Kamis, 28 September 2017

Merdeka [Remake]

­

Hiduplah tanahku, hiduplah negeriku..Bangsaku, rakyatku, semuanya..Bangunlah jiwanya, bangunlah raganya..Untuk Indonesia raya..
Source: pinterest
Terdengar anak-anak sekolah dasar bernyanyi riang dari lapangan tengah, lebih tepatnta berteriak sambil bernyanyi. Entah senang karena ini dirgahayu tanah kelahirannya atau mereka bernyanyi untuk menghindari jeweran guru. Aku tidak begitu peduli, kupercepat langkahku untuk sampai ke pekarangan belakang sekolah. Lagipula aku tidak wajib untuk ikut upacara tujuh belasan ini, tugasku hanya membersihkan pekarangan dan toilet saja bukan untuk berdiri di la
pangan sana.

Dengan jalan yang sedikit aku percepat, akhirnya aku sampai pekarangan sekolah. Saatnya membersihkan tanah ini dari daun kering. Sebenarnya taman pekarangan belakang sekolah dasar ini sudah bersih, hanya ada daun-daun dan bunga kering yang nantinya akan kujadikan kompos. Teriakan lagu Indonesia raya sudah mereda sejak tadi, sepertinya sang kepsek sedang memberikan pidato.

Sambil bersenandung kecil, aku terus merobek daun-daun yang telah aku kumpulkan menjadi sepihan kecil. Sepertinya sudah cukup banyak yang aku buat kali ini.

“Astaghfirullah.” ujarku kaget saat melihat seorang anak yang bersandar di pagar. Aku menatap kakinya takut-takut, ngeri. Jangan-jangan dia.. Ah, bukan! Ternyata dia manusia. Gara-gara mitos yang disebarkan anak bocah, kenapa aku malah ketakutan begini?

“Hehe, maaf bang Adhen, aku bikin abang kaget ya?” katanya sambil terkekeh. “Habisnya abang kayaknya asyik banget nyanyinya, aku jadi gak enak mau panggil.” tambahnya.

Aku menunjukkan muka masam. “Loh kamu toh, Riq. Abang kira jin penunggu pohon mangga ini.” kataku sedikit ketus. Dikerjai aku sama anak kecil!

“Mana ada jin pakai baju merah-putih, bang?” cengirnya. “eh bang Adhen, upacaranya sudah mulai ya?”

“Sudah daritadi. Harusnya kamu datang jam tujuh biar bisa ikut.” jawabku sambil mengaduk daun yang akan kujadikan kompos.

“Yaaah, padahal aku sudah buru-buru ke sini. Tetap aja telat sih.” jawabnya sambil menendang-nendang pagar. “Eh, gak apa sih aku juga gak datang. Seragamku dipinjam juga sama Azad.” lanjutnya.

Aku menolehkan wajah. Oh iya, dia tidak memakai seragam putih-merah seperti yang diminta sekolah. Tapi hanya memakai kaus putih dengan celana sekolah merahnya. “Ya sudah, bagus dong kamu kan bisa tidur di rumah kalau gak masuk.” jawabku asal. “memangnya kenapa si Azad kok pakai seragammu?” tanyaku lagi.

“Gak enak di rumah aja mah. Enakan di sekolah, ketemu teman-teman jadi bisa main kan, bang.” jawabnya. “Sekarang jatahnya Azid buat ikut upacara kemerdekaan, bang. Tahun lalu kan aku sudah ikut.”

Gerakan tanganku terhenti sekejap. Tidak ingin terlihat mengasihaninya, aku berusaha bersikap santai dengan ucapannya itu. Aku baru ingat kalau Ariq adalah salah satu siswa penerima bantuan di sekolah ini. Tapi kenapa juga dia masih harus bergantian memakai baju seragam seperti itu? Jangan-jangan orangtuanya- “Aduh!” ujarku setelah memukul kepalaku sendiri dengan tangan.

“Kenapa, bang?” tanya Ariq dengan wajah terkejut.

Aku gelagapan, “eh, nggak, Riq. Tadi kepala abang gatal.” jawabku asal.

Dia mengangguk, lalu menatap ke arah lapangan. Sepertinya dia sangat menikmati pidato kepala sekolah yang sampai saat ini belum selesai juga. “Dulu waktu pahlawan kita masih sekolah, mereka pakai seragam juga nggak ya, Bang?” tanyanya sambil menolehkan wajah kepadaku. Matanya memancarkan keingintahuan, memadamkan keinginanku menjawabnya dengan ketidaktahuan.

“Dulu bahkan untuk sekadar beli baju aja susah, Riq. Gimana mau beli seragam?” jawabku. “Eh, tapi kayaknya dulu sekolah hanya untuk anak-anak orang kaya saja. Para anak petani dan buruh tidak diizinkan untuk belajar.”

“Kok begitu, bang? Kan belajar itu disuruh sama Nabi. Kenapa gak boleh?”

“Hmm, itu karena..” aku bingung mau menjawab apa. Aduh bagaimana menjelaskannya ya.

“Eh, ayo berdiri, bang. Kita mau nyanyi lagu Nasional nih.” Ujarnya sambil berdiri, Melupakan pertanyaan yang membuatku gagap. “Wah lagu sorak-sorak bergembira. Kesukaanku nih! Ayo berdiri bang!” serunya lagi dengan semangat.

Sorak sorak bergembira, bergembira semua..Sudah bebas negeri kita, Indonesia merdeka..

Selesai bernyanyi dia kembali ke tempatnya semula. “Ternyata benar, bang. Lebih enak di sini. Aku bisa duduk waktu upacara, gak perlu capek berdiri!" ujarnya sambil tertawa. Aku balas tersenyum. Kau telah menyesatkan satu anak kecil Adhen! Jahatnya kau!

“Bang Adhen.”

“Hmm..” jawabku sambil tetap mengurus komposku. Sepertinya aku harus meminta ember yang cukup besar untuk kompos selanjutnya, karena daun-daun ini semakin lama semakin banyak yang berguguran.

“Apa aku bukan bagian dari kemerdekaan Indonesia ya, bang? Atau aku yang belum merdeka?" tanyanya.

Lagi-lagi gerakan tanganku berhenti. Kenapa dia bertanya seperti itu sih di saat aku sedang mengurus komposku. Harusnya nanti saja saat aku sedang dalam keadaan yang mampu berpikir kritis. Akhirnya aku memilih diam. Bingung harus merespon seperti apa.

“Kata abang kan dulu waktu para pahlawan kita masih kecil, mereka mungkin gak dibolehin sekolah. Tapi itu kan dulu kita masih dijajah. Sekarang kan kita sudah merdeka. Tapi kenapa aku masih belum bisa datang ke sekolah karena seragam ya, Bang? Kalau kita gak perlu pakai seragam kan enak, suruh aja anak-anak pakai baju bagus. Batik misalnya. Kan waktu upacara jadi warna-warni tuh, bagus dilihatnya beda-beda begitu.” Tuturnya panjang.

Skak mat dua kali. Mati aku. Bagaimana aku harus menjawabnya? Aku bahkan tidak memikirkan hal itu. Bisa lanjut kuliah saja aku sudah sangat bersyukur. Ayo putar otak, jawab yang benar. Jangan sampai menyesatkan anak orang lagi, Adhen!

“Menurut Ariq kalau pakai bajunya bebas itu bagus?” tanyaku meyakinkan.

Ia mengagguk penuh semangat. Rambutnya yang berwarna kemerahan bergerak mengikuti anggukannya. “Iya dong, bang! Kan jadi banyak warna!”

Aku tersenyum kecil hendak mengacak rambutnya. Tapi gerakanku terhenti, aku lupa tanganku kotor karena kompos yang sedang aku buat. Tidak jadi, cukup tanganku saja yang bau. “Kalau misalnya pakai baju bebas, gimana dong orang yang punya baju batik tapi bajunya sudah jelek? Dia gak mau beli yang baru karena baju batik itu baju kesayangannya dia?” tanyaku.

“Bagus dong, bang Adhen! Aku juga punya baju kesayangan. Baju Persija yang biasa aku pakai main bola di lapangan!” jawabnya antusias.

“Kalau bajunya sudah lama banget, emangnya masih bagus? Kan warnanya jadi luntur tuh. Terus bentuknya sudah gak enak lagi di lihat.” aku diam sejenak, memilih kata yang tepat. “Kalau nanti teman-temannya anak itu malah kata-katain baju yang dipakai anak itu gimana?”

Kali ini Ariq yang diam. Sepertinya dia mengerti apa maksudku. Yah, tidak perlu diragukan lagi. Dia dianugerahi kecerdasan sosial. Jadi sepertinya hal itu dapat langsung dimengerti oleh otaknya.

“Ariq! Kok tadi gak ikut upacara sih? Besok kena marah bu Prasti loh!” ujar seorang teman Ariq. Sepertinya upacara penaikan bendera sudah selesai dilakukan.

“Alin! Sudah selesai ya upacaranya?” tanya Ariq sambil berlari ke arah temannya. “Bang Adhen, aku pulang duluan ya! Terima kasih sudah nemenin aku tadi! Daaaah!” teriaknya sambil melambaikan tangan ke arahku.

Aku tersenyum lagi sambil mengucapkan sama-sama dengan bahasa isyarat. Dia tertawa sebentar, lalu menjauh. Dengungan obrolan anak-anak makin terdengar pelan. Sepertinya mereka telah kembali ke rumah masing-masing. Aku masih memikirkan pertanyaan yang dilontarkan Ariq tadi. Sebenarnya apa yang dipelajari anak-anak sekolah dasar saat ini, mengapa pertanyaan-pertanyaan mereka terdengar sangat kritis? Atau aku saja yang tak pernah memikirkan pertanyaan itu?

Ah, aku pusing memikirkannya. Lebih baik aku mengurus komposku yang saat ini sedang aku olah. Oh tidak, komposku terlalu banyak air!



***

Remake dari tulisanku sebelumnya #dirgahayuindonesia69th

0 komentar:

Posting Komentar