! Aku memang sedang mencari buku jurnal untuk perjalanan travel kita nanti!" ujarnya sambil tersenyum lebar.

Aku mengangguk sambil tetap tersenyum. Tadinya aku ingin mengucapkan selamat ulang tahun padanya. Tapi sepertinya dia tidak terlalu suka merayakan ulang tahun. Jadi malam ini secara tidak sengaja aku merayakan ulang tahunnya dan memberinya kado. Walaupun mungkin dia tidak terlalu peduli dengan ulang tahunnya sendiri.

Dia membuka lembaran demi lembaran jurnal tersebut, tersenyum lebar lalu bercerita tentang setiap gambar yang dilihatnya. Sawah yang hijaunya serupa permadani, Laut yang luasnya tak kenal penghuni. Dan hal lain yang mungkin jika kutuliskan disini tak akan pernah cukup.


Sesungguhnya berbicara dengan mu

Tentang segala hal yang bukan tentang kita,

Mungkin tentang ikan paus dilaut

Atau mungkin tentang bunga padi disawah.

Sungguh bicara denganmu tentang segala hal yang bukan tentang kita,

Selalu bisa membuat semua lebih bersahaja…



Entah kenapa kami tidak pernah bercerita tentang hubungan kami. Dan diapun sepertinya tak terlalu memaksakan. Pembicaraan kami selalu mengenai hal-hal random. Ikan paus, sawah, bulan, jalan beraspal, mobil derek, dan lain-lain. Tapi aku selalu menyukai percakapan dengannya. Terlihat alami dan tidak berlebihan.

Malam ini kami duduk berdua di atap kos. Kosnya ada di lantai 3, sedangkan aku di lantai 1. Sudah pukul dua malam. Cahaya di timur sedikit terlihat terang. Sedangkan wanita di sampingku ini terlihat enggan untuk beranjak dari atap.

"Minum, Ran." ujarku sambil menyodorkan segelas cokelat hangat kesukaannya. Dia menerima gelas tersebut lalu tersenyum tulus. Lagi-lagi mataku merekamnya umpama gerak slow motion. Angin yang semakin dingin membuatnya merapatkan jaket, dan menguncir sebagian rambutnya agar tidak terbang. Ia mengeratkan tangannya pada gelas yang berisi cokelat hangat sambil sedikit meringis kedinginan. Aku memakaikan kupluk yang sejak tadi kupakai ke kepalanya. Ia menengok sedikit sambil tersenyum berterima kasih.

Semoga malam ini detak jam lebih lambat, dan matahari kesiangan menyinari bumi. Agar aku bisa menatap wajahnya dan menemaninya lebih lama. :)


Malam jangan berlalu…

Jangan datang dulu terang.

Telah lama ku tunggu…

Kuingin berdua dengan mu.

Biar pagi datang

Setelah aku memanggil..  terang…

Aih.. pencuri kau, terang..



***



Terinspirasi dari lagu milik Payung Teduh ft Icha - Mari Bercerita :)

0 komentar:

Posting Komentar